Pak Wang mengendarai mobil menuju desa Kunday mengantarkan Michael kembali ke rumah opa dan oma dari sebelah papa. Cleya mengikuti dari belakang yang juga ditemani seorang sopir dari hotel. Dia sangat penasaran dengan tujuan dari pria tampan itu karena belum bisa kembali ke Jakarta. Wanita itu sangat berharap menjadi menantu keluarga Hardianto yang memiliki dua putra, tetapi dia sangat ingin menikah dengan Michael˗Anak pertama yang paling membanggakan.
Michael adalah pemegang utama perusahaan orang tua mereka dan milik pribadinya. Dia yang mengembangkan dan membuat semakin maju. Itu yang membuatnya menjadi jimat keberuntungan keluarga. Pria itu sangat terkenal di Indonesia dan dunia. Wajahnya selalu terpampang di majalah bisnis dan televisi. Di mata Cleya, hanya Michael yang pantas menjadi kekasih dan suaminya di masa depan.
“Rumah siapa ini?” tanya Cleya pada dirinya sendiri, tetapi mampu didengarkan oleh sopir. Wanita itu melih
Pagi hari, Fahima melakukan rutinitas seperti biasa. Dia menyiapkan semuanya dengan sempurna untuk nenek dan mamanya. Air mata mengalir di wajah cantik ketika selesai mengerjakan semua pekerjaanya. Guru cantik itu harus pergi selama dua bulan dan meninggalkan dua wanita yang ia sayangi.“Ma, ayo makan.” Fahima menarik tangan mamanya.“Ya.” Mama tersenyum. Mereka berdua makan dengan tenang tanpa ada yang bersuara. Makanan dengan lauk dan sayuran sederhana.Selesai makan, Fahima langsung mencuci piring dengan sangat hati-hati agar tidak membat gamisnya basah dan kotor. Mama memperhatikan wajah cantik putri semata wayang yang terlihat sedih dan menanggung beban berat hingga menyelesaikan pekerjaanya.“Kenapa kamu bersedih? Ingat kamu harus lulus. Serang itu jauh dan kamu sudah menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan bisa berangkat ke sana.” Mama mengusap kepala Fa
Mobil Leo kembali memasuki tempat parkir hotel. Dia melihat Michael yang langsung turun dari mobil dan berjalan menuju kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pria itu berbaring di atas tempat tidur, matanya menatap pada langit-langi kamar yang dihiasi lampu Kristal. Wajah Fahima seakan menari-nari di sana, senyuman, tawa dan marah membuat pria dengan wajah Chines itu tersenyum.“Apakah aku harus menyusulnya ke Serang?” tanya Michael pada dirinya.Ini adalah perjalanan pertama Fahima keluar dari Pulau Bangka. Pertama kalinya wanita itu melakukan penerbangan dnegan pesawat. Mata bulat dan indah melihat sekeliling melihat keluar jendela menikmati pemandangan dari ketinggian. Lima puluh menit berada di udara dan pesawat Garuda telah mendarat di bandara Soekarno Hatta.“Alhamdulilah ya Allah.” Fahima turun dengan perlahan dari pesawat. Dia mengikuti orang-orang untuk mengambil barang bawaan.
