AKU tersadar perlahan. Mataku masih sangat berat membuka. Musik lembut bervolume kecil mengisi ruang. Ruang ini begitu gelap. Kenyamanan yang kurasa membuat mataku makin terasa berat membuka. Ketika akhirnya aku berhasil membuka mata aku menindai ruang ini.
Di mana ini?
Butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya aku sadar aku ada di apartemen Vlad. Kesadaran itu membuatku mendesah menghela napas. Sudah gelap di luar. Tak ada lagi cahaya yang berhasil menerobos tirai tebal di luar.
Jam berapa ini?
Aku langsung menemukan tote bag di nakas. Kuambil ponsel kulirik jam di sana. Sudah jam delapan. Aku merasa sangat tak nyaman. Apalagi ketika melihat bungkus rapi dan tebal di tas berisi pembalut dan pakaian dalam. Sejenis dengan yang dulu Vlad tanyakan ketika dia melihat semua isi tasku. Paket ini selalu ada meski aku tidak dalam periodeku. Ah…. Bergegas aku ke kamar mandi. Sambil berpikir, apa Vlad tahu urusan ini sampai dia tidak membangun
Nyesek nggak sih jadi Vlad? Sayang sih sayang. Cinta sih cinta. Tapi apa harus sesakit itu? Vlad benar, Bhaga nggak sadar dikasih rezeki. Uum… sebenarnya kita sering seperti ini kan? Nggak sadar dikasih nikmat. Sadarnya kapan? Pas nikmatNya diambil. Lalu nyesal. Iya kan? Nah, sekarang, mumpung sadar, mumpung Vlad ingatkan, bersyukurlah. Note: It’s a note for myself. Mau nebeng ya monggo.
ANNA tentu melaporkan tentang pertanyaan Vlad pada Bu Ros. Dari diskusi Anna dengan Vlad, mereka menyimpulkan Vlad sudah belajar sungguh-sungguh. Apalagi Anna sempat membaca catatan Vlad tentang materi yang dia kurang mengerti. Jika dia bertanya pada Anna materi biologi, tentu materi pelajaran lain akan dia cari tahu juga kan? Entah bertanya pada siapa. Mungkin hanya mencari tahu dengan jarinya saja. Tapi anehnya, nilainya tetap biasa saja. Tidak ada perkembangan berarti. Cukup tinggi untuk murid yang sering membolos. Bahkan nilai IPA pun sama. Pelajaran yang sudah beberapa kali Anna jelaskan langsung ke Vlad. Ini membuat mereka berdua bingung. Mereka memutuskan memberi waktu lagi pada Vlad untuk membuktikan catatan itu berguna. Apalagi nilai Vlad sudah cukup membuatnya lulus. Dan meski masih sering membolos, Vlad tidak lagi sering tidur di kelas. Tidak sering membantah guru. Memang dia masih terlihat abai ketika guru menjelaskan. Tapi selama dia bisa menjawab soal, guru bis
LAGI-lagi aku membuat baju Vlad basah airmata dan lendir. Dia tetap berlutut, aku tetap duduk di tepi ranjang. Posisi yang membuat aku harus membuka tungkai lebih lebar agar badannya utuh masuk memelukku. Meski begitu, tak kurasa pelukanku berbalas. Dia hanya membiarkan aku memeluknya saja. Menyadari itu, aku berusaha mengurai pelukan. Tapi kenapa dada ini terasa nyaman untuk tempat menangis? Dia juga begitu diam. Hanya ada suara tangisku mengisi ruang ini. Hujan di luar menjadi suara latar. Malam yang hitam semakin terasa suram. Aku tak menghitung waktu, aku hanya ingin terus menangis. Tak peduli lagi di dada siapa. Aku tak peduli disebut lemah. Aku memang lemah. Saat ini, jika hanya ada harimau, mungkin harimau itu yang kupeluk. Setelahnya aku menjadi santapan harimau, mungkin itu lebih baik. Sampai akhirnya tangisku mereda, aku bisa melonggarkan pelukanku lalu perlahan aku memundurkan punggung. Dengan tangan berusaha mengeringkan wajah, pelukan itu utuh te
KEESOKAN harinya Vlad datang ke sekolah. Absen sudah tidak berlaku. Dia datang santai tapi masih cukup pagi untuk bersiap menelepon. Rencananya dia akan menghubungi kantor jam 8.30, jam kerja standar. Waktu tiga puluh menit yang dia sisihkan untuk bersiap seharusnya cukup. Dia langsung ke ruang guru. Berdiri di ambang pintu, melihat Anna dengan tatapan merindu. Sebentar lagi… Tok tok tok Seisi ruang menoleh mendengar suara ketukan pintu. Namun Vlad mengabaikan yang lain, Anna pun melambai memanggilnya. Begitu Vlad duduk di sampingnya, Anna mengambil kotak sepatu dari laci. “Saya belum cek-cek lagi nih. Data terakhir nggak berubah kan?” tanya Anna setelah serah terima kotak sepatu pada Vlad. “Kayaknya nggak ada deh. Sejak masuk laci ni kotak jadi purnakotakwan yang tak tersentuh. Ini baru mau diberdayakan lagi.” Mendengar jawaban Vlad, Anna menusuk lengan Vlad dengan pulpen yang sedang dia pegang sambil tertawa renyah.
