Panas matahari mulai membakar kelopak mataku dan berhasil membuatku bergerak untuk segera membuka mata yang terasa sangat berat ini. Tunggu dulu, apa tadi aku berkata sinar matahari?SIAL! AKU TERLAMBAT!Dengan jantung yang berdetak kencang, mataku segera terbuka dan kesadaranku sepenuhnya kembali dengan sempurna namun tidak dengan kondisi fisikku yang mendadak merasakan pening yang sangat menyiksa kepalaku. Rasanya seperti dihujam oleh ribuan palu dan mataku menghitam sesaat sebelum sebuah sentuhan hangat seseorang mendarat di bahuku."Jo? Minum dulu." Suara Niel menyadarkanku."Kak?" Rasa perih mendadak mengiris kerongkonganku saat aku menyapa Niel yang sepertinya menatapku dengan tatapan iba.Segera kuraih segelas air putih hangat beserta obat yang disodorkan oleh Niel. Sembari kerongkonganku tengah meneguk air putih, mataku juga sibuk menyisiri ruangan yang kuyakini sebagai kamarku. Saat ingin mengingat kembali apa yang terjadi malam tadi, mendadak rasa mual dan sakit kepala menyi
"Niel!!!" Teriakku panik sembari menggedor pintu kamarku yang Niel kunci dari luar."Niel! Buka Niel! Tolong!" Pintaku sekali lagi.Tanganku tidak berhenti menggedor pintu berharap Niel mendengarkan permintaanku sementara kepalaku tidak berhenti mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Tapi ingatanku terhenti pada kegiatanku bersama dengan Liam. Hanya sekedar minum bersama dan tidak lebih. Iya kan?"Ada apa?!" Niel membuka pintu dengan pakaiannya yang sudah rapi."Aku... Apa yang terjadi?!" Bingungku menatap Niel yang juga bingung menatapku."Apa?!""Ini..." Ucapku menunjukkan kissmark yang hampir memenuhi leherku."Apa yang terjadi? Mana Liam?!" Tanyaku sedikit panik.Namun berbeda dengan Niel. Ekspresinya tampak berubah menjadi rasa kesal bercampur amarah. Apa yang sudah terjadi pada Liam? Aku yakin sesuatu sedang tidak berjalan dengan baik semalam."Niel, jawab aku! Mana Liam?" Tanyaku sedikit membentaknya yang masih hening enggan menjawab."Apa?! Aku tidak tau! Aku mele
Kuarahkan supir taksi yang kukendarai saat ini menuju ke Prime Care Hospital tempat dimana Violla, Rayes dan kini Liam dirawat. Setelah mengikuti instingku untuk mencari tau keberadaan Liam melalui nomor ponselnya yang masih kusimpan dengan baik, Liam memberikanku kabar kalau dia sedang dirawat di kamar perawatan akibat pemukulan yang dilakukan Niel semalam. Karena merasa bersalah, kuberanikan diriku untuk mengunjungi Liam hanya untuk menyampaikan permintaan maafku padanya."Terima kasih, Pak." Ucapku saat mobil taksi yang kukendarai telah tiba di tujuan.Setelah beberapa kali mengunjungi tempat ini, secara tidak langsung aku juga sudah mengetahui denah rumah sakit ini. Jadi sangat mudah menemukan lokasi ruang perawatan Liam."Permisi." Sapaku ketika membuka pintu geser ruang perawatan Liam.Saat kulangkahkan kakiku masuk ke dalam ruang perawatannya, Liam dengan ekspresi kagetnya menyambut kehadiranku."Kamu beneran datang rupanya." Ucapnya."Maaf aku tidak sempat membeli bingkisan, L
"Nona? Ada apa?" Bingung Daniel yang melihatku berjalan cepat dan terburu-buru."Daniel, tolong aku." Pintaku yang segera mengintip ke belakang dan segera bersembunyi di belakang tubuh Daniel yang tinggi besar begitu mataku menangkap sosok Liam yang masih berjalan cepat seperti memburuku.Kini dihadapan Daniel, Liam menghentikan langkahnya dan menatapku serta Daniel secara bergantian."Anna, ayo bicara baik-baik kalau begitu." Pinta Liam padaku.Aku masih mengintip pria egois itu dari balik Daniel."Tidak, Li. Istirahatlah. Aku sudah menyampaikan maksud dan tujuanku kemari. Urusanku sudah selesai." Balasku terengah-engah."Selesai? Lalu aku? Lihat ulah perbuatan Niel padaku, Anna. Apa kau tidak merasa bersalah?""Aku sudah cukup meminta maaf, Liam. Kau mau apa lagi?" Ucapku sedikit menaikkan nada bicaraku."Sudah cukup? Kau bilang itu sudah cukup? Kenapa kau begitu mudah membuangku, hah?!" Kini Liam balik meninggikan nadanya."Hey kau! Aku tau siapa kau sebenarnya. Jadi sebelum semuan
