Share

Mimpi Buruk

Leo mencari Fahima ke ruang istirahat pegawai dan menanyakan pada semua orang, tetapi tidak ada yang melihat gadis berhijab itu. Pria tampan dan tinggi berlari ke tempat parkir dan dia tidak melihat motor Imah. Ponsel Leo berdering. Tangan putih itu mengambik gawai dari dalam saku jas. Dia melihat nama Fahima yang muncul.

“Fahima, kamu dimana?” tanya Leo menjawap panggilan dengan nada khawatir.

“Salam dulu, Tuan Leo.” Fahima tertawa.

“Maafkan aku, assalamualaikum dan jangan panggil aku Tuan ketika tidak di hotel!” Leo duduk di atas bagian depan mobilnya.

“Waalaikumusalam.” Fahima tersenyum.

“Kamu dimana?” Leo mengulangi pertanyaannya.

“Maaf, aku langsung pulang, kamu tidak perlu memberi gajiku untuk hari ini,” ucap Fahima.

“Apa yang terjadi?” tanya Leo lagi.

“Tidak ada apa-apa, bisakah kita bertemu?” tanya Fahima pelan.

“Tentu saja, apa kamu di rumah?” tanya Leo.

“Tidak, aku di pantai sebelah hotel Paraday,” jawab Fahima.

“Tunggu aku di sana.” Leo mematikan ponselnya dan masuk ke dalam mobil, ia tidak tahu Michael terus memperhatikan dirinya dari lokasi yang tidak jauh sehingga pria itu dapat mendengarkan semua percakapan di dalam ponsel.

“Hmm, sepertinya wanita itu terlalu special untuk Leo. Apa mereka sepasang kekasih?” Michael tersenyum.

“Harusnya aku membawa mobil sendiri.” Pria itu sangat ingin mengikuti Leo.

Mobil putih milik Leo keluar dari kawasan hotel Paraday dan menuju pantai Montain yang ada di sebelah hotel tempat ia bekerja. Leo mengendarai mobil dengan perlahan agar ia bisa melihat Fahima. Pria itu tersenyum, seorang gadis dengan gamis berwarna merah muda berdiri di tepi pantai dengan tas punggung berwarna hitam dan hijab panjang yang melambai-lambai tertiup angin.

Leo memarkirkan mobilnya dan dengan cepat berlari kearah Fahima, ia sangat senang bisa bertemu dengan wanita itu dengan hanya berdua saja. Ada banyak pria yang berharap bisa menjadi pasangan wanita berhijab dan cantik itu, tetapi semuanya sudah ditolak.

“Pantai masih sepi.” Leo berdiri di samping Fahima.

“Karena masih pagi. Terima kasih sudah datang.” Fahima tersenyum.

“Kita adalah teman sekolah dari dulu dan hingga saat ini, aku akan selalu ada untuk kamu.” Leo memiringkan kepalanya untuk melihat wajah cantik Fahima.

“Terima kasih.” Fahima menoleh dan wajah mereka hampir bertabarakan.

“Hah.” Fahima mundur dengan spontan.

“Maaf.” Leo memalingkan wajahnya. Dia sudah tidak bisa menahan pesona wanita itu.

“Apa aku masih bisa bekerja satu minggu di sana?” tanya Fahima duduk di pasir.

“Kamu bisa bekerja selama kamu suka.” Leo duduk di samping Fahima.

“Minggu depan aku akan pergi ke Serang,” ucap Fahima.

“Untuk apa kamu pergi ke Serang? Apakah tugas guru?” tanya Leo.

“Ya.” Fahima tersenyum.

“Ini pertama kalinya kamu pergi ke luar Bangka, dan pertama kali naik pesawat terbang. Apa kamu takut?” tanya Leo lembut.

“Aku tidak takut, Allah akan selalu menjagaku.” Fahima menoleh pada Leo. Bola cokelat itu berkilau menamah kecantikan wanita berhijab itu.

