Aku menghembuskan nafasku kasar karena kaget akan sikap Liam yang tiba-tiba berubah menjadi menyebalkan.
"Tidak. Pulanglah. Nanti aku bayarin ongkos taksinya, maaf mereporkanmu dan terima kasih sudah menemaniku." Ucapku tersenyum.
"Oh aku sangat suka ekspresi terkejutmu itu." Tawanya.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih juga sudah memanggilku. Senang bisa menemani malammu, Anna." Tambahnya sambil mulai mengambil barang bawaannya.
"Okay, See you." Ucapku tersenyum dan memencet tombol pembuka kunci pintu dari sisi kanan mobilku.
Sebelum benar-benar turun, Liam tersenyum ke arahku sambil merentangkan kedua tangannya. Aku yang mengerti lalu segera membalas pelukannya. Liam akhirnya memelukku dengan sangat erat sambil sesekali mengelus pungggungku.
Aku tersenyum.
"Kau sudah berjuang sangat keras" Bisiknya.
Tentu saja mendapatkan perlakuan hangat seperti ini mampu membuatku merasa bahagia. Meski hanya sesaat.
Namun tidak kusangka Liam mendekatkan wajahnya untuk mencium bibirku. Dan entah apa yang merasuki kepalaku, dengan bodohnya aku membalas sapaan bibirnya. Dan akhirnya ciuman lembut itu tidak terelakkan lagi. Belum sempat kewarasanku merutuki diriku sendiri, perasaanku menyatakan bahwa yang kami lakukan ini hanya ciuman kasih sayang karena sedari aku mengenal Liam adalah teman baik Kakakku, aku mulai menganggapnya Kakakku juga. Dan Liam sangat paham kalau aku tidak akan pernah mau menjalani hubungan yang serius dengan seseorang.
Semakin lama kubiarkan, ciuman itu semakin memanas sampai-sampai membuat kaca mobilku berembun. Aku sedikit kewalahan mengimbangi ciuman Liam yang mulai terasa serius.
"Nggh!!" Dengungku sambil menepuk-nepuk bahu Liam untuk memperingatkannya kalau yang kami lakukan ini harus segera dihentikan.
Tapi sayangnya Liam terlalu menikmatinya. Telinganya seakan tertutup dan tidak bisa digunakan. Entah karena alkohol yang membuat kami berdua mabuk atau memang ciuman ini yang memabukkan dan sepertinya sudah mengarah ke hal lain. Entahlah, aku tidak tau dan tidak mau peduli.
Tok.
Tok.
Tok.
"Bu? Bu Anna? Ada apa?" Suara ketukan kaca mobil dan pertanyaan yang satpam penjaga malam lontarkan membuat kami segera melepaskan aktivitas pelekatan kami dan menyeka bibir kami masing-masing karena sedikit membengkak.
"Tidak, Pak. Saya ketinggalan sesuatu." Balasku saat membuka kaca jendelaku.
"Oh, baik Bu. Tolong parkirkan mobilnya di sana ya." Pintanya lalu meninggalkan kami.
Aku memperbaiki rambut dan pakaianku. Begitu pula dengan Liam yang segera membuka pintu dan pamit pulang padaku seperti tidak ada yang aneh.
“Kalau kau butuh bantuan, jangan lupa kabari aku. Aku akan dengan senang hati menemanimu lagi, wahai teman minumku.” Kekehnya.
Aku tersenyum mengangguk dan masih sempat tertawa cekikikan bersamanya karena sadar akan kejadian konyol yang menimpa kami barusan.
“Terima kasih, Liam!” Teriakku melambaikan tangan padanya yang berjalan semakin menjauh.
Liam membalas lambaian tanganku hingga bayangannya menghilang di balik pagar kantor. Setelah memastikan dirinya sudah pergi, segera kubawa mobilku ke arah parkir kantor yang ditunjuk satpam barusan sebelum masuk ke dalam kantorku yang kini hanya diterangi cahaya remang-remang oleh lampu emergency. Tentu saja. Ini masih terlalu larut untuk menyalakan lampu utama. Segera saja kupencet tombol lift yang memang masih beroperasi menuju ke lantai tempat dimana ruanganku berada.
