Penyataan Rayes berhasil membuatku segera berpaling dan menatapnya kebingungan. Rayespun demikian, ia menatapku sama bingungnya. Kami saling berpandangangan selama beberapa detik sebelum pintu diketuk oleh Adeline dan berhasil menyadarkan kami berdua. "Tuan, Nathaniel ingin bertemu dengan Anda." Ucap Adel dari balik pintu yang ditutup. Aku segera berpaling menatap pintu sebelum menatap Rayes dengan sedikit panik. Namun Rayes dengan tenangnya dapat menjawab ucapan Adel dan mempersilahkan Niel untuk masuk ke dalam ruangannya. "Selamat pagi, Tuan Rayes." Sapa Niel sebelum menatapku kebingungan. "Selamat pagi, Nathan. Silahkan duduk." Balas Rayes yang kemudian menatapku kembali. "Nanti kita lanjutkan kembali." Ucap Rayes sebelum meninggalkanku. "Baik Tuan. Saya permisi." Pamitku sebelum menunduk dan meninggalkan ruangan Rayes sebelum Adel menutup pintu ruangan Rayes. Aku menatap Adel dengan tatapan kosong sesaat sebelum Adel menariku dan memberikanku segelas air putih. "Calm down.
Disinilah aku. Duduk berdiam diri dengan senyuman hangat yang menghiasi wajahku namun tidak dengan hatiku. Sekarang aku paham alasan mengapa sepanjang perjalanan Alex tadi tampak sibuk mengalihkan perasaan gugupnya. Bukan karena ini kali pertamanya dia bertemu dengan Gwen di sela jam istirahat kerja. Melainkan karena ini kali pertamanya Gwen membawa Ayahnya, Roger Cliff kehadapan Alexandre Rayes. Meski sebenarnya ini bukan kali pertama kedua pria yang berbeda usia cukup jauh itu bertemu. Tetap saja, aura gugup sangat terpancar jelas dari arah Alex.Namun bagiku, pertemuan keduanya bukanlah menjadi alasan mengapa hatiku kembali merasakan gundah. Tidak lain dan tidak bukan karena wajah rupawan Roger yang harus kembali kutatap setelah beberapa waktu lalu aku memutuskan untuk ikut melupakannya setelah ia memilih untuk berhenti memperjuangkanku. Rasa kesal, malu, kangen dan cinta memenuhi setiap sudut hatiku.Cinta?Apa aku baru saja mengakui kalau aku juga mencintai pria ini?"Anna? Ada a
Setelah perjalanan yang terasa cukup panjang berhasil aku dan Alex lewati setelah menembus kemacetan di jam istirahat kantor ini membuat Alex mengerang kesal karena harus membuang setidaknya sejam waktu kerja kami berdua. Dan sepertinya ia kesal karena kami harus kembali lembur untuk mengganti waktu kami yang terbuang percuma itu. Belum cukup sampai di situ, begitu kami tiba di lantai tempat dimana ruanganku dan Alex berada tampak Adeline sedang menunggu kedatanganku."Anna!" Paniknya."Ada apa Adel?" Bingungku."Maaf Tuan Alex, sepertinya saya harus meminjam Anna sebentar." Ucap Adeline dihadapan Alex."Jangan terlalu lama, Adel. Aku membutuhkannya. Aku tidak sanggup kalau harus menyelesaikan pekerjaan itu sendirian." Ucap Alex sebelum berjalan masuk ke dalam ruangannya dan meninggalkanku berdua dengan Adel."Anna..." Ucap Adel panik."What's wrong with you?" Bingungku melihat tingkah Adel."Anna, aku baru saja mendapatkan email kosong. Awalnya aku tidak percaya ini, tapi maafkan aku
"Menjadikannya sebagai pelampiasan? Apa Anda memiliki sudah tidak waras?!" Salah satu pertanyaan Niel yang membuatku tidak tahan lagi untuk tidak menerobos masuk kedalam pertengkaran kedua pria dewasa yang tengah mempeributkan masalahku."Niel! Hentikan!" Marahku pada Niel saat kedua pasang mata mereka menatapku dengan kaget."Dari mana saja kau?!" Marah Niel begitu melihatku.Kutatap Rayes sesaat demi memastikan kondisinya, untungnya Rayes terlihat masih bisa mengendalikan emosinya saat menghadapi Niel yang sudah dikendalikan emosi setelah membaca pesan kaleng itu."Maafkan saya, Tuan Rayes. Maaf atas kelancangan Kakak saya." Ucapku menunduk dihadapan Rayes."Hentikan, Jo. Kenapa malah kau yang meminta maaf?!" Marah Niel menarik bahuku kembali."Niel, kumohon.""Jangan memohon! Kau tidak pernah bilang kalau Daddy yang kau maksud adalah orang ini! Pantas saja kehidupanmu mendadak jauh lebih baik! Apa kau menjual tubuhmu pada pria yang sudah memiliki keluarga?!" Marah Niel yang membuat
