Ketika Alora melewati empat makhluk aneh itu, makhluk-makhluk itu berdiri lalu duduk setengah berlutut seraya memberi hormat dengan sebelah tangan dilipat ke dada.Aku masih menaiki undakan, sementara Alora yang telah menduduki singgasananya berkata, “Bisakah kalian turun dulu, aku tidak ingin diganggu.”Bagian pinggang ke bawah makhluk-makhluk aneh di hadapan Alora kemudian dilipati angin, lalu meleleh menjadi setengah manusia berkaki kabut, kemudian melesat melewatiku menuju ke lantai bawah.“Silahkan duduk,” Alora mempersilahkanku duduk di salah satu singgasana yang kosong itu. Beberpa menit kemudian, aku telah duduk di singgasana sebelah kanan yang paling dekat dengannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Alora melatihku mengeluarkan cakar di singgasana. “Alirkan semua energi yang terkumpul menuju ke ujung jarimu,” kata Alora.Sementara aku terus memusatkan pikiran. Sambil memperhatikan semua ucapan Alora, aku mencoba mengikuti apa yang diarahkannya.“Rasakan semua energi yang tela
Pendar sinar mentari sore di dalam ruangan sedikit memerihkan mata ketika aku memicing. Terlihat langit-langit dengan sepuh rasi bintang. Aku bangkit dengan memijit pelipisku, menahan sedikit nyeri di kepalaku. Begitu aku melirik ke sekeliling, terdapat tembok bercorak selusin manusia berkepala srigala yang tengah bertarung dengan manusia kelelawar, bukan hanya itu, ada selusin manusia berkepala gajah yang memenuhi dinding itu, semuanya memegang trisula. Kasur yang menopang berat tubuhku terasa empuk. Aku bangkit dari pembaringanku, lalu melangkah menuju pintu emas yang bercorak naga hijau. Aku membukanya lalu keluar dari kamar itu. Sepertinya aku masih berada di dalam istana milik Alora, dapat kulihat dari lantai lautan yang kulewati. Ketika melangkah menelusuri istana bernuansa hijau itu, aku berpapasan dengan puluhan prajurit aneh yang memandangiku dengan tatapan aneh, tatapan yang sekan-akan menusuk jantungku. Itu dapat kusebut sebagai tatapan penuh kebencian. Aku baru merasa be
“Oh Nando! Selamat datang kembali di istana pamanmu!” Lelaki yang usianya lebih tua dari ayahku itu terlihat ramah, meski kutahu ia hanya mencoba bersikap baik padaku. Sebenarnya ia bisa saja mengusirku, dan akupun tidak akan membencinya jika ia bersikap seperti itu. Tapi syukurlah lelaki itu bisa bersikap lebih bijaksana ke padaku. “Hormat saya paman,” kataku seraya membungkut dengan melipat sebelah tangan ke dada untuk memberi hormat. "Silahkan duduk nak,” katanya seraya menunjukkan salah satu singgasana kosong yang posisinya lebih rendah dari singgasananya. Penataan singgasana itu persis seperti penataan singgasana di Istana Alora, jadi aku duduk menyudut dengannya. Sementara prajuritnya telah turun ketika aku datang, mereka berdiri berderet di lantai bawah seperti ajudan kepresidenan Rusia yang pernah kulihat di televisi. Setelah aku mendaratkan tubuhku di salah satu singgasana yang paling dekat dengannya, Lensana Merah berkata, “Aku senang kau mau berkunjung kembali ke istan
Ketika burung pelatuk berekor naga itu telah benar-benar dekat, aku menyadari Alora tengah duduk dengan anggun di punggung burung itu. Aku turun dari langkan, dan seekor burung raksasa mendarat di hadapanku. Menyapu kabut tipis yang mengitariku, dan mengibas angin yang meniup kencang rambut dan jubahku.Burung itu merendah hingga sayapnya yang lebar menempel di marmer jembatan. Namun Alora tidak turun dari punggung burungnya, ia tersenyum memandangku yang masih setengah terpukau dengan suasana di hadapanku.“Mau terbang bersamaku?” Alora berhasil mengusir kekosongan di otakku.“Kemana?” tanyaku.“Mengitari Tumaya,” jawabnya dengan anggun. “Menikmati keindahan malam di atas punggung burung ini.”Sepertinya itu ide yang bagus. Aku melangkah mendekat, lalu merangkak naik ke punggung burung itu. Beberapa detik setelah aku duduk dengan mantap di punggungnya, burung itu bangkit dengan gagahnya, lalu melejit dari jembatan. Sayapnya terkepak indah di udara, dan ekor naganya melambai di tiap-t
