Setelah menghabiskan cukup waktu dengan Gerald dan Alexandre Rayes kini aku pamit mengundurkan diri karena jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Belum lagi ponselku yang terus bergetar karena Niel maupun Liam yang terus menanyakan dimana keberadaanku sekarang. Aku tidak boleh menyebutkan kalau Rayes sedang dirawat di Rumah Sakit karena mereka tidak ingin kabar mengenai Stacy yang mencelakai Rayes sampai terdengar oleh orang lain, terutama para pemegang saham."Apa kamu baik-baik saja? Aku bisa mengantarkanmu pulang. Mobilmu dipakai Kakakmu kan?" Tanya Alex."Ah tidak, Tuan. Aku bisa memesan taksi dari sini, terima kasih." Tolakku halus."Apa kamu yakin?" Khawatir Alex.Aku mengangguk pasti. Alex hanya bisa menghela nafas panjangnya."Baiklah. Tapi kabari aku kalau kamu sudah sampai." Pinta Alex yang kusambut dengan anggukan kepala."Baiklah kalau begitu, sekali lagi saya permisi." Tundukku sebelum meninggalkan ruangan.Sampai detik sebelum aku meninggalkan kamar rawat Rayes, pria itu m
"TADAAAA!" Ucap Liam dengan semangat menunjukkan satu set makan malam yang sepertinya sengaja ia pesan untuk menyambut kepulanganku."Ah, terima kasih. Tapi seharusnya tidak perlu repot-repot." Ucapku sungkan."Tidak masalah. Aku tau kamu pasti belum makan malam. Jadi aku sengaja menyiapkan makan malam untukmu. Maaf kalau bukan seleramu." Ucapnya menarikku untuk duduk tepat disebelahnya.Kuedarkan pandanganku mencari bayangan Niel yang tidak telihat sama sekali."Dia sedang pergi bersama temannya, katanya dia mau melanjutkan pekerjaannya." Ucap Niel yang sepertinya paham akan pergerakanku."Oh, begitu."Hah? Apa itu respon yang wajar untukku saat ini? Maksudku, artinya aku hanya berdua dengan Liam saja kan di apartemen yang luas ini?! Kenapa aku bisa sesantai ini?!"Ayo makan. Nanti keburu dingin." Ajak Liam yang membuatku mengikuti pergerakannya untuk menyendok makanan."Apa hari ini sibuk sekali? Sampai-sampai kamu harus lembur seperti ini?" "Oh, iya. Ini hari pertamaku kerja setel
Panas matahari mulai membakar kelopak mataku dan berhasil membuatku bergerak untuk segera membuka mata yang terasa sangat berat ini. Tunggu dulu, apa tadi aku berkata sinar matahari?SIAL! AKU TERLAMBAT!Dengan jantung yang berdetak kencang, mataku segera terbuka dan kesadaranku sepenuhnya kembali dengan sempurna namun tidak dengan kondisi fisikku yang mendadak merasakan pening yang sangat menyiksa kepalaku. Rasanya seperti dihujam oleh ribuan palu dan mataku menghitam sesaat sebelum sebuah sentuhan hangat seseorang mendarat di bahuku."Jo? Minum dulu." Suara Niel menyadarkanku."Kak?" Rasa perih mendadak mengiris kerongkonganku saat aku menyapa Niel yang sepertinya menatapku dengan tatapan iba.Segera kuraih segelas air putih hangat beserta obat yang disodorkan oleh Niel. Sembari kerongkonganku tengah meneguk air putih, mataku juga sibuk menyisiri ruangan yang kuyakini sebagai kamarku. Saat ingin mengingat kembali apa yang terjadi malam tadi, mendadak rasa mual dan sakit kepala menyi
"Niel!!!" Teriakku panik sembari menggedor pintu kamarku yang Niel kunci dari luar."Niel! Buka Niel! Tolong!" Pintaku sekali lagi.Tanganku tidak berhenti menggedor pintu berharap Niel mendengarkan permintaanku sementara kepalaku tidak berhenti mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Tapi ingatanku terhenti pada kegiatanku bersama dengan Liam. Hanya sekedar minum bersama dan tidak lebih. Iya kan?"Ada apa?!" Niel membuka pintu dengan pakaiannya yang sudah rapi."Aku... Apa yang terjadi?!" Bingungku menatap Niel yang juga bingung menatapku."Apa?!""Ini..." Ucapku menunjukkan kissmark yang hampir memenuhi leherku."Apa yang terjadi? Mana Liam?!" Tanyaku sedikit panik.Namun berbeda dengan Niel. Ekspresinya tampak berubah menjadi rasa kesal bercampur amarah. Apa yang sudah terjadi pada Liam? Aku yakin sesuatu sedang tidak berjalan dengan baik semalam."Niel, jawab aku! Mana Liam?" Tanyaku sedikit membentaknya yang masih hening enggan menjawab."Apa?! Aku tidak tau! Aku mele