Suasana lingkungan kantorku saat ini sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Hampir semua karyawan mulai memahami situasi yang berusaha kami tutupi baik-baik ini. Terlihat dari sorot mata mereka yang mulai menghakimiku setiap berjalan melewati mereka. Mereka mulai menggunjing, menceritakan dan bahkan mengatakan perkataan yang tidak pantas untuk ukuran seseorang yang tidak mengetahui kebenarannya. Hanya genggaman kuat tangan Niel yang berhasil menguatkanku untuk terus melangkahkan kaki tanpa mempedulikan mereka. "Sejak kapan?" Tanya Niel begitu kami berdua masuk ke dalam mobil. "Apa?" "Hubungan kalian! Aku bahkan tidak sudi memikirkannya, Jo! Jangan membuat pikiranku menjelajah!" Ucap Niel mengeratkan cengkraman tangannya pada kemudi mobil. "Sejak aku menerima tawarannya menjadi sekertaris Alex." Lirihku. "Apa Alex tau tingkah laku pria tidak waras itu?" "Jangan menghinanya seperti itu." "JANGAN MEMBELANYA, JO! Pria itu bahkan hampir seumuran Papa!" "AKU TAU, NIEL! TA-U!! Ta
Tiga hari setelah kejadian pemukulan yang dilakukan Nathaniel pada Liam waktu itu, membuat hubunganku dengan Niel tidak terlalu dekat. Niel memilih untuk tetap diam ataupun menghindariku. Tidak sekalipun dia mencoba untuk menghibur ataupun mempedulikanku. Tentu saja situasi ini membuatku merasakan kesepian yang teramat sangat dan sekarang aku lebih memilih untuk menghabiskan waktuku di kamar sendirian. Sampai satu ide gila membuatku nekat untuk mengaktifkan kembali ponsel Roger yang sudah sangat lama kutinggalkan begitu saja di laci mejaku. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat ini, tapi aku sangat membutuhkan seseorang untuk menenangkanku. Namun orang itu bukan Niel apalagi Rayes. Hatiku semakin berdebar ketika beberapa kali suara pesan masuk yang datang secara berurutan ketika ponsel ini menyala untuk pertama kalinya setelah sekian lama kuabaikan. Dengan sedikit rasa sesal, kubuka satu persatu pesan yang Roger kirimkan. Dan alangkah terkejutnya aku ketika menyadari bahwa sampai s
"Aku sudah mengajukan surat resign." Ucapku pada Nathaniel di sela kegiatan sarapan bersama kami.Tentu saja pernyataanku yang mendadak itu membuat Niel menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan ekspresi terkejutnya. Setelah berhari-hari kami saling diam tidak menegur satu sama lain, untuk pertama kalinya aku membuka pembicaraan dengan Niel tanpa ragu sedikitpun."Kenapa?" Bingung Niel.Tentu saja Niel akan kebingungan, mengingat satu-satunya hal yang kugemari saat ini hanyalah bekerja. Tidak adanya alasan yang cukup kuat membuat Niel bertanya-tanya akan keputusanku yang mendadak satu ini. Aku hanya bisa tersenyum kecut."Aku lelah, Niel. Aku benar-benar membutuhkan situasi yang baru dengan lingkungan dan sekitaran yang berbeda." Lesuku.Niel kini menatapku dengan sangat tajam. "Lalu apakan resign jawaban yang tepat untuk menyelesaikan perasaanmu itu?" Nada Niel terdengar sedikit kecewa atas keputusanku."Maafkan aku. Keputusanku sudah bulat. Aku sudah menentukan jalan hidupku se
Jantungku mendadak berhenti berdetak sesaat saat Niel menyebutkan nama itu dihadapanku tanpa beban. sepertinya dia sedang mengujiku atau karena memang dia tidak tau? Apa aku harus kembali bersitegang dengan Niel disaat hubungan kami sudah membaik?"Hm? Iya, tentu saja. Roger Cliff adalah Ayah dari Gwen Cliff, pacar Alexandre. Ada apa?" Tanyaku setenang mungkin."Oh, tidak. Aku hanya bertanya karena yang kulihat sepertinya Gerald Rayes dan Roger Cliff saling mengenal dengan baik. Roger Cliff selalu menghadiri persidanganku juga." Jelas Niel yang membuatku tidak percaya.Memangnya sejak kapan Roger dan Rayes saling akrab? Selama ini mereka tampak seperti air dan api kalau berada disekitarku. Bahkan terlihat seperti anak kecil yang terus memperebutkanku untuk menemani mereka."Oh, baguslah kamu mendapatkan banyak support Niel. Pergilah kalau begitu. Aku akan menunggumu pulang." Ucapku melambaikan tangan pada Niel."Baiklah, jaga kesehatanmu. Bye." Pamitnya sebelum kembali meninggalkanku