"Kamu sepertinya belum pulang hari ini. Penampilanmu dengan pakaian kantor di jam segini sepertinya menunjukkan kalau seseorang baru saja meenggelamkan dirinya di kolam penuh alkohol." Ucapnya mulai mengimitasi.
Aku mulai mengangkat sikuku dan mengendus sendiri bau yang menempel di pakaianku. Tapi sialnya seluruh indra penciuman dan perasaku sedang mati rasa karena alkohol sialan itu.
"Maaf, saya tidak mencium apa-apa, Pak. Sekali lagi maaf kalau bau badan saya sudah mencemari udara di sekitar Bapak." Aku menunduk meminta maaf pada pimpinan utama perusahaan ini.
"It's Okay, Anna. Oh, please... Panggil Rayes saja kalau kita sedang berdua begini. Lagi pula ini sudah bukan jam kantor. Jadi tidak perlu sungkan." Ucapnya santai sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celananya.
Jujur saja, melihat pria dengan baju kemeja yang kancing atasnya terlepas dan lengan panjangnya yang terlipat terlihat sangat seksi di mataku. Netraku tidak berhenti berbinar menatapnya. Oleh karena itu aku lebih memilih untuk menundukkan kepalaku dari pada harus menatapnya langsung.
"Baik, Tuan Rayes." Balasku hormat.
"Tuan? Astaga, Anna. Kenapa harus sesopan itu? Sudah saya bilang tidak perlu sungkan." Ucapnya melepaskan kedua tangannya dan berusah meluruskan badanku yang membungkuk hormat.
"Bisa dikenal oleh pemilik perusahaan ini merupakan suatu kehormatan besar untuk saya. Terima kasih telah mengingat nama salah satu bawahan anda, Tuan Rayes." Tundukku kembali.
"Anna, tolong berhentilah." Rayes kini membenarkan posisiku agar tidak membungkuk dan sedikit mengguncang tubuhku yang mulai terlihat linglung.
"Cukup panggil nama saya saja, tanpa embel-embel apapun. Dan saya akan menerima semua ucapan terima kasihmu itu tanpa harus memarahimu karena sudah membuat saya kesal." Ucapnya menatap mataku.
Aku tersenyum bingung dan mengeluarkan dengusan sambil tertawa lepas. Baiklah. Aku sadar aku sedang mabuk sekarang. Sepertinya inilah akhir kewarasanku. Aku sudah tidak bisa mengendalikan sifat dan kata-kata yang akan keluar dari mulutku.
Sial!!
Tidak pernah terbayangkan dipikiranku, harus mabuk di hadapan pimpinan utama perusahaanku sendiri. Sungguh aku sudah membuang kesempatan yang sangat berharga ini hanya karena minuman beralkohol sialan itu.
"Baiklah, Rayes. Apapun maumu akan kuturuti. Asalkan kau jangan berpenampilan seksi begini. Aku tidak kuat tau!" Racauku kemudian mencubit pipinya gemas lalu menghilang di telat kabut hitam.
Sial!
Bagaimana bisa aku tertidur di saat seperti ini?!
.
.
.
Dengan sangat berat kubuka mata ini dengan rasa sakit di kepala yang teramat sangat. Cahaya matahari langsung masuk menyapa netraku yang belum siap menerimanya. Kupegang dahiku yang berkedut hebat sembari memijatnya pelan. Apa yang baru saja terjadi? Oh iya, aku tertidur.
Tunggu dulu! Jam berapa ini?!
Kubuka mataku dengan jantung yang berdegup sangat kencang saat menyadari bahwa aku sedang berada di tempat asing! Lebih tepatnya kamar. Entah ini kamar hotel atau apartemen seseorang, yang jelas lokasinya berada di lantai atas gedung pencakar langit karena aku bisa melihat pemandangan tengah kota yang sangat menakjubkan dari jendela besar tepat di sebelah tempatku tertidur.
