"Zeon?" gumamku.Singa itu merunduk bersamaan dengan sayapnya yang menyusut semakin kecil, hingga sayapnya benar-benar hilang dari pandanganku. Sesaat kemudian, Ayahku turun dari Singa itu.Tiba-tiba saja Nero yang menunggangi singa bersayapnya tiba di sampinging Zeon. "Singa ini sungguh cepat, tungganganku yang dikenal sebagai tunggangan tercepat di Alam Tumaya tidak mampu mengimbangi kecepatannya," ucap Nero sambil menuruni tunggangannya yang telah merunduk."Untuk saat ini, tunggangan adikmu adalah tunggangan tercepat di alam Tumaya," ucap Ayahku sambil mengelus bulu Zeon yang berwarna keemasan."Singa ini masih sangat muda untuk menumbuhkan sayap, bagaimana kau bisa berhasil menumbuhkan sayapnya, Ariuz?" tanya Lensana Merah."Aku memandikannya dengan cairan Paksacakra," jawab Ayahku."Bukankah cairan itu hanya bisa digunakan satu kali? Bagaimana kau akan menumbuhkan sayapmu, Ariuz?" tanya Lensana Hijau."Aku memang berniat menumbuhkan sayapku untuk menembus dinding Julaga, tetapi
Kemilau cahaya perlahan-lahan menipis, dan panorama perlahan-lahan semakin jelas. Begitu semuanya benar-jelas dan kemilau cahaya sudah tidak ada, aku baru menyadari jika kami tengah dikelilingi halilintar dan petir yang menyambar ke segala arah.Sementara Zeon terus mengepakkan sayap dan melaju melewati celah-celah petir, Singa berbulu keemasan itu menghindari amukan halilintar dengan tangkas."Hati-hati, Zeon," ucapku."Jangan khawatir, Pangeran," jawab Zeon.Untuk mengurangi ketegangan, aku mencoba mengobrol dengan Tungganganku itu. "Kenapa kamu jarang sekali berbicara?"Bukannya menjawab pertanyaanku, singa itu malah mengajukan pertanyaan kembali, "Untuk apa sering berbicara, Pangeran?""Kau bodoh atau memang judes?" gumamku, kemudian menjawab, "Tentu saja untuk berkomunikasi agar kita bisa lebih mudah saling mengerti."Sambil terus melaju dengan kecepatan tinggi menerobos halilintar, Zeon berkata, "Aku diciptakan untuk peka terhadap tuanku. Jadi, aku tidak memerlukan obrolan untuk
Tanpa memejamkan mata, aku menyaksikan duri-duri besi raksasa itu pecah berkeping-keping menyentuh tubuhku, aku yang sedikit terperangah dengan kekebalan tubuhku mengalihkan pandanganku ke Mustika berwarna biru yang saat ini kupegang."Jangan-jangan ini adalah Mustika Naga Langit yang sedang kucari," gumamku, lalu memperhatikan ke sekeliling goa dan kembali bergumam, "Dan jangan-jangan, aku sedang berada di dalam perut naga langit."Secara tiba-tiba sebuah gelombang yang sangat kuat menarik tubuhku keluar kembali dari perut Naga Langit. "Aaakh!" Aku terseret kembali menuju ke luar.Benar saja, Naga Langit tengah mengamuk. Sementara aku yang berada beberapa puluh kaki di depannya melihat dengan jelas Matanya yang nampak menyala dan memancarkan warna kebiruan, lalu ia menghisap berbagai halilintar dengan mulutnya, sehingga halilintar-halilintar itu membentuk pusaran besar yang dahsyat dan terpusat di mulutnya.Selang beberapa mili detik kemudian, Naga Langit menyemburkan pusaran halilint
Setelah lama tak bermimpi, kini aku kembali mengalami mimpi yang aneh, tapi entahlah ini benar-benar mimpi atau bukan, rasanya seperti begitu nyata. Tubuhku terantai dengan rantai yang dipenuhi aliran listrik berwarna biru, dan listrik itu bersumber pada mustika Naga Langit yang melayang-layang beberapa meter di depanku."Tempat apa ini?" gumamku.Tak ada apapun dan siapapun di tempat itu, hanya ruangan kosong yang gelap dan dipenuhi kabut merah yang berkemendang. Ketika aku tengah memperhatikan sekelilingku, tiba-tiba mustika Naga Langit mengembang dan mengeluarkan energi listrik yang lebih besar. Dan tubuhku mulai tersengat."Aaakkhh!" aku menjerit menahan energi itu.Sementara mustika Naga Langit semakin besar, dan aliran energi itu juga semakin besar sehingga aku kian tersiksa. Aku meronta-ronta, namun rantai itu begitu kuat untuk bisa kulawan.Mustika itu semakin dekat, dan energi yang dialirkannya semakin deras hingga menyelimuti tubuhku. Mustika itu terus mendekat seperti terta
