AKU berusaha membuka mata, berusaha mengenali di mana aku. Dan pelukan hangat ini, kenapa nyaman sekali? Ketika aku mengenali di dada siapa aku tertidur, aku mendesah. Tapi bukannya menjauh aku malah merengsek makin dalam ke dada itu.
“Kamu kenapa, Savannah?”
Suara serak khas bangun tidur terdengar di atasku. Tapi kesadaran bahwa Vlad sudah terbangun tidak membuatku pergi dari kenyamanan pelukannya. Aku hanya menghela napas memeluk Vlad makin erat ketika belainya terasa di kepalaku. Ingin kulanjutkan kegilaan ini tapi gerakanku membuat aku merasakan ada yang mengganjal d antara kami yang berusaha Vlad sembunyikan dari tubuhnya. Membuatku tersadar lalu langsung melepas pelukan kami. Aku bergegas duduk, dan memukul bahunya. Vlad hanya terkekeh.
“Man!”
Dia makin terkekeh.
“Sorry, Bu Anna” Dia meletakkan bantal kursi di atas pangkuannya. “Nanti juga jinak sendiri.”
Aku melirik tajam, dia makin terkekeh.
“Anna, ya
Mereka makin dekat makin mengkhawatirkan. Kalimat penutup bab ini jleb banget.
VLAD benar-benar tergesa meninggalkan area penginapan. Meski begitu dia masih sadar tidak membuat keributan yang bisa membuat perhatian teman-temannya teralihkan. Setelah mengemudi beberapa saat, cukup jauh dari penginapan, dia mencari tempat menepi. Tentu itu sangat sulit. Kiri-kanan dipenuhi bangunan. Sampai akhirnya dia menemukan ceruk yang merupakan jembatan ke sebuah bangunan berpagar tinggi. Di sanalah akhirnya dia memarkirkan mobil. Dia hanya butuh jeda sesaat untuk menenangkan hati. Cukup tenang dulu, untuk mengurus hati butuh waktu yang lama. Di ceruk itu, dia menyandarkan kepala ke kemudi beralas lengan. Napasnya memburu menahan sesak. Meski yakin dengan rencananya, tapi tetap terselip keraguan. Apa Anna akan bertahan menunggunya? Sembilan tahun lagi…. Usia Anna menjelang tiga puluh tahun. Banyak gadis merasa insecure di usia itu jika masih sendiri. Seharusnya Anna tidak merasa seperti itu. Ada dia yang akan kembali padanya. Ah, seandainya bisa leb
SEMUA berjalan biasa. Komunikasi kami—aku dan Vlad—makin dekat. Vlad tidak pernah menyinggung perasaannya lagi, apalagi bertanya soal hubungan aku dan Bhaga. Yang kami bahas hanya masalah-masalah receh, obrolan random, dan chat absurd. Tentu saling berkirim paket makanan makin lancar. Tapi Vlad tidak pernah lagi mengajakku pergi. Jadilah sebulan ini kami tidak pernah bertemu langsung. Aku hanya menjalani saja. Ketika jalan itu bisa kunikmati, maka aku menikmatinya. Termasuk keinginan bertemu Vlad. Meski tidak terucap, aku tahu, aku merindukan pertemuan langsung dengannya. Tidak hanya sekadar bertemu di udara saja. Bhaga? Aku tidak pernah lagi menghubunginya. Komunikasi kami—aku dan Bhaga—makin hancur seiring makin jarangnya dia berkirim pesan. Entah apa yang akan kami bincangkan nanti ketika bertemu. Aku yakin, suasananya akan sangat kaku. Dan kamar di rumah ini hanya satu. Padahal aku malas sekali seranjang dengannya seperti dengan tamu. Kaku.
VLAD sadar ada yang mengenalinya. Itu membuat dia makin melajukan kecepatan. Sendirian di mobil membuatnya kesepian tapi bebas. Termasuk bebas menginjak pedal gas. Bayangan Anna dan besok hari terus menemaninya di sepanjang jalan. Sampai di rumah, dia sampai disambut wajah lega Vienna. “HP kamu kenapa?” tanya Bagas yang langsung dihadang tubuh istrinya. “Sudah, Mas. Yang penting Vlad sudah pulang.” Vlad tertunduk dan langsung lari ke kamar. Kopernya sudah siap. Surat-suratnya pun sudah siap. Terutama surat keterangan lulus. Dan sebuah kotak berisi hadiah dari Anna. Dia buka kembali seakan memastikan isinya masih utuh. Empat hiasan. Tapi yang sering dia pegang adalah gabungan namanya dan nama Anna. Tak ingin berkelakuan lebih gila lagi, dia segera menutup semuanya. Lalu merebahkan tubuh, tidak berusaha tidur, hanya ingin melamun saja. *** Keesokan harinya dia turun sudah bersama koper dan backpack.
