Tiga hari setelah kejadian pemukulan yang dilakukan Nathaniel pada Liam waktu itu, membuat hubunganku dengan Niel tidak terlalu dekat. Niel memilih untuk tetap diam ataupun menghindariku. Tidak sekalipun dia mencoba untuk menghibur ataupun mempedulikanku. Tentu saja situasi ini membuatku merasakan kesepian yang teramat sangat dan sekarang aku lebih memilih untuk menghabiskan waktuku di kamar sendirian. Sampai satu ide gila membuatku nekat untuk mengaktifkan kembali ponsel Roger yang sudah sangat lama kutinggalkan begitu saja di laci mejaku. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat ini, tapi aku sangat membutuhkan seseorang untuk menenangkanku. Namun orang itu bukan Niel apalagi Rayes. Hatiku semakin berdebar ketika beberapa kali suara pesan masuk yang datang secara berurutan ketika ponsel ini menyala untuk pertama kalinya setelah sekian lama kuabaikan. Dengan sedikit rasa sesal, kubuka satu persatu pesan yang Roger kirimkan. Dan alangkah terkejutnya aku ketika menyadari bahwa sampai s
"Aku sudah mengajukan surat resign." Ucapku pada Nathaniel di sela kegiatan sarapan bersama kami.Tentu saja pernyataanku yang mendadak itu membuat Niel menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan ekspresi terkejutnya. Setelah berhari-hari kami saling diam tidak menegur satu sama lain, untuk pertama kalinya aku membuka pembicaraan dengan Niel tanpa ragu sedikitpun."Kenapa?" Bingung Niel.Tentu saja Niel akan kebingungan, mengingat satu-satunya hal yang kugemari saat ini hanyalah bekerja. Tidak adanya alasan yang cukup kuat membuat Niel bertanya-tanya akan keputusanku yang mendadak satu ini. Aku hanya bisa tersenyum kecut."Aku lelah, Niel. Aku benar-benar membutuhkan situasi yang baru dengan lingkungan dan sekitaran yang berbeda." Lesuku.Niel kini menatapku dengan sangat tajam. "Lalu apakan resign jawaban yang tepat untuk menyelesaikan perasaanmu itu?" Nada Niel terdengar sedikit kecewa atas keputusanku."Maafkan aku. Keputusanku sudah bulat. Aku sudah menentukan jalan hidupku se
Jantungku mendadak berhenti berdetak sesaat saat Niel menyebutkan nama itu dihadapanku tanpa beban. sepertinya dia sedang mengujiku atau karena memang dia tidak tau? Apa aku harus kembali bersitegang dengan Niel disaat hubungan kami sudah membaik?"Hm? Iya, tentu saja. Roger Cliff adalah Ayah dari Gwen Cliff, pacar Alexandre. Ada apa?" Tanyaku setenang mungkin."Oh, tidak. Aku hanya bertanya karena yang kulihat sepertinya Gerald Rayes dan Roger Cliff saling mengenal dengan baik. Roger Cliff selalu menghadiri persidanganku juga." Jelas Niel yang membuatku tidak percaya.Memangnya sejak kapan Roger dan Rayes saling akrab? Selama ini mereka tampak seperti air dan api kalau berada disekitarku. Bahkan terlihat seperti anak kecil yang terus memperebutkanku untuk menemani mereka."Oh, baguslah kamu mendapatkan banyak support Niel. Pergilah kalau begitu. Aku akan menunggumu pulang." Ucapku melambaikan tangan pada Niel."Baiklah, jaga kesehatanmu. Bye." Pamitnya sebelum kembali meninggalkanku
"Daniel?! Apa yang kau lakukan di sini?!" Bingungku saat melihat Daniel dengan ekspresi marahnya sudah memukul kepala Liam yang hendak membiusku hingga ia tidak sadarkan diri."Apa kamu baik-baik saja?" Daniel mulai mengangkat tubuh Liam yang menindih tubuhku."I-iya..." Air mataku mulai menetes karena merasa sangat lega.Kehadiran bahkan penyelamatan yang sudah Daniel lakukan padaku membuatku merasa sangat aman. Daniel sekali lagi sudah menyelamatkanku dari tindakan Daniel yang di luar kepala."Kamu bisa bergerak?" "Hanya kepala saja, badanku semua mati rasa. Daniel tolong aku...""Apa yang bisa kubantu?""Bawa aku pergi dari sini. Aku lelah Daniel. Dia akan terus mencariku kemanapun aku bersembunyi. Selamatkan aku." Rengekku."Akan kulaporkan pada Tuan Rayes kalau begitu.""Tidak! Tidak, Daniel. Kumohon. Tidak seorangpun." Sela-ku membuat Daniel mengerutkan keningnya."Baik Rayes, Roger ataupun Kakakku... Aku sudah cukup membuat mereka kesusahan. Tolong bawa aku pergi dari sini. Ba