“Lalu, kenapa kamu terlihat ragu? Apa kamu mau aku temani?” Leo tersenyum dengan tidak ingin mengalikan pandangan dari wajah cantik Fahima.

“Aku tidak mau merepotkan kamu, tetapi tetap saja akan merepotkan.” Fahima menunduk.

“Katakanlah!” Leo memperhatikan bulu mata lentik dan alis lebat Fahima.

“Aku memikirkan mama dan nenek, sebenarnya aku butuh bantuan kamu.” Fahima menoleh dan Leo langsung mengalihkan pandangannya.

“Katakan saja, aku akan membantu sebisaku.” Leo kembali melihat wajah cantik itu dengan lembut.

“Aku akan pergi selama dua bulan dan gajiku akan terpakai untuk kehidupanku di sana.” Suara Fahima semakin pelan.

“Hey, aku tidak suka melihat dirimu ragu.” Leo mengangkat tangannya ingin membelai kepala yang tertutup hijab tetapi tidak ia lakukan karena, Fahima tidak akan suka itu.

“Apa aku boleh meminjam uang untuk menutupi kebutuhan mama dan nenek selama aku di Serang?” Fahima mengangkat wajahnya dan melihat kearah Leo sekilas, wanita itu tidak akan menatap lawan jenisnya dengan lama.

“Tentu saja, berapa yang kamu butuhkan?” tanya Leo dan tersenyum, ia sangat bahagia karena Fahima meminta bantuan dirinya.

“Terima kasih.” Fahima tersenyum, ia bisa pergi ke Serang dengan tenang.

“Apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Leo.

“Ya.” Mata indah Fahima menatap lurus ke lautan lepas dengan ombak yang tenang.

“Apa yang terjadi di kamar tamu hari ini?” tanya Leo pelan.

“Kenapa? Apa pria itu marah?” Fahima melihat kearah Leo dan kembali membuang pandangannya.

“Dia mau bertemu kamu.” Leo sangat penasaran dengan kejadian di kamar Michael.

“Kenapa dia mau bertemu denganku?” tanya Fahima khawatir.

“Tidak apa, tetapi katakan apa yang terjadi?” Leo tersenyum memaksakan Fahima untuk bercerita.

“Oooh, ini sangat memalukan.” Fahima memasukan wajahnya pada lutut yang ia tekuk.

“Apa kamu melakukan kesalaham?” tanya Leo.

“Hah, pria itu tidur telanjang,” jawab Fahima dengan wajah yang masih bersembunyi.

“Apa?’ Leo tertawa terbahak-bahak.

“Itu tidak lucu.” Fahima menatap tajam pada Leo dan kembali melihat kearah laut.

“Sayangnya, mata suci wanita ini telah ternodai.” Leo terus tertawa.

“Apa ada yang lain?” tanya Leo lagi.

“Aku membungkus tubuh pria itu dengan selimut seperti bayi sehingga ia tidak bisa bergerak, lalu aku pergi, itu saja,” jelas Fahima.

“Jika hanya itu, untuk apa dia mau bertemu dengan dirimu?” Leo berpikir.

“Mungkin dia marah karena aku membungkus tubuhnya.” Fahima tersenyum.

“Hmm, Michael tidak akan terlalu peduli dengan hal kecil dan sepele. Kejadian itu juga tidak disengaja.” Leo melihat jam di tangannya.

“Apa kamu kembali ke hotel?” tanya Fahima.

“Tidak, aku tidak mau di tanya tentang kamu.” Leo tersenyum.

“Ayo kita jalan-jalan di tepi pantai.” Fahima beranjak dari pasir.

“Ayo.” Leo tersenyum, tidak banyak kesempatan bisa bersama dengan wanita itu.

“Berapa yang kamu butuhkan?” tanya Leo menyentuh ujung hijab Fahima tanpa diketahui wanita itu.

“Aku belum menghitungnya.” Fahima menoleh dan Leo melepaskan tangannya dari hijab wanita itu.

