"Kalau kau memang mencintaiku, kau akan memberikan kehormatanmu padaku sebagai buktinya." Tuntut Jerry, cinta pertamaku.
Usiaku baru menginjak 16 tahun waktu itu. Usia yang cukup naif untuk mengerti betapa mengerikannya cinta dan terlalu mudah dibodohi oleh janji manis dengan iming-iming cinta sebagai imbalannya. Namun ketika kau berpacaran dengan penuh perasaan dan merasa dunia ini sudah milik kalian berdua, di situlah logika kalian sudah tertutup. Dengan mudahnya kalian akan memberikan apapun demi mendapatkan perasaan yang semu dan rapuh itu.
Pada akhirnya dengan sedikit pertimbangan, kuiyakan kemauan Jerry pada saat itu. Aku ingin membuktikan padanya bahwa perasaan dan kata-kataku yang tulus mencintainya memang benar adanya. Jadi ku tepis segala keraguan yang masih mengganggu hati dan pikiranku, karena bagiku dia adalah cinta pertamaku. Dan seperti certa yang berkembang di luar sana setiap cinta pertama akan selalu berakhir dengan happy ending.
Tapi tentu saja, itu hanya dongeng. Karena di dunia nyata, jarang ada cinta pertama yang berakhir di pelaminan atau bahkan happy ending sampai maut memisahkan.
Kembali ke cerita...
Kami sepakat untuk melakukan acara pembuktian itu setelah pulang sekolah. Seperti biasa Jerry akan selalu mengantarku pulang ke rumah terlebih dahulu. Namun pada saat itu, rumahku memang sedang kosong karena seluruh orang rumahku sedang tidak ada karena sibuk dengan pekerjaan mereka masing masing.
Jerry lalu berjalan masuk membawaku masuk ke kamarku dan disitulah untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melepaskan sesuatu yang sangat berharga bagitu. Mahkota yang selama 16 tahun kedua orang tuaku jaga ini ku berikan ke padanya untuk ia pecahkan.
Sebelum kami melakukannya, Jerry berjanji akan sangat hati hati dan membuatku merasakan kenikmatan tiada tara. Bahkan saking nikmatnya aku akan terbang sampai ke surga, begitu katanya. Dengan satu tarikan nafas, kubiarkan Jerry memasukiku dengan merobekku dari bawah. Aku menangis, meronta dan menjerit kesakitan. Tidak seperti perkataannya barusan, semua yang kurasakan saat itu seperti mimpi buruk bagiku. Rasa sakit tiada tara yang baru pertama kali kurasakan dalam hidupku membuat air mataku jatuh bersama dengan darah kehormatanku yang menetes tanpa henti. Dalam sekejap mata, aku menyesali perbuatanku.
"Sayang, aku mencintaimu."
Kata kata yang Jerry ucapkan waktu itu berhasil membuatku menepis semua penyesalan dan rasa sakit yang kurasakan. Dia juga mencintaiku seperti aku mencintainya, jadi semua ini wajar untuk orang yang saling menyayangi. Itu pikirku.
Setelah pergulatan hebat yang kami lakukan di kamarku waktu itu, Jerry akhirnya berhasil melepaskan sesuatu yang selama ini ia pendam bersamaku bersama dengan ratusan kali kata manis nan indah yang mengalun dari bibirnya.
Aku berkedip tidak percaya. Batinku berteriak karena sadar akan perbuatan gilaku barusan. Aku baru saja melepas keperawanananku!
Tubuh Jerry roboh tepat di sebelahku dan nafas kami sama-sama berderu hebat mencari udara di sekitar kami. Meski terkesan kikuk dan buru-buru, aku yakin dia sangat bangga sudah menampilkan pertunjukan hebatnya di depan mataku.
Lama kami hening dan sibuk dengan kegiatan memperbaiki aliran nafas kami masing masing. Aku yang sibuk dengan pikiranku sendiri dikagetkan dengan sentuhan tangannya yang mengelus pucuk kepalaku. Aku meliriknya dan ternyata ia sudah menatapku sambil tersenyum sumringah.