Segera kuedarkan pandanganku dan beranjak dari kasur tempatku tertidur pulas. Aku panik sejadi-jadinya setelah melihat kini badanku hanya tertutup oleh pakaian dalamku saja. Kemeja dan rok kantorku hilang entah ke mana. Aku segera berlari mendekati walking closet yang berada di kamar ini dan mendapati beberapa kemeja dan pakaian dalam pria dewasa saja yang ada di sini.
Aku memilih untuk mengambil salah satu kemeja putih yang menganggur itu dan memakainya. Baiklah, aku sadar, kini aku sedang berada di apartemen seorang pria. Tapi siapa?
Setelah selesai memakai kemeja itu aku segera berjalan mengelilingi kamar mencari tasku. Setidaknya seluruh keperluanku termasuk ponselku ada di situ. Tapi tidak ada! Ke mana dia? Apa jangan jangan terjatuh?
Tunggu. Memangnya semalam aku jatuh?
Aku mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum aku jatuh pingsan ini. Dan ingatanku terhenti pada malam dimana aku kembali ke kantor setelah mencium Liam.
Liam? Apa aku berada di apartemennya?
Apa kami berakhir tidur bersama?
Oh astaga, aku perlu mencuci kepalaku yang mulai berputar ini.
Aku berlari kecil menuju kamar mandi yang masih berada dalam kamar yang sangat luas ini. Kubasuh wajahku dengan terburu-buru dan mencoba mengingat kembali apa saja yang sudah ku akukan semalam. Kutatap wajahku yang memerah, samar-samar kulihat ada tanda ungu di leherku yang dengan cepat kusadari itu adalah bekas kissmark!
Astaga! Aku bersetubuh dengan temanku sendiri! Ini mimpi buruk!!!
Dengan panik aku segera berlari keluar kamar ini. Aku harus segera pergi dari sini. Aku tidak mau melihat wajah Liam sama sekali. Mau di simpan di mana harga diriku. Tanpa alas kaki dan hanya bermodalkan kemeja putih ini, segera kupegang gagang pintu utama yang tertutup rapat ini. Tapi terkunci!
Gagang pintu ini tidak bisa terbuka sama sekali. Aku menggebrak pintu itu sembari berteriak meminta tolong. Tapi bukannya pintu seperti ini masih bisa dibuka dari dalam? Kenapa jadi terkunci begini??
***
Oh iya, telepon. Kamar mewah seperti ini pasti punya telepon. Aku berlari mencari telepon itu di ruang tamu dan mendapati meja tamu yang penuh dengan makanan yang masih terbungkus rapi, lengkap dengan beberapa biji obat dan secarik kertas. 'Jangan lupa makan dan minum obatnya. Setelah itu duduk manislah dan tunggu saya.' Siapa? Aku? Ohhh tidak akan. Aku harus keluar dari sini secepat mungkin. Aku mendapatkan telepon tepat di meja kecil di ruang tamu dan segera memencet nomor receptionist. Tidak butuh waktu lama aku segera mendapatkan balasan. "Good Morning. May I help you, mam?" Loh? Bagaimana bisa dia tau kalau perempuan yang berbicara? Padahal aku belum mengeluarkan suara sama sekali. "Halo mbak, saya terkunci di kamar ini. Sepertinya pintunya rusak tidak bisa di buka dari dalam. Bisa tolong panggilkan teknisi untuk membantu memperbaiki pintu saya?" Pintaku. "Baiklah, tunggu sebentar. Saya akan mengabari teknisinya segera mungkin. Maaf atas ketidak nyamanannya. Terima kasi
