Share

Bab 3 | Firasat Buruk Airin

“Benar-benar tidak akan ada yang menyangka kapan datangnya kematian. Dia bisa datang saat kau sedang bahagia, sedih, bahkan juga ketika kau tidak melakukan apapun.”

Pagi hari. Hari-H pernikahan Raihan dan Zahra

Airin yang sudah rapi memakai kebaya putih yang senada dengan seluruh teman dekat dan keluarga yang sudah hadir untuk acara akad Raihan hari ini terlihat masih khawatir dan sudah mondar-mandir dari depan ke dapur berkali-kali.

Melihat Airin seperti itu, Ibu Raihan, Bu Dewi, menghampirinya,

“Kenapa, Rin? Ada yang kamu cari?” Tanya beliau.

Airin tidak menjawab, hanya menelan liurnya berat. Dia sudah bangun jauh sebelum subuh, perasaannya sudah tidak enak sejak kemarin malam. Ada pengantin yang mau akad esok hari tapi masih belum di satu tempat yang sama saja sudah aneh. Maksudnya, minimal mereka ada di daerah yang sama. Atau apapun yang bisa memastikan dengan mudah keberadaan keduanya.

“Ngapain telepon si Zahra? Bukannya dia nggak bakal sempet pegang hape, ya?” Tanya ibu Raihan melihat Airin yang terlihat khawatir dengan telepon yang tengah berusaha memanggil nomor Airin.

Beliau benar. Mana ada pengantin wanita yang sibuk memegang ponsel sementara sekarang adalah hari H akad nikah nya?

Tapi tetap saja, ada yang mengganjal di benak Airin. Dia tetap saja berusaha untuk menghubungi ponsel Zahra. 

Berkali-kali ia menekan tombol panggil, berkali-kali juga Zahra tidak mengangkatnya.

Ia memasuki kamar Raihan tanpa aba-aba. Dilihatnya Raihan terkaget dan menghentikan hafalan kalimat akadnya dengan jari menghitung dan duduk di atas kasur.

"Weh, lu kalo masuk ketok pintu dulu, kek. Kalo gue lagi ngapa-ngapain gimana?" Protes Raihan.

"Emang lo sekarang ngapain?" Tanya Airin sambil memandang Raihan yang hanya memakai handuk sepinggang, shirtless.

Pemandangan ini bukanlah hal yang terlalu 'wah' atau mengagetkan untuk Airin.

"Ya, kan abis ini ni kamar bakal jadi saksi bisu anjir! Kalo lo masuk pas gue lagi ngapa-ngapain gimana nanti?"

Airin melirik malas ke arah Raihan lalu melempar bantal kecil dengan cukup keras.

"Religi mulu pembicaraan lo!"

"Lo tu yang religi, anjir. Masuk kamar pengantin cowok sembarangan. Iya ini gue cuma shirtless, kalo nanti nganu, gimana? Bukan muhrim, kita mah!"

"Wah.. ngaco lu ya! Sini lo!"

Airin mengumpat sambil memelototi Raihan dan berusaha memukulnya dengan bantal di tangannya. Sementara Raihan berusaha menghindar sambil berlari memegang lipatan handuknya.

"Gue lagi khawatir ditanyain kek kenapa. Malah diajak ngomong religi."

“Emang kaga ada perubahannya ni yang katanya mau jadi suami orang!”

“Kenapa sih?” Tanya Raihan menyerah pada akhirnya.

“Nah dari tadi kek ditanyain kenapa!” Airin berhenti melemparkan bantal-bantal pada Raihan.

Tiba-tiba, ibunda Raihan memasuki kamar Raihan dan sedikit tertegun melihat Raihan dan Airin berdiri di atas sofa dan kasur. Dengan kondisi kamar berantakan dengan bantal-bantal kecil berserakan dimana-mana.

Masih belum melanjutkan apa yang akan dibicarakannya, beliau masih diam sambil melihat Raihan menendang ringan Airin sehingga membuat gadis itu tersungkur.

“Aduh..” Seru Airin. Dibalas lemparan bantal lagi olehnya pada Raihan.

“Kenapa, ma?” akhirnya Raihan menyadari kehadiran ibunya.

“Mulai persiapannya sekarang, ya. Mbak rias nya udah dateng.” Jeda sejenak, ia mengalihkan pandangannya kepada Airin. “Rin, ikut Mama buat siapin yang terima tamu di depan, ya. Kita makeup habis Raihan aja.”

“Oke, ma.” Airin meninggalkan kamar Raihan mengikuti bu Dewi dengan tak lupa masih menjahili Raihan dengan ekspresi ancamannya.