"Terima kasih, Anna. I love you. You do love me right?" Tanyanya tersenyum simpul penuh makna.
Aku membalikkan badanku menghadapnya. Posisi kami sekarang saling rebahan dan berhadapan-hadapan, meski masih tanpa busana.
Aku tersenyum simpul dan mengangguk pelan sambil membalas tatapannya.
"I really love you, Jerry. You know that." Balasku.
Jerry tersenyum dan memperbaiki anak rambut yang menutupi wajahku lalu meraih kepalaku untuk mencium keningku dengan sangat lembut.
Aku mencintaimu. Dan sudah kuberikan buktinya. Apa sekarang kau sudah percaya?
.
.
.
"Kau mau menikah denganku atau tidak?! Kalau kau tidak mau, aku sudah punya seseorang yang menungguku di sana. Aku datang kesini hanya untuk mendengar jawabanmu." Tanyanya sedikit memaksa.
Aku hanya bisa melihat Jerry dengan tatapan mata kesal seakan tidak percaya. Begitu mudahnya dia mengatakan pertanyaan itu padaku setelah jatuh bangun aku mempertahankan hubungan yang sudah berlangsung selama 7 tahun ini? Aku mendengus kesal. Sudah terlalu malas aku berdebat dengannya, karena pada akhirnya dia yang akan selalu menang.
Lokasi kami memang sudah terpisah jarak dan waktu sejak dia memutuskan untuk berkarir di daerah lain. Dan sudah berkali kali-pula aku mencurigainya mempunyai kekasih lain. Jerry dengan segala kemampuannya berkilah mampu mengelak dari segala tuduhanku dan berhasil membodohiku lagi dan lagi. Namun kali ini, dia sendiri yang mengakui bahwa dirinya sudah mempunyai kekasih lain di luar sana.
"Beri aku waktu berpikir, Jerry. Aku lelah baru pulang dari kantor." Jawabku.
"Tidak. Ini kesempatanmu yang terakhir." Ancamnya.
***
Selamat datang^^ Selamat menikmati kisah cinta nyata seorang Anna di dunia nyata, yang kutulis ulang dengan sebaik mungkin. Kalau masih ada Typo, tolong dikoreksi saja. Aku akan mengubahnya nanti. Terima kasih.
Aku semakin meliriknya kesal saat mulutnya tidak berhenti mengeluh dan menyalahkan aku. Baru saja aku menemuinya selama 2 hari dan dia mengambil keputusan sepihak seperti itu? Kemana janjinya yang akan bertemu denganku seminggu penuh ini? Sudah hampir 6 bulan lamanya kami tidak bertemu dan memutuskan komunikasi karena aku sudah mencurigainya memiliki kekasih lain di sana. "Besok. Aku akan memberikanmu jawaban besok. Sekarang antarkan aku pulang." Balasku cuek. Malam itu menjadi makan malam terakhir bagi kami karena aku memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan yang tidak sehat ini. Persetan dengan semua janji manis dan sikapnya yang ternyata penuh dengan tipu muslihat. Yang dia butuhkan hanya seseorang untuk melampiaskan nafsu bejatnya yang tidak ada habisnya itu. Dan dengan bodohnya aku selalu tertipu. Tapi malam ini, kuputuskan untuk tidak lagi jatuh di lubang yang sama. Cukup. Aku muak dengannya. Kubiarkan air mataku jatuh semalaman penuh untuk menyelesaikan rasa sakit yang me
