TIDAK ada aksi mencoret-coret baju. Sekolah menyuruh mereka melepaskan seragam lalu mengumpulkan seragam itu untuk disumbangkan di perpisahan nanti.
Tanpa seragam, sekarang mereka memang resmi bukan anak SMP lagi tapi belum SMA. Vlad dan kawan-kawan menghabiskan sisa hari di tempat biasa mereka berkumpul. Dia tidak bisa mengelak dari todongan mentraktir teman-temannya. Bukan masalah.
“Gila lu, Nyong, kok bisa nyalip di tikungan gitu.” Erlan yang duduk di depannya entah sudah berapa banyak gorengan berpindah ke perutnya. Tapi Vlad menyuruh pemilik warung menghitung isi piring. Jangan berharap anak-anak ini menghitung yang mereka makan. Makan tiga lapor satu.
“Gue kasihan juga lihat mukanya si Juna. Sudah ngarep banget juara satu tuh pas dua dan tiga namanya nggak keluar,” sambar Candra di samping Vlad.
Tapi yang dibicarakan hanya mendengus tertawa kecil saja. Dia asyik menghisap rokok sambil menyeruput kopi dengan sebelah kaki di atas kursi kayu panjan
Sudah tau kan kenapa Anna berjengit pas di awal cerita dikasih tumpeng mini sama Vlad? Hadiah Vlad banyak ya. Wajar banget sih. Dua cepek plus juara umum. Jadi ingat Manggala lagi. Hiks.
AKU mengirim foto paket makan malam yang siap kukirim pada Vlad dengan caption; ‘Dikirim ke rumah. Kalau nggak ada orang ya buat sekuriti aja’, lengkap dengan tangkap layar order kurir online yang menjelasan pesanku itu. Panggilan video darinya langsung masuk. “Anna, ke kantor aja kek. Aku masih di kantor nih.” Dia menggerutu sambil terus bekerja. “Aku sudah order untuk ke rumah. Nih lagi tunggu driver datang. Sudah dulu ya.” “ANNA! Astaga ni cewek. Tega amat sih.” Aku tertawa lepas. “Kalau mau makan, pulang cepetan sana.” “Anna, astaga… kerjaan aku masih banyak nih.” Dia menatapku putus asa. “Aku orderin naspad, oke?” “Anna! Pen tak hiihh ni cewek beneran.” Tapi kulihat dia bergegas merapikan isi meja. Tak lama layar laptop terlihat menghitam. “Aku pulang. Bilang sama driver tunggu di bawah aja.” Sambungan terputus tapi aku yakin dia bisa mendengar tawa lepasku. Aku m
VLAD tetap diam tak lapor prestasinya pada orangtuanya. Membuat Bagas dan Vienna makin bingung. Tapi Bagas mulai melunak. Vienna benar. Vlad sudah menunjukkan dirinya. Meski dia pembangkang, tidak pernah terlihat belajar, selalu keluyuran, sering berulah, menjengkelkan, dan lain sebagainya, tapi nilai ujiannya tidak main-main. Dengan nilai seperti itu, Vlad bisa menjadi raja kecil di rumah ini. Raja feodal yang otoriter. Karena sebelumnya sudah seperti itu, maka tingkat otoriternya bisa naik berkali lipat. Tapi Vlad yang diam tidak melaporkan prestasinya berlaku seperti biasa. Bagas tidak berkutik menegur ini itu ketika yang anaknya kerjakan hanya keluyuran sampai malam. Di rumah hanya untuk makan, tidur, dan olahraga. Vienna memastikan Vlad tidak pernah mengkonsumsi barang haram. Didiamkan seperti itu, tidak pernah ada lagi teriakan-teriakan di antara mereka. Vlad hanya sibuk membuat paket sembako dan mengurus tanaman. Itu saja. &nb
“ANNA…” Aku langsung menoleh. “Ya ampun, ternyata benaran kamu, Na.” Bu Ros. Kami berpelukan erat. “Dari jauh saya bilang, kayak ngenalin deh. Kamu nggak berubah loh, Na.” Dia memegang bahu sambil memandang wajahku. “Ibu juga.” Aku bersalaman dengan suaminya. “Kamu sama siapa? Sendiri?” “Eh,” tergagap, “iy… iya, Bu.” “Suami kamu masih kerja di Kalimantan?” “Iya, Bu.” “Ohh… pantas sendirian aja nge-malnya.” Aku makin menyeringai. “Eh, Na. Mau ada reuni akbar, angkatan yang pas kamu magang masuk. Kamu datang ya.” “Eh,” aku makin tergagap, “nggak enak ah, Bu. Saya kan cuma magang di sana. Sebentar banget.” “Nggak apa-apa. Kamu ingat Vlad kan? Angkatan dia yang paling heboh. Kamu loh yang dampingin angkatan itu. Memang nggak mau ketemu sama anak-anak itu?” “Eh, mau sih, Bu….” Aduuuhhh… satu anak angkatan itu ada di dalam di belakang Ibu. “Ya su
PERPISAHAN hari kedua. Di pagi hari dimulai dengan acara penanaman pohon dipandu LSM lingkungan. Acara dimulai dengan sedikit materi lingkungan di aula. Materi disampaikan sangat santai mengingat mental peserta adalah liburan dan perpisahan. Tapi tetap saja peserta tegang ketika foto dan video menampilkan kerusakan bumi akibat ulah manusia. Setelah video kerusakan, tim pemandu memperlihatkan foto dan video usaha perbaikan yang diadakan individu dan lembaga. Pada sesi ini, peserta diminta aktif menyebutkan hal apa yang sudah mereka lakukan untuk bumi meski hanya sesuatu yang terkesan sepele seperti mematikan kran air wastafel ketika menggosok gigi. Sedikit dari kita berarti banyak bagi bumi. Setelah menyadari bahwa bumi sudah sangat rusak tapi ada yang mereka bisa lakukan, saatnya menanam pohon. Tentu peserta lebih bersemangat akibat materi yang masuk ke otak. Pohon ditanam di sekitar air terjun. Lepas menanam tentu mereka menyerbu air terjun. Mereka kembali ke penginapan men