SEMINGGU ini sepertinya kami berhasil mengurangi frekuensi vcall. Pagi hari Vlad hanya menyapaku melalui pesan teks. Siang saat di sekolah sudah pasti hanya pesan teks juga. Malam yang sulit. Seakan malam adalah akumulasi cerita sehari itu. Ada saja yang kami bincangkan. Kalau pun tidak, kami bisa saja hanya bekerja bersama atau menonton film bersama. Ya macam itu lah. Yang penting bersama. Seperti malam ini. Kami menonton bersama. Sebuah film lama. Anaconda sekuel kedua di Kalimantan. Pulau yang Bhaga sangat kerasan di sana. Seandainya Bhaga mengajakku tinggal di ibukota provinsi, tentu aku mau. Tapi Bhaga mengajakku tinggal di tepi hutan. Untuk pecinta alam dan penjelajah macam Bhaga, Kalimantan adalah surga. Tapi untuk makhluk kota seperti aku— “Anna...” Suara Vlad mengganggu lamunanku “Hm.” “Kamu kenapa?” Aku melepas headset yang memperdengarkan audio film yang kami tonton. Dia pun melakukan hal yang sama. “Pause,
[2018] [Enam tahun sejak pertemuan pertama] [Tiga tahun sebelum bertemu lagi] . BAGI Vlad, kecepatan putaran waktu bisa dalam dua kecepatan yang berbeda. Cepat dan lambat sekaligus. Dia merasa waktu berjalan sangat cepat. Sudah dua pertiga waktu targetnya terpakai. Sisa tiga tahun lagi, tapi baru setahun perusahaannya berdiri. Memang dia sudah memulai usahanya sejak awal di negara ini, tapi baru tahun lalu dia resmikan. Apa cukup tiga tahun untuk membangun dan memperluas jaringan? Apalagi selama ini semua yang dia peroleh full atas usaha sendiri tanpa bantuan orangtua. Ayahnya berkali-kali menawarkan bantuan, tapi selalu Vlad tolak. Namun, di sinilah dia sekarang, menjadi founder usaha miliknya sendiri juga atas usahanya sendiri. Enam tahun sudah berlalu, diisi belajar sampai mabuk dan bekerja nyaris mati. Hasilnya memang luar biasa. Vlad berhasil mengejar dua tahun ketertinggalannya. Dia hanya dua tahun di sekolah lanjutan, lalu tiga tahun menyelesaikan S1. Dua kali tinggal kela
VLAD DWangsa : Aku sudah mau jalan nih. Aku tersenyum membaca absen paginya. Alih-alih membalas pesan, aku malah menelepon, yang langsung dia angkat. “Yaps.” Suara mencecap khas mulut mengunyah. “Katanya sudah mau jalan. Kok masih makan?” “Loh, tadi memang bilang mau jalan ke mana? Nggak kan?” jawabnya yang membuat aku memutar mata sambil mendengus. “Aku sudah mau jalan ke ruang makan. Sudah mandi, sudah ganteng maksimal.” Aku langsung terkekeh. “Mana coba lihat yang sudah ganteng maksimal.” Tak lama masuk permintaan sambungan video darinya yang ketika kuterima dia sudah menjauhkan kamera. Dia berdiri sehingga tubuhnya terlihat jelas tak hanya wajahnya. Aku makin terkekeh. “Gimana? Ganteng kan?” Dia berdiri sambil memasukkan tangan ke saku celana. Dia hanya mengenakan kemeja yang digulung asal dan memadukannya dengan jeans. Aku melihatnya dengan dahi berkeryit sampai wajahku miring. “Oh, come on, Anna, akuilah…” Aku tak lagi terkekeh tapi tergelak lepas. Masih dengan tangan
“SAVANNAAAHHH….” Lengkingan itu terdengar menyayat hati. Ponsel di tangannya jatuh tapi tidak dia pedulikan. Erlan dan Bowo berteriak-teriak tidak dia dengar. Vlad jatuh terpuruk berlutut dengan tangan menarik keras rambutnya. Begitu keras sampai Vlad ingin melepas kulit kepalanya, melepaskan tengkorak, lalu membiarkan otaknya yang berdarah-darah terburai ke luar menemani hatinya yang lebur. Vlad terus menarik rambutnya sampai kepalanya menyentuh lantai. Bahunya berguncang hebat. Setelah teryakini dengan fakta pernikahan Anna dan Bhaga adalah nyata, isaknya tidak bisa lagi dia tahan. Terpuruk di lantai dan menangis. Ini bukan lagi sakit. Ini… sakit sekali. Vlad tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Semua mimpinya hancur. Lalu buat apa enam tahun ini dia jungkir balik banting tulang peras keringat menyiksa otak jika akhirnya Anna menikah dengan lelaki lain. Buat apaaa…??? Semua yang dia lakukan hanya untuk Anna. untuk membuktikan kesungguhan hatinya
AKU berusaha tidak menangis sepanjang perjalanan menuju apartemen. Aku tidak mau berpikir apa yang Vlad pikirkan sampai dia meninggalkan aku seperti ini. Aku terus berusaha menghubunginya. Sampai satu titik aku sadar, aku tidak bisa menghubungi Vlad lagi. Vlad memblokir nomorku? Ya Tuhan, Vlad… Aku berusaha menenangkan diri dengan berkata paling tidak Vlad sehat, tidak kecelakaan, karena dia bisa memblokir nomorku. Ketika Bu Ros memperkenalkan aku, aku terlalu sibuk menata wajah menyembunyikan fakta kedekatan kami setelah jabat tangan basa basi dengannya. Aku tidak fokus mendengar kalimat-kalimat Bu Ros. Lalu tanpa bisa kucegah Bu Ros sudah menjelaskan materi pembahasan skirpsiku dan fungsi Vlad di skripsi itu. Tapi kalau pun aku sadar, bagaimana caranya aku menghentikan ocehan Bu Ros? Ya Tuhan…. Satu dua isak mulai lolos dari hidung. Aku semakin panik menyadari kesalahanku. Lebih panik lagi ketika membayangkan apa yang Vlad rasa mendengar info itu. Lelaki itu sangat peka. Hatiny