VLAD sadar ada yang mengenalinya. Itu membuat dia makin melajukan kecepatan. Sendirian di mobil membuatnya kesepian tapi bebas. Termasuk bebas menginjak pedal gas. Bayangan Anna dan besok hari terus menemaninya di sepanjang jalan.
Sampai di rumah, dia sampai disambut wajah lega Vienna.
“HP kamu kenapa?” tanya Bagas yang langsung dihadang tubuh istrinya.
“Sudah, Mas. Yang penting Vlad sudah pulang.”
Vlad tertunduk dan langsung lari ke kamar. Kopernya sudah siap. Surat-suratnya pun sudah siap. Terutama surat keterangan lulus. Dan sebuah kotak berisi hadiah dari Anna. Dia buka kembali seakan memastikan isinya masih utuh. Empat hiasan. Tapi yang sering dia pegang adalah gabungan namanya dan nama Anna. Tak ingin berkelakuan lebih gila lagi, dia segera menutup semuanya. Lalu merebahkan tubuh, tidak berusaha tidur, hanya ingin melamun saja.
***
Keesokan harinya dia turun sudah bersama koper dan backpack.
Selamat ya, Vlad. Semoga sukses semua usahanya, dilancarkan jalannya, dimudahkan urusannya. Kalaupun Allah mau menguji kamu dengan kesulitan, semoga diberi kekuatan dan ketabahan menjalani semuanya. Aamiin. Ttd -Emaknye Vlad-
SEMINGGU ini sepertinya kami berhasil mengurangi frekuensi vcall. Pagi hari Vlad hanya menyapaku melalui pesan teks. Siang saat di sekolah sudah pasti hanya pesan teks juga. Malam yang sulit. Seakan malam adalah akumulasi cerita sehari itu. Ada saja yang kami bincangkan. Kalau pun tidak, kami bisa saja hanya bekerja bersama atau menonton film bersama. Ya macam itu lah. Yang penting bersama. Seperti malam ini. Kami menonton bersama. Sebuah film lama. Anaconda sekuel kedua di Kalimantan. Pulau yang Bhaga sangat kerasan di sana. Seandainya Bhaga mengajakku tinggal di ibukota provinsi, tentu aku mau. Tapi Bhaga mengajakku tinggal di tepi hutan. Untuk pecinta alam dan penjelajah macam Bhaga, Kalimantan adalah surga. Tapi untuk makhluk kota seperti aku— “Anna...” Suara Vlad mengganggu lamunanku “Hm.” “Kamu kenapa?” Aku melepas headset yang memperdengarkan audio film yang kami tonton. Dia pun melakukan hal yang sama. “Pause,
[2018] [Enam tahun sejak pertemuan pertama] [Tiga tahun sebelum bertemu lagi] . BAGI Vlad, kecepatan putaran waktu bisa dalam dua kecepatan yang berbeda. Cepat dan lambat sekaligus. Dia merasa waktu berjalan sangat cepat. Sudah dua pertiga waktu targetnya terpakai. Sisa tiga tahun lagi, tapi baru setahun perusahaannya berdiri. Memang dia sudah memulai usahanya sejak awal di negara ini, tapi baru tahun lalu dia resmikan. Apa cukup tiga tahun untuk membangun dan memperluas jaringan? Apalagi selama ini semua yang dia peroleh full atas usaha sendiri tanpa bantuan orangtua. Ayahnya berkali-kali menawarkan bantuan, tapi selalu Vlad tolak. Namun, di sinilah dia sekarang, menjadi founder usaha miliknya sendiri juga atas usahanya sendiri. Enam tahun sudah berlalu, diisi belajar sampai mabuk dan bekerja nyaris mati. Hasilnya memang luar biasa. Vlad berhasil mengejar dua tahun ketertinggalannya. Dia hanya dua tahun di sekolah lanjutan, lalu tiga tahun menyelesaikan S1. Dua kali tinggal kela
VLAD DWangsa : Aku sudah mau jalan nih. Aku tersenyum membaca absen paginya. Alih-alih membalas pesan, aku malah menelepon, yang langsung dia angkat. “Yaps.” Suara mencecap khas mulut mengunyah. “Katanya sudah mau jalan. Kok masih makan?” “Loh, tadi memang bilang mau jalan ke mana? Nggak kan?” jawabnya yang membuat aku memutar mata sambil mendengus. “Aku sudah mau jalan ke ruang makan. Sudah mandi, sudah ganteng maksimal.” Aku langsung terkekeh. “Mana coba lihat yang sudah ganteng maksimal.” Tak lama masuk permintaan sambungan video darinya yang ketika kuterima dia sudah menjauhkan kamera. Dia berdiri sehingga tubuhnya terlihat jelas tak hanya wajahnya. Aku makin terkekeh. “Gimana? Ganteng kan?” Dia berdiri sambil memasukkan tangan ke saku celana. Dia hanya mengenakan kemeja yang digulung asal dan memadukannya dengan jeans. Aku melihatnya dengan dahi berkeryit sampai wajahku miring. “Oh, come on, Anna, akuilah…” Aku tak lagi terkekeh tapi tergelak lepas. Masih dengan tangan