Jantungku berdetak kencang seketika. "Apa yang sudah saya lakukan tadi malam Tuan?" Tanyaku penasaran Apa yang sudah kulakukan pada Rayes? Astaga, Anna... Siap-siaplah menjadi pengangguran sekarang! Rayes tersenyum. Dan itu semakin membuatku ketakutan. "Kamu memanggil nama saya dengan sangat santai. Tidak apa, karena itu memang yang saya mau. Selama ini saya memang memperhatikanmu karena mencurigai kamu sudah mempunyai suatu hubungan yang sepertinya, sudah di luar kewajaran." DEG!! Jantungku kembali berdetak kencang. "Menjadi selingkuhan Manajer Marketingmu? Dan melakukannya di kantor? Apa kau serius??" Mati aku! MATI!!!! "Awalnya saya mencurigai kamu melakukan itu semua demi kenaikan jabatanmu saja. Tapi setelah saya telusuri yang saya dapatkan, kamu memang berhak atas jabatan itu. Pekerjaanmmu sangat rapi dan tersusun, juga tepat waktu. Dan sepertinya kamu tipe yang tekun dan ulet. Tapi saya bingung, kira-kira apa alasannya sampai kamu mau menjadi selingkuhan orang semaca
"I-iya? Ada apa, Rayes?" Tanyaku penasaran. "Apa saya masih terlihat seksi di matamu?” "Hah?" Aku mengedipkan mataku berkali kali mendengarkan pertanyaannya barusan yang tidak pernah kusangka akan keluar dari mulut seorang pimpinan utama perusahaanku. Aku menelan ludahku kasar dan menutup mataku sebelum menarik nafas dalam dalam. "Tentu, Rayes." Senyumku menatapnya. "Tentu. Anda sangat seksi." Tambahku berbohong. Berbohong? Well, seorang pria dengan kemeja yang tidak terkancing rapi dengan lengan yang dilipat itu memang terlihat menarik perhatianku. Tapi bagaimana kalau yang memakainya itu orang seperti Rayes? Maksudku memang wajahnya masuk dalam kategori tampan untuk pria matang seusianya. Tapi apakah aku sopan baru saja menyebut pria dewasa yang mempunyai anak dan istri ini sebagai pria seksi? "Serius? Apa saya lebih seksi ketimbang atasan langsungmu itu?" Tanyanya dengan tatapan yang menyindir. "Tentu saja. Jangan menyamakan diri anda dengan bawahan anda seperti itu. Anda s
Ekspresi Rayes terlihat sedikit kaget namun ia terlihat berusaha menutupinya. "Oh, kamu sudah melihatnya. Yah, itu... Bagaimana ya menjelaskannya." Aku mempunyai firasat tidak enak. "A-apa kita me-melakukan itu? Rayes?" Tanyaku ragu. Rayes melotot menatapku. Firasatku semakin tidak enak. Rayes lalu mengusap tengkuknya yang kusadari tidak gatal sama sekali. Dia mencoba menyembunyikan sesuatu, atau sedang mencoba untuk menjelaskan sesuatu? "I-itu... Hm, begini..." Aku memperbaiki postur tubuhku untuk mendengarkan penjelasannya dengan baik. "Baiklah. Begini, waktu kita sudah sampai di apartemen ini... Kamu... Memuntahkan isi perutmu karena katanya kamu mual mencium wewangian di ruangan ini. Dan begitulah ceritanya kenapa pakaianmu berakhir di tempat laundry." Jelas Rayes sambil menahan tawanya. Wajahku merona padam karena malu. Segera kuambil bantalan sofa yang ada di sampingku lalu menutupi wajahku yang semakin panas ini. "Belum selesai Anna. Tolong dengarkan saya. Setelah puas
Kenapa Rayes berlebihan seperti itu? Oh astaga betapa bodohnya aku. Saking kagetnya aku melihat pakaian baru nan mahal ini, aku berlari pada Rayes tanpa mempedulikan tampilanku yang hanya terbungkus handuk putih dengan rambut basah sempurna berjalan begitu saja ke hadapannya dengan pakaian mahal pemberiannya itu di tanganku. Tentu saja Rayes akan menyemburkan air yang baru saja masuk memenuhi mulutnya itu sebelum mengomeliku dengan eksresi terkejutnya. "Ma-maaf, bukan begitu maksudku. Tapi ini?" "Ambil saja. Kamu berhak itu. Anggap saya yang sudah membuat pakaianmu menjadi kotor, okay? Lagi pula kemeja yang kamu pakai dan jas yang kamu ikat untuk menutupi pahamu tadi itu harganya melebihi pakaianmu sekarang. Jadi anggap saja itu hadiah, Anna." Pintanya. "Tapi saya-" Aku masih sangat tidak enak! "Anna, tolong." Rayes mulai berjalan mendekatiku. "Itu dari pemberian seorang teman. Okay?" Ucapnya menyentuh bahuku dengan kedua tangannya. Ada sensasi hangat yang menggeliat melalui ta