Setiap hari aku harus terus sabar menjalani rutinitasku. Pagi bekerja sebagai pegawai teladan dan malamnya harus membuat atasanku senang dengan performaku yang lain. Tentu tidak masalah bagiku, tapi rasanya lumayan bosan juga kalau harus terus melakukan aktivitas yang sama setiap hari.Tapi, sabar Anna.Menjalankan sesuatu dengan rasa sabar pasti akan membuahkan sesuatu yang baik. Aku hanya perlu sabar menunggu hingga pengunguman itu keluar supaya bisa keluar dari rutinitas yang membosankan ini. Mau sampai kapan aku harus terus membuat bos mesum itu senang? Kenapa harus aku yang terus menuruti kemauannya? Apa sih kerja istrinya, sampai-sampai orang ini setiap hari terus mencariku?Rasanya ingin berteriak tapi aku tidak bisa. Aku terlalu capek kalau hanya ingin sekedar mengeluh. Malampun menjelang dan seperti biasa, aku menyetir menuju ke salah satu mall terbesar di kotaku dan memarkirkan mobilku tempat yang menjadi titik pertemuan kami setiap hari. Aku kemudian keluar dan berjalan men
Aku menghembuskan nafasku kasar karena kaget akan sikap Liam yang tiba-tiba berubah menjadi menyebalkan."Tidak. Pulanglah. Nanti aku bayarin ongkos taksinya, maaf mereporkanmu dan terima kasih sudah menemaniku." Ucapku tersenyum."Oh aku sangat suka ekspresi terkejutmu itu." Tawanya."Baiklah kalau begitu. Terima kasih juga sudah memanggilku. Senang bisa menemani malammu, Anna." Tambahnya sambil mulai mengambil barang bawaannya."Okay, See you." Ucapku tersenyum dan memencet tombol pembuka kunci pintu dari sisi kanan mobilku.Sebelum benar-benar turun, Liam tersenyum ke arahku sambil merentangkan kedua tangannya. Aku yang mengerti lalu segera membalas pelukannya. Liam akhirnya memelukku dengan sangat erat sambil sesekali mengelus pungggungku.Aku tersenyum."Kau sudah berjuang sangat keras" Bisiknya.Tentu saja mendapatkan perlakuan hangat seperti ini mampu membuatku merasa bahagia. Meski hanya sesaat.Namun tidak kusangka Liam mendekatkan wajahnya untuk mencium bibirku. Dan entah ap
"Kamu sepertinya belum pulang hari ini. Penampilanmu dengan pakaian kantor di jam segini sepertinya menunjukkan kalau seseorang baru saja meenggelamkan dirinya di kolam penuh alkohol." Ucapnya mulai mengimitasi. Aku mulai mengangkat sikuku dan mengendus sendiri bau yang menempel di pakaianku. Tapi sialnya seluruh indra penciuman dan perasaku sedang mati rasa karena alkohol sialan itu. "Maaf, saya tidak mencium apa-apa, Pak. Sekali lagi maaf kalau bau badan saya sudah mencemari udara di sekitar Bapak." Aku menunduk meminta maaf pada pimpinan utama perusahaan ini. "It's Okay, Anna. Oh, please... Panggil Rayes saja kalau kita sedang berdua begini. Lagi pula ini sudah bukan jam kantor. Jadi tidak perlu sungkan." Ucapnya santai sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. Jujur saja, melihat pria dengan baju kemeja yang kancing atasnya terlepas dan lengan panjangnya yang terlipat terlihat sangat seksi di mataku. Netraku tidak berhenti berbinar menatapnya. Oleh karena itu aku leb
Oh iya, telepon. Kamar mewah seperti ini pasti punya telepon. Aku berlari mencari telepon itu di ruang tamu dan mendapati meja tamu yang penuh dengan makanan yang masih terbungkus rapi, lengkap dengan beberapa biji obat dan secarik kertas. 'Jangan lupa makan dan minum obatnya. Setelah itu duduk manislah dan tunggu saya.' Siapa? Aku? Ohhh tidak akan. Aku harus keluar dari sini secepat mungkin. Aku mendapatkan telepon tepat di meja kecil di ruang tamu dan segera memencet nomor receptionist. Tidak butuh waktu lama aku segera mendapatkan balasan. "Good Morning. May I help you, mam?" Loh? Bagaimana bisa dia tau kalau perempuan yang berbicara? Padahal aku belum mengeluarkan suara sama sekali. "Halo mbak, saya terkunci di kamar ini. Sepertinya pintunya rusak tidak bisa di buka dari dalam. Bisa tolong panggilkan teknisi untuk membantu memperbaiki pintu saya?" Pintaku. "Baiklah, tunggu sebentar. Saya akan mengabari teknisinya segera mungkin. Maaf atas ketidak nyamanannya. Terima kasi