Berbagai makhluk aneh yang sangat berbahaya berada di sekitar kita, makhluk-makhluk itu berlalu lalang di jalan raya, mengendarai mobil, bahkan memimpin rapat di ruangan para pejabat. Makhluk-makhluk itu beraktivitas dalam wujud manusia. Sehingga manusia biasa tidak akan menyadari keberadaan makhluk-makhluk aneh itu.Aku sendiri mungkin adalah bagian dari mereka, karena tubuhku bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa. Tetapi orangtuaku adalah manusia biasa. Dan itu membuatku merasa ragu. "Apakah aku adalah bagian dari mereka?" gumamku sambil memandangi makhluk-makhluk aneh bermata hewan di tepi jalan.“Jangan pernah berpikir barwa kamu bukan putraku,” tegur pria paruh baya yang duduk di sampingku.Tegurannya membuatku sedikit terguncang, tapi bagaimana mungkin aku tidak berpikir begitu, jika dia memiliki bentuk tubuh yang jangkung. Sedangkan aku memiliki tubuh yang atletis. Tingginya 182 cm, sedangkan aku hanya memiliki tinggi badan 169 cm. Dan aku juga memi
Sesuatu yang berembus seperti angin bersusulan membangkitkan suhu yang aneh di sekitar tubuhku ketika aku memasuki lobi Rumah Sakit.“Apakah itu angin?”Bukan! Itu bukan angin, karena angin tidak akan begitu leluasa di lorong-lorong Rumah Sakit dengan jendela yang tak bercelah. Suhu malam yang sedikit menyengat kulit membuat gorden di tiap ruangan ditutup rapat oleh petugas Rumah Sakit.“Sekarang pukul berapa, Sayang?” tanya salah seorang pengunjung wanita yang berpapasan denganku.Pria yang berjalan berdampingan dengannya menjawab, “Masih pukul 19:20, Sayang.”Waktu memang masih belum terlalu larut, dan suasana di lobi utama Rumah Sakit masih belum sepi dari pengunjung. Namun semua orang yang berada di ruangan ini tidak menyadari embusan lembut yang aneh dan mengerikan itu.Ketika aku melangkahkan kakiku memasuki Rumah Sakit lebih dalam lagi dan melewati kursi-kursi panjang yang berisi beberapa pengunjung
Siapapun yang pernah merasa bahwa mereka bukanlah anak dari orangtuanya, akulah yang paling mengerti alasannya. Wajah, postur tubuh, dan kemampuan fisik yang berbeda dengan orangtuaku membuatku seringkali berpikir, jika aku hanyalah seorang anak angkat, dan memikirkan itu sungguh sangatlah menyebalkan. Tapi ternyata, ada hal lain yang lebih menyebalkan dari memikirkan itu.“Jadi, Dokter tadi adalah Ibumu,” ucap gadis yang kini terbaring di ranjang rawat sambil mengamati wajahku, gadis itu baru saja kuselamatkan. “Kenapa kalian tidak nampak mirip sama sekali?”Gadis itu bukan hanya tidak tahu kata ‘terimakasih’, melainkan juga dia telah sangat menyinggungku. Ini memang bukanlah yang pertama kalinya aku mendengar kata-kata semacam itu. Bahkan ketika nenekku masih hidup, kata-kata seperti itu terucap lebih menyakitkan dari kata-kata yang pernah diucapkan oleh orang lain.“Aku yakin jika ayahmu adalah lelaki yang sangat tamp
“Tante akan memanggilkan perawat agar lukamu bisa dijahit,” kata Ibuku lalu berbalik, namun langkah Ibu terhenti karena gadis itu memegang tangannya, Ibuku tak dibiarkan pergi.“Tidak perlu Bibi, tunggu orangtuaku datang terlebih dahulu,” katanya sambil menahan Ibuku dengan memegang tangan Ibuku.Ibuku memicingkan mata sambil menatap gadis itu, lalu secara sekilas memandangku.“Saya tidak apa-apa, Bibi,” kata gadis itu untuk meyakini ibuku.“Benarkah kamu baik-baik saja?” Ibuku nampak tidak tenang. “Tapi jika luka ini dibiarkan, bisa menyebabkan Infeksi!” ucap Ibuku dengan raut wajah yang nampak begitu khawatir.“Benar, Bibi. Saya baik-baik saja.”Ibu mengembuskan napas kasar. “Iya sudah kalau begitu.” Ibu mengalihkan pandangannya padaku untuk sejenak, lalu kembali menatap gadis itu dan Ibuku kembali berucap, “Bibi pulang dulu, Bibi akan diantar oleh Na