“SAVANNAAAHHH….” Lengkingan itu terdengar menyayat hati. Ponsel di tangannya jatuh tapi tidak dia pedulikan. Erlan dan Bowo berteriak-teriak tidak dia dengar. Vlad jatuh terpuruk berlutut dengan tangan menarik keras rambutnya. Begitu keras sampai Vlad ingin melepas kulit kepalanya, melepaskan tengkorak, lalu membiarkan otaknya yang berdarah-darah terburai ke luar menemani hatinya yang lebur. Vlad terus menarik rambutnya sampai kepalanya menyentuh lantai. Bahunya berguncang hebat. Setelah teryakini dengan fakta pernikahan Anna dan Bhaga adalah nyata, isaknya tidak bisa lagi dia tahan. Terpuruk di lantai dan menangis. Ini bukan lagi sakit. Ini… sakit sekali. Vlad tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Semua mimpinya hancur. Lalu buat apa enam tahun ini dia jungkir balik banting tulang peras keringat menyiksa otak jika akhirnya Anna menikah dengan lelaki lain. Buat apaaa…??? Semua yang dia lakukan hanya untuk Anna. untuk membuktikan kesungguhan hatinya
AKU berusaha tidak menangis sepanjang perjalanan menuju apartemen. Aku tidak mau berpikir apa yang Vlad pikirkan sampai dia meninggalkan aku seperti ini. Aku terus berusaha menghubunginya. Sampai satu titik aku sadar, aku tidak bisa menghubungi Vlad lagi. Vlad memblokir nomorku? Ya Tuhan, Vlad… Aku berusaha menenangkan diri dengan berkata paling tidak Vlad sehat, tidak kecelakaan, karena dia bisa memblokir nomorku. Ketika Bu Ros memperkenalkan aku, aku terlalu sibuk menata wajah menyembunyikan fakta kedekatan kami setelah jabat tangan basa basi dengannya. Aku tidak fokus mendengar kalimat-kalimat Bu Ros. Lalu tanpa bisa kucegah Bu Ros sudah menjelaskan materi pembahasan skirpsiku dan fungsi Vlad di skripsi itu. Tapi kalau pun aku sadar, bagaimana caranya aku menghentikan ocehan Bu Ros? Ya Tuhan…. Satu dua isak mulai lolos dari hidung. Aku semakin panik menyadari kesalahanku. Lebih panik lagi ketika membayangkan apa yang Vlad rasa mendengar info itu. Lelaki itu sangat peka. Hatiny
VLAD merasa badannya lemah dan terasa sakit di sekujur badan. Geliatnya tidak bertenaga. Namun dia tahu, tidurnya kali ini termasuk yang terbaik selama seminggu ini. Matanya perlahan membuka, semua masih berbayang, tapi dia merasa ada yang aneh ketika melihat flatnya tidak seperti sebelum dia tidur. “Vlad…” Suara bisikan itu membuatnya langsung sadar. Ada orang lain di ruangan ini, orang yang membersihkan ruangan ini. “Makan dulu ya. Bunda bawa banyak lauk yang kamu suka.” Vienna masih berbisik, tak mau mengganggu Vlad. Termasuk ketika dia mendekat untuk memegang dahi anaknya. “Nggak panas kok.” Dia merasa sangat lega. Meski tadi ketika datang sudah dia lakukan prosedur standar itu. Setelah yakin Vlad tidak sakit, Vienna langsung menyendokkan nasi ke piring. Gerakannya berhenti ketika Vlad bangun tapi langsung menyambar handuk lalu ke kamar mandi. Vlad tidak merasa perlu mempercepat mandinya. Semua dia lakukan dengan kecepatan normal cenderung lama. Tubuhnya terasa lebih hidup lepa
GANTI bahuku yang terguncang hebat, aku sudah tidak bisa mengendalikan tangisku lagi. “Vlad....” bisikku. Aku tak berniat memanggilnya. Aku hanya ingin menyebut namanya. “Dari kapan kamu di sini?” Suaranya dingin. Aku langsung limbung. Aku ingin menjerit tapi yang keluar hanya tangis yang berusaha keras aku hentikan. Butuh beberapa saat sampai tangis itu tersisa isak dan cicit ketakutan. “Da... dari... pulang reuni.” “Untuk apa?” Dia masih berdiri di sana. Tak lagi terburu menghampiriku. “Tadi di sana aku cari kamu, tapi ada yang bilang kamu pergi buru-buru karena ada urusan mendadak. Aku nggak bisa hubungi kamu. Aku ke sini aja tungguin kamu.” “Pertanyaan aku, untuk apa, bukan kenapa.” Aku makin tergagap. Tuhan, tolong temggelamkan aku sekarang. “Untuk... untuk ..” “Untuk apa, Anna?” “Bersenang-senang.” Vlad tertawa. Tawa sinis yang membunuhku. Mendadak dia menjelma menjadi Vlad Tepes III, Count Dracul si penyula. “Memang aku ini cuma mainan kamu untuk bersenang-senang ya.
BAGAS sampai disambut Burhan yang sedang merapikan tanaman di halaman depan. Bergegas dia membersihkan tangan dan mengajak Bagas masuk. “Nggak usah, Pak. Di sini aja. Saya buru-buru,” ujarnya sambil duduk di tangga. “Ada apa ya, Pak.” Burhan duduk satu anak tangga di bawah Bagas. “Pak, Vlad pernah ke sini sama temannya?” tanyanya sambil menatap Burhan. Bu Burhan yang datang membawa minum langsung duduk bersimpuh di lantai. Bagas bisa melihat bahu Burhan menegang. “Kenapa, Pak?” “Tolong jawab, Pak. Bundanya Vlad di Singapura lagi temenin Vlad.” Bagas mengulurkan ponsel pada Burhan, istrinya langsung merapat. “Menurut bundanya, Bapak tau jawabannya.” “Astagfirullah, Kang Plad… aya naon?” “Makanya, jawab pertanyaan saya, Pak. Siapa teman yang Vlad bawa ke sini?” desak Bagas. “Ibunya curiga yang bikin Vlad begitu urusan cewek.” “Tapi itu sudah lama sekali, Pak. Enam tahun lalu. Dia baru lulus SMP.” “Tapi sejak itu dia berubah dan kami nggak pernah ngelihat dia sama perempuan lain