Jantungku berdetak kencang seketika. "Apa yang sudah saya lakukan tadi malam Tuan?" Tanyaku penasaran Apa yang sudah kulakukan pada Rayes? Astaga, Anna... Siap-siaplah menjadi pengangguran sekarang! Rayes tersenyum. Dan itu semakin membuatku ketakutan. "Kamu memanggil nama saya dengan sangat santai. Tidak apa, karena itu memang yang saya mau. Selama ini saya memang memperhatikanmu karena mencurigai kamu sudah mempunyai suatu hubungan yang sepertinya, sudah di luar kewajaran." DEG!! Jantungku kembali berdetak kencang. "Menjadi selingkuhan Manajer Marketingmu? Dan melakukannya di kantor? Apa kau serius??" Mati aku! MATI!!!! "Awalnya saya mencurigai kamu melakukan itu semua demi kenaikan jabatanmu saja. Tapi setelah saya telusuri yang saya dapatkan, kamu memang berhak atas jabatan itu. Pekerjaanmmu sangat rapi dan tersusun, juga tepat waktu. Dan sepertinya kamu tipe yang tekun dan ulet. Tapi saya bingung, kira-kira apa alasannya sampai kamu mau menjadi selingkuhan orang semaca
"I-iya? Ada apa, Rayes?" Tanyaku penasaran. "Apa saya masih terlihat seksi di matamu?” "Hah?" Aku mengedipkan mataku berkali kali mendengarkan pertanyaannya barusan yang tidak pernah kusangka akan keluar dari mulut seorang pimpinan utama perusahaanku. Aku menelan ludahku kasar dan menutup mataku sebelum menarik nafas dalam dalam. "Tentu, Rayes." Senyumku menatapnya. "Tentu. Anda sangat seksi." Tambahku berbohong. Berbohong? Well, seorang pria dengan kemeja yang tidak terkancing rapi dengan lengan yang dilipat itu memang terlihat menarik perhatianku. Tapi bagaimana kalau yang memakainya itu orang seperti Rayes? Maksudku memang wajahnya masuk dalam kategori tampan untuk pria matang seusianya. Tapi apakah aku sopan baru saja menyebut pria dewasa yang mempunyai anak dan istri ini sebagai pria seksi? "Serius? Apa saya lebih seksi ketimbang atasan langsungmu itu?" Tanyanya dengan tatapan yang menyindir. "Tentu saja. Jangan menyamakan diri anda dengan bawahan anda seperti itu. Anda s
Ekspresi Rayes terlihat sedikit kaget namun ia terlihat berusaha menutupinya. "Oh, kamu sudah melihatnya. Yah, itu... Bagaimana ya menjelaskannya." Aku mempunyai firasat tidak enak. "A-apa kita me-melakukan itu? Rayes?" Tanyaku ragu. Rayes melotot menatapku. Firasatku semakin tidak enak. Rayes lalu mengusap tengkuknya yang kusadari tidak gatal sama sekali. Dia mencoba menyembunyikan sesuatu, atau sedang mencoba untuk menjelaskan sesuatu? "I-itu... Hm, begini..." Aku memperbaiki postur tubuhku untuk mendengarkan penjelasannya dengan baik. "Baiklah. Begini, waktu kita sudah sampai di apartemen ini... Kamu... Memuntahkan isi perutmu karena katanya kamu mual mencium wewangian di ruangan ini. Dan begitulah ceritanya kenapa pakaianmu berakhir di tempat laundry." Jelas Rayes sambil menahan tawanya. Wajahku merona padam karena malu. Segera kuambil bantalan sofa yang ada di sampingku lalu menutupi wajahku yang semakin panas ini. "Belum selesai Anna. Tolong dengarkan saya. Setelah puas