Sesuai janjinya, Daniel membawaku pergi dari safety house-nya karena ia memiliki satu kesempatan yang ia percaya menjadi satu-satunya jalan keluar untukku. Dan seperti dikejar oleh waktu, mobil Jeep hitam Daniel akhirnya melaju dengan sangat cepat menembus kepadatan kota hingga tiba saatnya ia berhasil mencapai sebuah bandara kecil yang dipenuhi oleh pesawat baling-baling bertipe Caravan."Turun." Perintahnya yang segera membawakan tas hitamku.Dengan cepat aku menuruti kemauannya. Ia terlihat menyapa seseorang terlebih dahulu sebelum merangkak naik ke dalam pesawat yang mulai dipersiapkan untuk terbang."Ayo naik." Daniel merentangkan satu tangannya begitu dia sudah berada di atas pesawat.Tanpa banyak bertanya, aku segera meraih tangan besar Daniel dan duduk manis disebelahnya. Setelah memastikan kami sudah memakai seatbelt dengan baik, pesawat akhirnya tinggal landas dan meninggalkan sudut Ibu Kota yang penuh dengan masa-masa indah nan menegangkan yang ingin kulupakan.Mataku terus
Daniel melihatku dengan kedua matanya yang berkedip berulang kali, seolah sedang berusaha menyadarkan dirinya setelah mendengarkan permintaanku yang mendadak. Aku yang terus menatap kedua netra hitamnya itu, mendadak paham akan maksud dari kedipan mata Daniel yang kembali menolak kehadiranku. "Maaf, aku tidak bisa April." Ucapnya mulai melonggarkan tangannya yang sedari tadi memelukku. "Tapi kenapa, Luke? Aku tau kalau kau juga menginginkannya, kan?" Daniel menolehkan wajahnya ke arah lain, enggan melihatku. Tanganku dengan sigap menahan wajahnya agar tetap menatapku yang masih berdiri tepat dihadapannya. "You want me and I do want you. So what's wrong with that?" Daniel melepaskan tanganku yang menempel di kedua pipinya. Ia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya yang besar namun sangat hangat. "You're right. I want you so bad. Aku sangat menginginkanmu sejak perjalanan dinasmu bersama Alex. Tindakan berani dan spontanitasmu itu berhasil menarik seluruh perhatianku. Sikapmu
Mataku membulat sempurna melihat Rayes yang tengah duduk dengan gagahnya di kursi tepat di seberang Daniel yang juga ikut duduk dengan wajahnya yang lesu. Setelah beberapa bulan tidak bertemu dengannya, wajah Rayes tampak semakin kokoh dengan senyuman gembira semakin membuatku merinding khawatir."Ayo duduk." Tangan dingin Roger menyentuh bahuku tiba-tiba dan mendorongku perlahan dari belakang.Karena merasa disudutkan dan tidak punya pilihan lain, aku terpaksa mencoba untuk tidak membantah dan mengikuti arahan Roger. Mataku melihat ke sekitar rumah persembunyianku dengan Daniel, tampak banyak pria dengan postur tubuh besarnya yang sedang berjaga disekeliling rumah kami. Entah sejak kapan mereka mengepung rumah ini, yang jelas dari persiapannya saja sepertinya mereka sudah mengetahui tempat persembunyian kami selama ini."Hm... April? Kenapa memilih nama itu? Aku masih lebih suka namamu yang dulu." Ucap Rayes saat ia tengah asik membuka pasporku yang setauku sudah Daniel sembunyikan b
Aku menikah? Dengan siapa? Daniel?! Apa pria ini sudah gila?! Aku memnag punya rasa dengan Daniel. Tapi kenapa dia memerintahkan hal yang mendadak seperti itu?! Aku sendiri bahkan belum memikirkan hal sakral seperti itu. "Would you?" Binar mata Roger yang masih menatapku semakin membuatku mengernyitkan dahi karena tidak mengerti. Beberapa detik lalu dia hampir saja menembak kepala Daniel dengan pistol di tangannya. Sekarang begitu Rayes memerintahkanku untuk menikah dengan Daniel, dia menyetujuinya begitu saja? Ada apa dengan mereka berdua?! "But... But I..." Ucapku terbata karena Roger masih menjepit pipiku dengan kedua telapak tangannya. "I can't. Apologize, sir." Sela Daniel yang segera menundukkan kepalanya di hadapan Rayes. Rayes melepasku dan menatap Daniel. Aku juga ikut menatap heran Daniel. Ada rasa terkejut dan sedikit kecewa atas penolakannya yang sangat cepat seperti itu. Apa dia tidak sungguh-sungguh menyukaiku selama ini? Apa dia hanya bersandiwara agar aku tetap