Sesampainya di rumah, segera kubuka pintu garasi dan memasukkan mobilku tepat di samping motor sport, Nathaniel, Kakak laki-lakiku yang sangat jarang pulang lebih awal dari jam pulang kantornya. Aku segera berlari masuk ke dalam rumah untuk mencarinya. Dan benar saja, dia sedang mengobrak-abrik lemari pakaianku. "YA AMPUN! KAKAK NGAPAIN?" Kagetku. Niel yang bingung melihat kehadiranku hanya bisa terdiam kaku menatapku yang sibuk menghentikan aktivitasnya. "Kantormu baru saja meneleponku karena mereka bilang tidak bisa menghubungimu karena ponselmu mati. Katanya kau akan berangkat besok pagi untuk mengikuti program-apalah itu. Jadi aku segera pulang dan membantumu berpacking. Karena kupikir kau akan pulang malam atau bahkan tidak pulang lagi." Jawabnya santai. "Iya ponselku mati, tapi aku pasti pulang. Aku tidak mau jadi anak durhaka." Segera kututup koperku yang masih berantakan itu. "Terus... Bisa kau jelaskan alasan kenapa tidak pulang semalam?" Tanyanya. "Aku lembur. Banyak ya
"Halo, Anna." "Ra-Rayes? Apa ini ulahmu?" Tanyaku bingung. Ia tersenyum. Pramugari tersebut mempersilahkanku duduk tepat di sebelah Rayes. Dan tanpa banyak bertanya, aku segera menuruti arahan pramugari tersebut. "Apa ini ulahmu?" Tanyaku memastikan. Rayes hanya memberikanku senyuman penuh maknanya. "Bagaimana kalau pegawai yang lain melihatnya?" Tanyaku panik. Yang mengikuti program itu bukan hanya aku saja, ada beberapa orang lagi dari departemen lain yang mengikutinya. Tentu saja aku khawatir dengan reputasi pimpinanku yang akan tercoreng hanya demi melindungi bawahannya yang baru saja dilecehkan oleh orang asing atau yang lebih buruk lagi, kalau ada gosip jelek yang beredar mengenai kami berdua. "Dan membiarkanmu terus digoda oleh mereka itu?" Ia balik bertanya. "Hm? Dari mana kamu tau?" "Insting pria memang seperti itu, Anna." Aku hanya terdiam tidak membalas sama sekali ucapan Rayes karena merasa tidak enak pada pria yang lagi-lagi menyelamatkanku ini. "Permisi." Sela
"Hah?! Kok bisa?" Pekikku kaget mendengar pertanyaan randomnya. "Permisi Mbak, ini minumannya." Ucap pramugari yang berhasil menghentikan kata-kata makian yang hampir saja kuucapkan pada pimpinanku sendiri. "Terima kasih banyak, Mbak. Tapi, seingatku aku cuma mesan air putih hangat. Kenapa yang datang teh hangat beserta camilan ini?" Tanyaku penasaran. "Captain’s treat, Miss." Balasnya tersenyum. "Oh. Hm, baiklah. Ucapkan terima kasihku pada sang Captain, dan maaf sekali lagi untuk kejadian tadi." Ucapku sopan. "Tentu, Mbak. Nanti akan saya sampaikan. Semoga lekas sembuh." Ucapnya menunduk pamit sambil tersenyum manis. "Something has already happened." Tegur Rayes mencurigai sesuatu. "Tidak ada apa-apa, Rayes." "Semoga kamu beneran tidak sedang hamil." Balasnya ketus. Aku hanya menatap pimpinan utamaku dengan ekspresi yang tersenyum memaksa karena aku sedang sibuk mencaci makinya di dalam otakku. Bagaimana mungkin aku bisa hamil, dasar pria tua! . . . 2 jam kemudian, pesaw