MATAKU belum terbuka, hanya gerakan bola mata saja yang menjadi pertanda aku mulai sadar. Aku berusaha mengumpulkan nyawaku sambil berusaha membuka mata. Kenapa mata ini seperti menempel rapat? Tanpa sadar tanganku bergerak menggenggam. Genggaman itu terasa utuh bertemu pasangannya. Aku berhasil membuka mata meski semua masih berbayang. Di antara bayangan itu, aku yakin aku tidak mengenali tempat ini. Di mana aku? Aku menggeliat, dan sebuah lengan terasa bersandar di pinggangku. Lengan yang tangannya kugenggam. Bhaga? Tap— Astaga! Tubuhku mengejang kaku alih-alih menggeliat. Aku berusaha bangun tapi lengan itu semakin erat memelukku. Astaga! Aku tidur di pangkuan Vlad dan sebelah lengannya yang kupeluk balas memelukku. Aku makin panik ketika merasakan ada tangan lain yang terkubur di rambutku. Kupaksa tubuhku bergerak duduk. Gerakan yang mengganggu lengan Vlad yang mengikuti kontur tubuhku. Gerakan itu juga memb
MINGGU ini Gerombolan Siberat sibuk mengambil barang. Di akhir pekan, ruang kelas yang dijadikan gudang sudah penuh. Pengumpulan sumbangan dari murid dipercepat agar paket segera bisa dibuat. Jenis dan jumlah sumbangan termasuk uang ditempel di pintu. Setiap ada barang masuk, datanya ditulis di kertas yang ditempel di pintu. List-nya yang terus memanjang membuat semua bersemangat. Di awal pekan, sumbangan bibit tanaman datang. Vlad membuat jadwal menyiram bibit-bibit itu pagi dan sore. Penjaga sekolah merangkap petugas kebersihan dan tukang kebun hanya menjadi pengawas saja. Vlad menyerahkan jadwal yang dia buat pada Pak Bon dengan perintah, laporkan padanya kalau ada yang absen tugas menyiram. Di akhir minggu kedua setelah ujian, semua sumbangan telah lengkap sesuai data. Vlad tersenyum menstempel kartu terakhir. Dia memasukkan kartu itu ke dalam kotak sepatu, tapi dia menyelipkan stempel lucu ke dalam kantung celananya. Ponsel operasional akan dia kembalik
VLAD tidak merasa perlu menyembuyikan diri ketika mengikutiku dari belakang. Mengikuti jadwal kerja guru artinya terlalu pagi bagi dia untuk ke kantor. Entah ke mana dia setelah menjadi penguntit. Ketika aku sampai di sekolah, dia langsung pergi tanpa berpamit meski hanya membunyikan klakson. Di mobil, aku memastikan riasanku cukup apik menyembunyikan kekacauan sisa kemarin. Kupulas lagi bedak dan dengan eye shadows sedikit lebih terang dari biasanya. Kelopak yang masih bengkak kututup dengan warna silver. Eye liner sedikit lebih tebal membentuk garis mata. Blush on pink untuk menyegarkan wajah. Sudah. Hari ini akan menjadi hari yang berat yang harus aku lalui sebelum aku bisa menyepi di rumah. Tapi mengingat rumah, tentu bayangan Bhaga melintas cepat. Bayangan yang makin merusak suasana hatiku. Aku ingin menangis. Dan bayangan Vlad memperburuk semuanya. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan empatiku pada apa yang dia rasa selama sembilan tahu
MENJELANG sore ketika Anna pulang dia singgah ke toko peralatan menjahit. Dia membeli flanel warna abu-abu gelap, abu-abu terang, merah menyala, kuning cerah, dacron, dan benang wol dengan warna-warna senada. Ada yang harus dia kerjakan dengan bahan-bahan itu. Tadi Vlad mengingatkan janjinya. Anna yakin, Vlad yakin dia akan memperoleh nilai cukup bagus untuk menagih janji pada Anna. Anna ingin hadiahnya sudah siap saat pengumuman. Malam itu, saat Vlad merindukan Anna, membayangkan jauh dari Anna, Anna sendiri sedang menyiapkan hadiah istimewa untuk Vlad. Buatan tangan seperti yang Vlad mau. Memang hanya buatan tangan yang bisa menjadi hadiah istimewa untuk anak seperti Vlad. Vlad bisa membeli barang bagus tanpa berkedip sementara Anna harus bekerja jungkir balik. Seperti Vlad yang rindunya tidak selesai dalam satu malam, prakarya Anna pun tidak selesai satu malam. Rindu Vlad bertahan bertahun, prakarya Anna selesai di malam kedua. Dia cukup puas dengan hasil karyanya
WAKTU kembali berputar pada porosnya dalam putaran konstan sepanjang masa. Menggilas tanpa peduli manusia-manusia yang entah merasa dikejar waktu atau merasa memiliki terlalu banyak waktu. Seperti aku. Aku membiarkan Vlad mengurusiku. Chat atau teleponnya seperti jadwal minum obat. Sehari tiga kali. Itu minimal. Aku juga membiarkan dia mengirimi makan. Tapi aku meminta untuk makan siang jangan terlalu sering. Aku tak mau rekan-rekanku curiga. Akhirnya dia hanya mengirimkan makan siang saat aku piket saja. Aku juga sering mengirimkan hasil masakanku. Entah lauk atau kue. Kadang hanya pisang goreng atau bakwan. Tak terasa sudah sebulan yang lalu peristiwa memalukan itu terjadi. Sejak kami berpisah, begitulah yang terjadi pada kami. Kami memang tidak pernah bertemu. Aku memang tidak mau dan Vlad tidak pernah menyinggung urusan itu. Bhaga? Dia hanya sesekali mengirimkan pesan. Otw Sulawesi. Otw pulang. Pulang