Michael Hardianto duduk di sofa dan memperhatikan guci yang akan diberikan kepada mamanya. Dia melihat boneka benang jodoh yang berdiri di atas meja. Pria itu melamun dengan pikiran yang cukup kacau. Dia seakan tidak berani ke luar dari kamar karena takut dengan kesialan yang mungkin akan menimpanya.“Berapa lama dia di Serang?” tanya Michael pada dirinya sendiri.“Satu hari.” Tangan kekar Michale menggenggam patung jodoh.“Ah.” Benang dari kaki patung melukai jari Michael.“Sial.” Pria itu ingin melempar patung ke tempat sampah, tetapi tidak jadi karena ingat perkataan Pak Wang yang mengatakan pasangan patung itu ada pada Fahima. Dia meletakkan patung wanita di atas meja dan mengambil tisu untuk mengeringkan darah.“Apa?” Michael terkejut karena darah dari jarinya telah terserap oleh benang merah yang melekat pada patun
Michael duduk masih di bandara. Dia tidak peduli dengan mobil mewah yang telah datang menjemputnya untuk pulang ke rumah. Pria itu menyilangkan kaki duduk dengan elegan di kursi tunggu dan terlihat sedang berpikir. Fendy hanya diam menunggu tuanya membuat keputusan untuk tujuan selanjutnya.“Dimana posisi Fahima?” tanya Michael pada Fendy.“Saya tidak tahu, Tuan.” Fendy gugup.“Apa aku harus bertanya padanya?” Michael menatap tajam pada Fendy yang terdiam.“Apa saya boleh meminta nomor ponsel nona Fahima?” tanya Fendy pelan.“Aku bisa menghubunginya.” Michael mencari nomor ponsel Fahima yang telah dia simpan dan melakukan panggilan. Tidak ada jawaban dan pria itu bukanlah orang yang sabar. Dia segera mematikan panggilan.“Bagaimana, Tuan?” tanya Fendy.“Apa kita
Mobil hitam dan tinggi memasuki tempat parkir khusus di kawasan perkantoran milik keluarga Hardianto. Pria tampan dan tinggi dengan setelan jas biru berjalan tegak penuh wibawa. Semua orang membungkuk menyambut kedatangan bos besar. Langkah panjang memasuki lift tanpa mempedulikan orang lain.“Selamat datang, Tuan.” Fanny mengikuti Michael masuk ke ruangannya.“Di mana Fendy?” tanya Michael menghempaskan bokongnya di kursi kerja.“Saya datang, Tuan.” Fendy masuk dengan tergesa-gesa.“Apa kamu sudah menghubungi bibi Rara?” tanya Michael.“Sudah, Tuan. Hari ini bibi Rara akan ke rumah keluarga Nona Fahima,” jawab Fendy. Fanny menaikkan alinya. Dia sangat penasaran dengan wanita bernama Fahima yang disebutkan Fendy.“Aku mau hasil lebih cepat dan kamu siapkan tiket ke Serang,” tegas Michael.
Kunday, Bangka.Rara bersiap untuk pergi ke rumah Fahima. Wanita cantik dan tinggi dengan kulit putih bersih berjalan menuju kamar menemui orang tuanya untuk meminta izin. Bibi dari Michael harus mencari informasi tentang jodoh keponakannya di Serang.“Kamu mau kemana?” tanya Oma.“Ke Sinjay,” jawab Rara duduk di tepi kasur.“Kenapa?” tanya Opa.“Michael mau aku mencari wanita bernama Fahima di sana,” ucap Rara.“Kamu harus cari tahu dengan jelas latar belakang keluarga wanita itu,” tegas Oma.“Ma, cukup.” Rara menatap Oma.“Michael tidak akan suka,” ucap Rara.“Rara. Michael harus mendapatkan istri yang sederajat dengannya,” tegas Oma.“Ma. Apa kalian mau dibenci Michael selamanya? Dia bah
Mobil hitam dan tinggi dengan harga selangit itu sudah memasuki halaman depan kampus Untirta yang berada di Ciwaru. Mesin telah dimatikan dan pria tampan masih duduk diam di kursinya. Mata tajam memperhatikan sekeliling dan melihat beberapa mahasiswa yang berjalan menuju gerbang untuk pulang.“Wah, mobil mahal. Punya siapa ya?” tanya orang-orang yang lewat dan memperhatikan mobil Michael.“Di mana dia?” Michael mengambil ponsel dan menghubungi nomor Fahima. Pria itu tidak bergerak sama sekali dari kursinya. Dia tidak mau menjadi pusat perhatian kauh hawa dengan kesempurnaan yang dimilikinya.Fahima yang baru saja selesai membereskan laptop dan buku. Dia bersiap pulang bersama teman sekelas dan satu kosan melihat ponsel berdering dengan nomor tidak dikenal muncuk di layar.“Siapa ini?” Fahima menatap layar ponsel.“Imah, yuk pulang. Kita m
Mobil Michael berhenti tepat di depan masjid. Pria itu menoleh pada Fahima yang masih menunggu dan duduk diam.“Apa kamu tidak mau turun?” tanya Michael.“Apa kamu tidak berniat mengembalikan tasku?” Fahima balas bertanya.“Ah.” Michael segera memberikan ransel pada Fahima.“Tunggu.” Fahima ingin membuka patung jodoh yang tergantung di tasnya.“Apa yang kamu lakukan?” Michael menggenggam tangan kecil Fahima dan dengan cepat wanita itu tarik.“Bukankah kamu meminta patung ini?” Fahima menggeserkan duduknya. Beberapa temannya mengintip dari pintu gerbang kosan.“Kamu harus menyimpan patung itu dengan baik,” tegas Michael.“Untuk apa?” tanya Fahima heran.“Jangan sampai hilang!” Michael menatap Fahima.