AKU sadar, malam ini kami akan serumah lagi. Aku pun yakin, tidak akan terjadi apa-apa. Tapi seberapa yakin? Tanpa s*t*n sebagai yang ketiga, tetap ada gairah yang bisa meletup kapan saja meski tanpa cinta. Apalagi ada cinta Vlad yang terlarang. Ini akan semakin berat kuhadapi. Katakan padaku cara meninggalkan Vlad tanpa menyakitinya. Aku ingin menumbukkan kepala ke dinding karena keabaianku pada perasaannya. Oke, mungkin aku tidak bisa membalas cintanya. Tapi jika dulu aku percaya, aku akan meyakinkan dia untuk mengalihkan perasaannya. Dulu mungkin masih lebih mudah membuka pikirannya. Sekarang? Setelah apa yang dia lalui, bagaimana aku bisa meninggalkannya begitu saja? Memang apa yang aku ketahui? Nyaris tak ada. Tapi dari kepingan-kepingan cerita ibunya, aku tahu, Vlad pernah melalui saat-saat yang sangat berat dan itu karena aku. Dan aku? Jujur, aku butuh Vlad. Atau… Vlad berhasil membuat aku membutuhkan dirinya? Yang kurasa sekarang, aku nyaman dengan ke
VLAD mengarahkan Anna berjalan di jalan setapak keluar area lapangan. Masih area penginapan tapi bersisian dengan hutan kecil. Entah hutan atau apalah namanya. Hanya pohon berkayu di sini lebih banyak daripada di area penginapan. Di sebuah area agak lapang, cahaya bulan purnama menembus sampai ke dasar dan terbias indah di antara gemersik daun tertiup angin. Semesta menari di malam yang indah. Bulan bulat sempurna menggantung di langit hitam. Di sini, jauh dari polusi kota, langit malam terlihat jernih bersama kerlip bintang di hamparan hitam. Vlad mempersilakan Anna duduk. Hanya ada rumput di sana. Anna memilih duduk bersandar di bawah pohon. Dia tak tahu apa yang akan Vlad bicarakan. Tapi melihat aura Vlad, sedikit ketegangan terasa sebagai degub jantung yang bertalu lebih cepat. “Bu Anna…” Vlad duduk bersila sedepa di depan Anna. Tatapannya lurus menembus bola mata Anna. Membuat Anna makin bergidik. Tapi tatapan itu lembut, begitu lembut. Kelembutan yang t
AKU berusaha membuka mata, berusaha mengenali di mana aku. Dan pelukan hangat ini, kenapa nyaman sekali? Ketika aku mengenali di dada siapa aku tertidur, aku mendesah. Tapi bukannya menjauh aku malah merengsek makin dalam ke dada itu. “Kamu kenapa, Savannah?” Suara serak khas bangun tidur terdengar di atasku. Tapi kesadaran bahwa Vlad sudah terbangun tidak membuatku pergi dari kenyamanan pelukannya. Aku hanya menghela napas memeluk Vlad makin erat ketika belainya terasa di kepalaku. Ingin kulanjutkan kegilaan ini tapi gerakanku membuat aku merasakan ada yang mengganjal d antara kami yang berusaha Vlad sembunyikan dari tubuhnya. Membuatku tersadar lalu langsung melepas pelukan kami. Aku bergegas duduk, dan memukul bahunya. Vlad hanya terkekeh. “Man!” Dia makin terkekeh. “Sorry, Bu Anna” Dia meletakkan bantal kursi di atas pangkuannya. “Nanti juga jinak sendiri.” Aku melirik tajam, dia makin terkekeh. “Anna, ya
VLAD benar-benar tergesa meninggalkan area penginapan. Meski begitu dia masih sadar tidak membuat keributan yang bisa membuat perhatian teman-temannya teralihkan. Setelah mengemudi beberapa saat, cukup jauh dari penginapan, dia mencari tempat menepi. Tentu itu sangat sulit. Kiri-kanan dipenuhi bangunan. Sampai akhirnya dia menemukan ceruk yang merupakan jembatan ke sebuah bangunan berpagar tinggi. Di sanalah akhirnya dia memarkirkan mobil. Dia hanya butuh jeda sesaat untuk menenangkan hati. Cukup tenang dulu, untuk mengurus hati butuh waktu yang lama. Di ceruk itu, dia menyandarkan kepala ke kemudi beralas lengan. Napasnya memburu menahan sesak. Meski yakin dengan rencananya, tapi tetap terselip keraguan. Apa Anna akan bertahan menunggunya? Sembilan tahun lagi…. Usia Anna menjelang tiga puluh tahun. Banyak gadis merasa insecure di usia itu jika masih sendiri. Seharusnya Anna tidak merasa seperti itu. Ada dia yang akan kembali padanya. Ah, seandainya bisa leb