"Duh mana sih." Bisikku kesal setelah sampai di meja kerjaku.
Aku sengaja tidak menyalakan lampu utama karena tidak ingin berjalan jauh hanya untuk mencari saklar demi menghemat waktu. Tapi tanpa disangka, cahaya remang-remang seperti ini semakin membuatku kesulitan mendapatkan barang itu. Kini tangan dan mataku sibuk mengobrak-abrik mejaku yang sudah terlihat sangat berantakan.
"Ini dia! Ish! Gara-gara kamu aku harus balik lagi kesini. Harusnya aku sudah tidur, tau!" Kesalku pada sebuah flashdisc yang berada dalam genggamanku.
"Yakin sudah tidur?" Suara bariton seseorang yang berhasil mengagetkanku.
"OH ASTAGA NAGA!!" Pekikku yang terperanjat lalu mengelus dadaku yang hampir melemparkan jantungku dari tempatnya.
Segera kupalingkan wajahku dan melihat sosok pria dengan tatapannya yang tajam dan penuh makna sedang berdiri dengan menyandarkan bahunya pada sisi pintu kaca sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Meski cahaya ruangan yang terbatas ini menyinari wajahnya, aku masih bisa melihat senyumannya yang mulai menggodaku.
"Selamat malam, Tuan Rayes." Sapaku menunduk memberikan hormat dengan sikap sempurnaku seperti biasa.
Tentu saja aku harus hormat. Yang berdiri di hadapanku saat ini adalah Gerald Rayes. Seorang pria berusia sekitar 43 tahun yang masih sangat tampan untuk ukuran seorang pria seusianya. Tubuh cukup besar dengan massa otot yang masih bisa dikatakan rapi. Perawakan yang sangat tegas dan sangat berkharisma. Di usianya yang masih terbilang sangat muda ini dia berhasil menjadi pimpinan utama menggantikan ayahnya yang sudah lebih dulu meninggalkannya. Pria beristri dan tentu saja memiliki anak yang cukup tampan, hampir sama sepertinya. Itulah infromasi mengenai pemimpin utama di perusahaanku yang bisa kudapatkan dari berbagai media.
"Yakin kamu sudah tidur?" Tanyanya sekali lagi.
Aku melihatnya dengan mengedipkan mataku karena bingung.
***
"Kamu sepertinya belum pulang hari ini. Penampilanmu dengan pakaian kantor di jam segini sepertinya menunjukkan kalau seseorang baru saja meenggelamkan dirinya di kolam penuh alkohol." Ucapnya mulai mengimitasi. Aku mulai mengangkat sikuku dan mengendus sendiri bau yang menempel di pakaianku. Tapi sialnya seluruh indra penciuman dan perasaku sedang mati rasa karena alkohol sialan itu. "Maaf, saya tidak mencium apa-apa, Pak. Sekali lagi maaf kalau bau badan saya sudah mencemari udara di sekitar Bapak." Aku menunduk meminta maaf pada pimpinan utama perusahaan ini. "It's Okay, Anna. Oh, please... Panggil Rayes saja kalau kita sedang berdua begini. Lagi pula ini sudah bukan jam kantor. Jadi tidak perlu sungkan." Ucapnya santai sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. Jujur saja, melihat pria dengan baju kemeja yang kancing atasnya terlepas dan lengan panjangnya yang terlipat terlihat sangat seksi di mataku. Netraku tidak berhenti berbinar menatapnya. Oleh karena itu aku leb