“Kamu masih ada waktu seminggu.” Leo tersenyum.

“Ya, terima kasih.” Fahima balas tersenyu,.

Ketika waktu zuhur tiba, Fahima pulang ke rumah dan Leo kembali ke hotel. Mereka berpisah tepat di depan pintu gerbang Hotel Paraday. Pria itu tahu Michael sedang melakukan pertemuan dengan rekan bisnis, setidaknya untuk hari itu ia tidak akan bertemu dengan bos besar yang suka memerintah semua orang.

Fahima tiba di rumah dengan motornya, ia segera membersihkan diri dan melaksanakan salat zuhur, merapikan koper dan perlengkapan yang akan ia bawa ke Serang. Jika bukan untuk masa depan yang lebih baik, ia tidak mau pegi ke luar Bangka, meninggalkan mama dan neneknya.

“Imah, apa kamu tidak bekerja?” tanya mama lembut.

“Hari ini aku hanya pergi bertemu Leo.” Fahima tersenyum.

“Apa mama dan nenek sudah makan siang?” tanya Fahima dan beranjak dari lantai.

“Ayo kita makan berdua.” Mama menarik tangan Fahima.

“Bagaimana keadaan nenek?” Fahima menghentikan langkah kakinya dan melihat ke kamar nenek.

“Nenek sedang tidur.” Mama tersenyum. Wanita itu tidak mau membuat putrinya ragu untuk pergi ke Serang.

“Hmm.” Fahima melangkah kakinya menuju dapur sederhana yang menyatu dengan meja dan kursi kayu sebagai ruang makan.

Nenek kamu harus segera dirawat.” Mama melirik Fahima yang sedang menikmati makanan sederhana, karena mereka harus berhemat. Waktu berlalu begitu cepat, Fahima telah berada di atas tempat tidur, ia berusaha memejamkan matanya tetapi bayangan tubuh telanjang Michael mengganggu dirinya.

“Astaqfirullah, ya Allah, hapuslah ingatanku tentang hari ini.” Fahima memindahkan imaginasinya dengan ingatan yang lainnya dan berusaha melupakan pria asing yang tidak ia kenal.

Fahima berhasil terlelap dalam tidur, mimpi tentang masa lalu kembali muncul, ingatan ketika ia masih sekolah, Fahima termasuk gadis yang populer sehingga banyak pemuda yang menyukai dan kagum pada dirinya. Seorang pemuda keturunan Tionghoa menyatakan cinta tetapi di tolak oleh gadis berhijab itu.

Penolakan itu membuat pemuda yang menjadi kakak kelas Fahima marah sehingga ia menarik tangan Fahima, mencium paksa pipi dan memeluk tubuh itu. Pengalaman itu menjadi mimpi buruk bagi Fahima membuat dirinya membenci pria keturunan Tionghoa. Di matanya mereka adalah orang yang tidak tahu aturan dan tidak menghormati agamanya.

“Kenapa ingatan yang sudah lama itu kembali muncul?” Mata indah Fahima terbuka, sayup-sayup terdengar suara Azan. Dengan cepat ia turun dari ranjang tua dan berkarat berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan melaksanakan perintah Tuhan.

“Aku kesulitan tidur sehingga tidak terbangun di waktu tahajud.” Fahima mengambil Alquran dan membacanya dengan suara lembut, lantunan ayat-ayat suci memenuhi rumah tua itu.

Wanita itu melakukan rutinitas pagi menyiapkan semuanya dengan sempurna untuk nenek dan mamanya. Air mata mengalir di wajah cantik ketika ia selesai mengerjakan semua pekerjaanya. Ia harus perdi selama dua bulan dan meninggalkan dua wanita yang ia sayangi.

“Ma, ayo makan.” Fahima menarik tangan mamanya.

“Kenapa kamu bersedih, ingat kamu harus lulus.” Mama mengusap kepala Fahima.

“Imah, pasti lulus.” Fahima tersenyum lebar dan menikmati sarapannya hingga selesai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status