Aku mencari jawaban dari ekspresi datar Daniel yang keluar saat ini. Tapi sangat sulit mendapatkan jawaban yang kuinginkan melihat Daniel sudah sangat lihai menyembunyikan ekspresi yang mewakili perasaannya. Terlebih lagi hening Daniel membuatku semakin mencurigai bahwa memang Daniel ini lah yang Violla maksud waktu itu.Tapi kenapa?"Daniel?" Bisikku menatap kedua mata Daniel yang menatapku kosong."Ada apa?" Tambahku.Daniel hanya hening namun terlihat sedikit menahan ekspresi datarnya."Is that him or you?" Tuntutku sekali lagi.Namun Daniel memilih untuk tidak menjawab pertanyaanku sama sekali. Keheningan Daniel membuatku menghela nafas kasar."Tapi kenapa? Bukannya dia sudah tidak mempedulikanku lagi? Jadi kenapa dia harus membantu Violla? Apa dia berniat membuatku merasa berhutang seumur hidup padanya?" Tanyaku tidak percaya."Tidak, Anna. Tuan Rayes tidak sejahat itu." Bela Daniel yang membuat keningku berkerut."Jadi benar." Ucapku pasrah.Kini Daniel menyesali ucapannya setel
Sudah kuduga!Apa yang Niel tanyakan sudah menjadi mimpi buruk yang kuharap tidak akan pernah menjadi kenyataan. Tapi sepertinya dewi fortuna sedang tidak berpihak padaku. Sekarang dengan mudahnya Niel sudah mengetahuinya hanya karena minuman keras yang mampu membuat bibirku membuka semua rahasia gelap yang kuharap bisa kusimpan selamanya.Apa yang harus kujawab."Hm?""Jangan menggumam seperti itu. Kau tau apa maksudku, Anna.""Memangnya apa maksudmu, Niel? Aku sendiri tidak mengerti." Bohongku."Malam itu karena tidak terima, Liam menceritakan segalanya padaku dengan sedikit emosi. Meski dengan berat hati, aku harus mengakui kalau aku mempercayai kata-kata pria brengsek itu. Tapi apa benar kau menjalin hubungan dengan pria berumur? Terlebih lagi kau memanggilnya 'Daddy'?" Tanya Niel yang semakin membuatku keringat dingin."Liam pasti mabuk, Kak. Dan dia mengatakan hal yang bisa membuat tindakannya benar di matamu."Niel hanya tersenyum smirk menatapku."Tidak ada penjeasan apapun ya
Dengan hati yang berdebar, kulangkahkan kakiku mengikuti Adeline yang berjalan menuntunku menuju ke ruang kerja pimpinan utama Rayestark Corporation. Saat memasuki ruang kerja Rayes, aura di sekitarku mendadak berubah dan semakin membuat hatiku berdegup kencang. Entah karena ketakutan atau kekaguman. Yang jelas tidak pernah sekalipun Rayes mengeluarkan aura yang sangat berat seperti ini. Apa aku sudah melakukan kesalahan? "Tinggalkan kami." Perintah Rayes yang membuat Adel segera menunduk patuh dan berjalan keluar ruangan dalam hening sampai menutup pintu. Kini tinggallah aku yang berdiri tegang di hadapan Rayes yang masih duduk dalam keheningannya sembari terus memperhatikanku dari kursi kebanggaannya. "Is that true?" Suara berat Rayes mendadak mengagetkanku dan secara tidak langsung berhasil membuat kepalaku segera mengadah menatapnya. "Ma-maaf Tuan?" Rayes semakin mempertajam tatapannya dan membuatku segera menundukkan kepalaku kembali untuk menatap karpet kantor yang tampak sa
Penyataan Rayes berhasil membuatku segera berpaling dan menatapnya kebingungan. Rayespun demikian, ia menatapku sama bingungnya. Kami saling berpandangangan selama beberapa detik sebelum pintu diketuk oleh Adeline dan berhasil menyadarkan kami berdua. "Tuan, Nathaniel ingin bertemu dengan Anda." Ucap Adel dari balik pintu yang ditutup. Aku segera berpaling menatap pintu sebelum menatap Rayes dengan sedikit panik. Namun Rayes dengan tenangnya dapat menjawab ucapan Adel dan mempersilahkan Niel untuk masuk ke dalam ruangannya. "Selamat pagi, Tuan Rayes." Sapa Niel sebelum menatapku kebingungan. "Selamat pagi, Nathan. Silahkan duduk." Balas Rayes yang kemudian menatapku kembali. "Nanti kita lanjutkan kembali." Ucap Rayes sebelum meninggalkanku. "Baik Tuan. Saya permisi." Pamitku sebelum menunduk dan meninggalkan ruangan Rayes sebelum Adel menutup pintu ruangan Rayes. Aku menatap Adel dengan tatapan kosong sesaat sebelum Adel menariku dan memberikanku segelas air putih. "Calm down.