Oh iya, telepon. Kamar mewah seperti ini pasti punya telepon. Aku berlari mencari telepon itu di ruang tamu dan mendapati meja tamu yang penuh dengan makanan yang masih terbungkus rapi, lengkap dengan beberapa biji obat dan secarik kertas. 'Jangan lupa makan dan minum obatnya. Setelah itu duduk manislah dan tunggu saya.' Siapa? Aku? Ohhh tidak akan. Aku harus keluar dari sini secepat mungkin. Aku mendapatkan telepon tepat di meja kecil di ruang tamu dan segera memencet nomor receptionist. Tidak butuh waktu lama aku segera mendapatkan balasan. "Good Morning. May I help you, mam?" Loh? Bagaimana bisa dia tau kalau perempuan yang berbicara? Padahal aku belum mengeluarkan suara sama sekali. "Halo mbak, saya terkunci di kamar ini. Sepertinya pintunya rusak tidak bisa di buka dari dalam. Bisa tolong panggilkan teknisi untuk membantu memperbaiki pintu saya?" Pintaku. "Baiklah, tunggu sebentar. Saya akan mengabari teknisinya segera mungkin. Maaf atas ketidak nyamanannya. Terima kasi
Jantungku berdetak kencang seketika. "Apa yang sudah saya lakukan tadi malam Tuan?" Tanyaku penasaran Apa yang sudah kulakukan pada Rayes? Astaga, Anna... Siap-siaplah menjadi pengangguran sekarang! Rayes tersenyum. Dan itu semakin membuatku ketakutan. "Kamu memanggil nama saya dengan sangat santai. Tidak apa, karena itu memang yang saya mau. Selama ini saya memang memperhatikanmu karena mencurigai kamu sudah mempunyai suatu hubungan yang sepertinya, sudah di luar kewajaran." DEG!! Jantungku kembali berdetak kencang. "Menjadi selingkuhan Manajer Marketingmu? Dan melakukannya di kantor? Apa kau serius??" Mati aku! MATI!!!! "Awalnya saya mencurigai kamu melakukan itu semua demi kenaikan jabatanmu saja. Tapi setelah saya telusuri yang saya dapatkan, kamu memang berhak atas jabatan itu. Pekerjaanmmu sangat rapi dan tersusun, juga tepat waktu. Dan sepertinya kamu tipe yang tekun dan ulet. Tapi saya bingung, kira-kira apa alasannya sampai kamu mau menjadi selingkuhan orang semaca
"I-iya? Ada apa, Rayes?" Tanyaku penasaran. "Apa saya masih terlihat seksi di matamu?” "Hah?" Aku mengedipkan mataku berkali kali mendengarkan pertanyaannya barusan yang tidak pernah kusangka akan keluar dari mulut seorang pimpinan utama perusahaanku. Aku menelan ludahku kasar dan menutup mataku sebelum menarik nafas dalam dalam. "Tentu, Rayes." Senyumku menatapnya. "Tentu. Anda sangat seksi." Tambahku berbohong. Berbohong? Well, seorang pria dengan kemeja yang tidak terkancing rapi dengan lengan yang dilipat itu memang terlihat menarik perhatianku. Tapi bagaimana kalau yang memakainya itu orang seperti Rayes? Maksudku memang wajahnya masuk dalam kategori tampan untuk pria matang seusianya. Tapi apakah aku sopan baru saja menyebut pria dewasa yang mempunyai anak dan istri ini sebagai pria seksi? "Serius? Apa saya lebih seksi ketimbang atasan langsungmu itu?" Tanyanya dengan tatapan yang menyindir. "Tentu saja. Jangan menyamakan diri anda dengan bawahan anda seperti itu. Anda s
Ekspresi Rayes terlihat sedikit kaget namun ia terlihat berusaha menutupinya. "Oh, kamu sudah melihatnya. Yah, itu... Bagaimana ya menjelaskannya." Aku mempunyai firasat tidak enak. "A-apa kita me-melakukan itu? Rayes?" Tanyaku ragu. Rayes melotot menatapku. Firasatku semakin tidak enak. Rayes lalu mengusap tengkuknya yang kusadari tidak gatal sama sekali. Dia mencoba menyembunyikan sesuatu, atau sedang mencoba untuk menjelaskan sesuatu? "I-itu... Hm, begini..." Aku memperbaiki postur tubuhku untuk mendengarkan penjelasannya dengan baik. "Baiklah. Begini, waktu kita sudah sampai di apartemen ini... Kamu... Memuntahkan isi perutmu karena katanya kamu mual mencium wewangian di ruangan ini. Dan begitulah ceritanya kenapa pakaianmu berakhir di tempat laundry." Jelas Rayes sambil menahan tawanya. Wajahku merona padam karena malu. Segera kuambil bantalan sofa yang ada di sampingku lalu menutupi wajahku yang semakin panas ini. "Belum selesai Anna. Tolong dengarkan saya. Setelah puas