Langit terlihat damai, memayungi tumaya dengan tulus, seperti sinar mentari yang menghangatkan di pagi ini. Kabut-kabut menyisir dinding bangunan-bangunan megah, dengan tenang menjalar di tepi jembatan yang sedang kutapaki.“Tidak terasa, waktu bersamamu ternyata begitu singkat,” Nero mencoba mengikhlaskan.“Iya,” kataku sambil terus melangkah beriringan dengannya. “Namun sebenarnya ini bukan sebuah perpisahan. Kita pasti akan berjumpa lagi.”“Kuharap begitu,” ucap Nero dengan wajahnya nampak murung. “Lihatlah mereka, terlihat gembira, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Kulihat Arena bundar telah di sesaki berbagai makhluk aneh. Mulai dari yang terlihat seperti manusia normal, hingga makhluk yang berbadan setengah manusia. Mereka seperti semut yang tengah berpesta gula, memadati jembatan yang terhubung ke arena bundar dari segala arah. Menyesaki Arena bundar seakan takkan dapat tempat. Berbagai margasatwa raksasa yang sejak tadi kulihat terbang mengitari langit Tumaya, kini satu
Ayah dan Lensana Hijau masing-masing berdiri di kedua sisi amfiteater, dan Lensana Merah berada di antara mereka. Ketiganya menjulurkan Mustika Dewa, lalu mestika Dewa memancarkan sinar yang mencorot seperti Laser raksasa, dan pertemuan ketiganya membentuk sudut cahaya yang menyilaukan. Mustika Dewa telah memutuskan cahaya, para Lensana juga telah berhenti menjulurkan Mustika Dewa. Namun sinar menyilaukan itu masih berkemilauan semakin terang dan mulai membentuk sebuah gelombang, gelombang yang awalnya kecil sekarang semakin besar membentuk pusaran bumi dari angin-angin. Energi dahsyat yang timbul dari gelombang itu menciptakan tekanan yang cukup tinggi, sehingga kami semua yang menyaksikan harus memperkuat pijakan agar tidak terpental ke belakang.Alora menyabet bahuku menyebabkanku berbalik menghadapnya, gadis itu kemudian memelukku ketika tubuhku telah sejajar dengan tubuhnya. Air matanya berhamburan di pipinya yang putih berseri dan berkemilauan karena balutan cahaya dari gelomban
“Ayah mana bik?” tanyaku sambil mendekatinya. Bik Irah menjawab dengan terbata-bata, “Tu-tuan tuan sedang keluar.” Wanita itu sontak melepaskan kemocengnya, lalu berlari kecil mendekatiku, kemudian memijat-mijat bahuku sambil berkata dengan terisak-isak. “Tuan Nando darimana saja? Tuan dan nyonya sibuk nyari tuan muda setelah mereka keluar Rumah Sakit.” “Udah bik, jangan nangis iya,” aku mencoba menenangkannya. “Nando kan baik-baik aja.” "Iya tuan,” kata bik irah menahan isak tangisnya, seraya menghapus airmatanya dengan kanibo yang selalu ia sampirkan di pundaknya. “Bibik buatin minum iya.” “Boleh bik,” kataku. “Jus jeruk aja iyah.” “Iya,” kata bik Irah lalu bergegas menuju dapur. Sembari menunggu jus buatan bibik, aku berjalan menuju ke belakang rumah. Rumahku memiliki kolam renang berbentuk angka delapan, tempat itu sangat sejuk. Dulu aku sering menghabiskan waktuku untuk membaca buku di sana. Aku duduk di kursi kayu di tepi kolam sambil menatap langit biru yang bersih tanpa
Ada beberapa orang yang masih berlalu lalang di koridor, tetapi mereka tidak melihatku. Penglihatan mereka buruk untuk menyadari keberadaanku yang tak kasat mata. Setelah tiba di titik dimana makhluk itu menembus jendela kaca di tepi koridor Rumah Sakit, aku meloncat dan melesat lurus. Lalu, menembus jendela kaca yang mendindingi koridor di tepi Rumah Sakit seperti menembus air yang kering dan tipis. Tepat di atap gedung yang paling bawah, aku berhenti dan mendarat, sebelum kembali mengejar dan berusaha melaju, menerpa, dan menembus angin di atas atap gedung Rumah Sakit. Aku merasakan tubuhku sangat ringan melecut dan mendarat di atap gedung. Aku menjejakkan kakiku di setiap celah dimana kakiku dapat menumpu. Mataku melirik tiap ruang yang dapat terjangkau, tetapi belum kutemukan ada tanda-tanda dari penguasa maut yang haus darah itu, apalagi kalau bukan manusia jadi-jadian itu. Sekitar beberapa menit lamanya aku bolak-balik seperti bayangan kelelawar meloncat, menembus udara di at