Kuarahkan supir taksi yang kukendarai saat ini menuju ke Prime Care Hospital tempat dimana Violla, Rayes dan kini Liam dirawat. Setelah mengikuti instingku untuk mencari tau keberadaan Liam melalui nomor ponselnya yang masih kusimpan dengan baik, Liam memberikanku kabar kalau dia sedang dirawat di kamar perawatan akibat pemukulan yang dilakukan Niel semalam. Karena merasa bersalah, kuberanikan diriku untuk mengunjungi Liam hanya untuk menyampaikan permintaan maafku padanya."Terima kasih, Pak." Ucapku saat mobil taksi yang kukendarai telah tiba di tujuan.Setelah beberapa kali mengunjungi tempat ini, secara tidak langsung aku juga sudah mengetahui denah rumah sakit ini. Jadi sangat mudah menemukan lokasi ruang perawatan Liam."Permisi." Sapaku ketika membuka pintu geser ruang perawatan Liam.Saat kulangkahkan kakiku masuk ke dalam ruang perawatannya, Liam dengan ekspresi kagetnya menyambut kehadiranku."Kamu beneran datang rupanya." Ucapnya."Maaf aku tidak sempat membeli bingkisan, L
"Nona? Ada apa?" Bingung Daniel yang melihatku berjalan cepat dan terburu-buru."Daniel, tolong aku." Pintaku yang segera mengintip ke belakang dan segera bersembunyi di belakang tubuh Daniel yang tinggi besar begitu mataku menangkap sosok Liam yang masih berjalan cepat seperti memburuku.Kini dihadapan Daniel, Liam menghentikan langkahnya dan menatapku serta Daniel secara bergantian."Anna, ayo bicara baik-baik kalau begitu." Pinta Liam padaku.Aku masih mengintip pria egois itu dari balik Daniel."Tidak, Li. Istirahatlah. Aku sudah menyampaikan maksud dan tujuanku kemari. Urusanku sudah selesai." Balasku terengah-engah."Selesai? Lalu aku? Lihat ulah perbuatan Niel padaku, Anna. Apa kau tidak merasa bersalah?""Aku sudah cukup meminta maaf, Liam. Kau mau apa lagi?" Ucapku sedikit menaikkan nada bicaraku."Sudah cukup? Kau bilang itu sudah cukup? Kenapa kau begitu mudah membuangku, hah?!" Kini Liam balik meninggikan nadanya."Hey kau! Aku tau siapa kau sebenarnya. Jadi sebelum semuan
Aku mencari jawaban dari ekspresi datar Daniel yang keluar saat ini. Tapi sangat sulit mendapatkan jawaban yang kuinginkan melihat Daniel sudah sangat lihai menyembunyikan ekspresi yang mewakili perasaannya. Terlebih lagi hening Daniel membuatku semakin mencurigai bahwa memang Daniel ini lah yang Violla maksud waktu itu.Tapi kenapa?"Daniel?" Bisikku menatap kedua mata Daniel yang menatapku kosong."Ada apa?" Tambahku.Daniel hanya hening namun terlihat sedikit menahan ekspresi datarnya."Is that him or you?" Tuntutku sekali lagi.Namun Daniel memilih untuk tidak menjawab pertanyaanku sama sekali. Keheningan Daniel membuatku menghela nafas kasar."Tapi kenapa? Bukannya dia sudah tidak mempedulikanku lagi? Jadi kenapa dia harus membantu Violla? Apa dia berniat membuatku merasa berhutang seumur hidup padanya?" Tanyaku tidak percaya."Tidak, Anna. Tuan Rayes tidak sejahat itu." Bela Daniel yang membuat keningku berkerut."Jadi benar." Ucapku pasrah.Kini Daniel menyesali ucapannya setel
Sudah kuduga!Apa yang Niel tanyakan sudah menjadi mimpi buruk yang kuharap tidak akan pernah menjadi kenyataan. Tapi sepertinya dewi fortuna sedang tidak berpihak padaku. Sekarang dengan mudahnya Niel sudah mengetahuinya hanya karena minuman keras yang mampu membuat bibirku membuka semua rahasia gelap yang kuharap bisa kusimpan selamanya.Apa yang harus kujawab."Hm?""Jangan menggumam seperti itu. Kau tau apa maksudku, Anna.""Memangnya apa maksudmu, Niel? Aku sendiri tidak mengerti." Bohongku."Malam itu karena tidak terima, Liam menceritakan segalanya padaku dengan sedikit emosi. Meski dengan berat hati, aku harus mengakui kalau aku mempercayai kata-kata pria brengsek itu. Tapi apa benar kau menjalin hubungan dengan pria berumur? Terlebih lagi kau memanggilnya 'Daddy'?" Tanya Niel yang semakin membuatku keringat dingin."Liam pasti mabuk, Kak. Dan dia mengatakan hal yang bisa membuat tindakannya benar di matamu."Niel hanya tersenyum smirk menatapku."Tidak ada penjeasan apapun ya