Kenapa Rayes berlebihan seperti itu? Oh astaga betapa bodohnya aku. Saking kagetnya aku melihat pakaian baru nan mahal ini, aku berlari pada Rayes tanpa mempedulikan tampilanku yang hanya terbungkus handuk putih dengan rambut basah sempurna berjalan begitu saja ke hadapannya dengan pakaian mahal pemberiannya itu di tanganku. Tentu saja Rayes akan menyemburkan air yang baru saja masuk memenuhi mulutnya itu sebelum mengomeliku dengan eksresi terkejutnya. "Ma-maaf, bukan begitu maksudku. Tapi ini?" "Ambil saja. Kamu berhak itu. Anggap saya yang sudah membuat pakaianmu menjadi kotor, okay? Lagi pula kemeja yang kamu pakai dan jas yang kamu ikat untuk menutupi pahamu tadi itu harganya melebihi pakaianmu sekarang. Jadi anggap saja itu hadiah, Anna." Pintanya. "Tapi saya-" Aku masih sangat tidak enak! "Anna, tolong." Rayes mulai berjalan mendekatiku. "Itu dari pemberian seorang teman. Okay?" Ucapnya menyentuh bahuku dengan kedua tangannya. Ada sensasi hangat yang menggeliat melalui ta
Sesampainya di rumah, segera kubuka pintu garasi dan memasukkan mobilku tepat di samping motor sport, Nathaniel, Kakak laki-lakiku yang sangat jarang pulang lebih awal dari jam pulang kantornya. Aku segera berlari masuk ke dalam rumah untuk mencarinya. Dan benar saja, dia sedang mengobrak-abrik lemari pakaianku. "YA AMPUN! KAKAK NGAPAIN?" Kagetku. Niel yang bingung melihat kehadiranku hanya bisa terdiam kaku menatapku yang sibuk menghentikan aktivitasnya. "Kantormu baru saja meneleponku karena mereka bilang tidak bisa menghubungimu karena ponselmu mati. Katanya kau akan berangkat besok pagi untuk mengikuti program-apalah itu. Jadi aku segera pulang dan membantumu berpacking. Karena kupikir kau akan pulang malam atau bahkan tidak pulang lagi." Jawabnya santai. "Iya ponselku mati, tapi aku pasti pulang. Aku tidak mau jadi anak durhaka." Segera kututup koperku yang masih berantakan itu. "Terus... Bisa kau jelaskan alasan kenapa tidak pulang semalam?" Tanyanya. "Aku lembur. Banyak ya
"Halo, Anna." "Ra-Rayes? Apa ini ulahmu?" Tanyaku bingung. Ia tersenyum. Pramugari tersebut mempersilahkanku duduk tepat di sebelah Rayes. Dan tanpa banyak bertanya, aku segera menuruti arahan pramugari tersebut. "Apa ini ulahmu?" Tanyaku memastikan. Rayes hanya memberikanku senyuman penuh maknanya. "Bagaimana kalau pegawai yang lain melihatnya?" Tanyaku panik. Yang mengikuti program itu bukan hanya aku saja, ada beberapa orang lagi dari departemen lain yang mengikutinya. Tentu saja aku khawatir dengan reputasi pimpinanku yang akan tercoreng hanya demi melindungi bawahannya yang baru saja dilecehkan oleh orang asing atau yang lebih buruk lagi, kalau ada gosip jelek yang beredar mengenai kami berdua. "Dan membiarkanmu terus digoda oleh mereka itu?" Ia balik bertanya. "Hm? Dari mana kamu tau?" "Insting pria memang seperti itu, Anna." Aku hanya terdiam tidak membalas sama sekali ucapan Rayes karena merasa tidak enak pada pria yang lagi-lagi menyelamatkanku ini. "Permisi." Sela