Sesaat berada di dekat Raihan, membuatnya lupa apa yang sedang ia khawatirkan. Sejenak ia lupa bahwa ia sedang memikirkan sesuatu yang sangat mengganggu kepalanya. Jika dipertanyakan lebih lanjut apa penyebab firasat buruk itu, dia hanya berasal dari kekhawatiran yang tidak berdasar karena belum melihat Zahra sebagai mempelai di lokasi yang sama.

Mengkhawatirkan hal buruk di hari pernikahan orang tersayang, ditakutkan malah jadi doa di kepala Airin. Karena itulah khawatir nya berkepanjangan.

Airin terkadang juga kesal dengan pikirannya sendiri, dimana terkadang ia mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Tapi jika benar-benar terjadi, maka ia akan menyalahkan dirinya habis-habisan karena tidak mendengarkan firasat yang ia pikirkan tadi. 

Dan sialnya, sebagian dari firasat yang terjadi adalah firasat yang buruk.

Ada alasan kenapa dia sangat bergantung pada Raihan selama beberapa tahun. Karena hanya Raihan yang mengerti kondisinya saat ia berada pada fase itu. Hanya Raihan yang akan selalu mendengarkan dan mengerti keadaannya tanpa memaksanya melakukan apapun. 

Tanpa berkata, 

“Ini bukan salah kamu.”

“Takdir di masa depan gak ada yang tau.”

Atau kalimat lain yang makin menyalahkan Airin saat ia sedang menyalahkan dirinya sendiri. Saat ia mengiyakan ajakan Farhan untuk menjalin hubungan, ia tidak pernah benar-benar yakin untuk menjalaninya. Karena itu Airin tidak mengambil langkah maju dalam hubungannya hingga sekarang, dan hanya Raihan yang mengetahui hal itu, karena itu lah dia tidak pernah menjustifikasi Airin, sekaligus selalu melindungi Airin ketika mendapat komentar yang mungkin akan menyinggungnya nanti.

Setelah Airin pikirkan berkali-kali, Raihan menjaganya dengan sangat baik selama ini, dia masih tidak punya gambaran bagaimana dan kepada siapa dia harus mengatakan atau minimal butuh orang yang akan menemaninya selama berjam-jam tanpa melakukan apapun seperti yang Raihan lakukan kepadanya, setelah sahabatnya itu menikah hari ini.

Sesekali, sesaat setelah ia sadar dari khawatirnya yang berlebihan, ia berpikir, bukankah baik jika Raihan saja yang menjadi teman hidupnya hingga akhir.

Dan.. tentu saja pikiran itu langsung ditepis logika nya yang masih bisa ia kontrol. Pikiran apapun bisa muncul dalam pikiran kita, tapi tindakan kedepannya, tetap kita yang memutuskan harus bagaimana. Segera saat pikiran menjadikan Raihan sebagai orang yang lebih dari sahabat bagi hidupnya, ia langsung menyadari kehadiran Zahra dan Farhan dalam hidup mereka. Dia akan langsung mengingat bagaimana kenyataan hubungannya dengan Raihan.

Cinta?

Bukan, bukan rasa cinta. Jika kalian paham, suatu rasa dimana sepertinya, kita tidak akan mengkhawatirkan apapun jika bersama dia kedepannya nanti.

Dan, rasa itulah yang Airin inginkan dalam hubungan terdekatnya. Rasa aman, nyaman, dan tidak kepikiran satu hal yang belum tentu terjadi. Rasa khawatir yang menyebabkan dia tidak bisa menikmati masa kini dengan nyaman dan tenang.

Ada satu hal yang Raihan tidak tahu tentang dirinya hingga sekarang, yakni tentang niat Airin yang akan terus melajang seumur hidupnya, jikalau dirinya masih tidak memberi kejelasan yang cukup ia yakini pada Farhan.

Dia bisa hidup sendiri, dia yakin itu. Justru dirinya mengasihani Farhan jika harus menetap di kehidupan Airin yang sangat goyah dan rawan roboh. Dia juga berhak hidup dengan punya pasangan yang mempercayainya, dan yakin akan hubungannya kelak. Bukan seperti Airin.

Penuh keraguan. 

Entah benar dengan dengan dalih pengalaman masa kecilnya yang membuat dia tidak punya cukup kepercayaan diri. Atau hanya dia yang menciptakan tembok ketakutan itu. Dia juga tidak bisa menjawab dengan pasti.

“Rin, ayok!” Panggil ibu Raihan kembali masuk ke dalam kamar.

Airin sadar. Ternyata dari tadi ia sedang melamun. 

Lagi-lagi.

Dia tenggelam dalam pikirannya,

sendiri.

“Oh.. iya.. ma.. bentar,” Airin menuju ke meja Raihan. “Han, lo gak bakal butuh ponsel, kan?”

“Kagak, paling si Zahra gak bakal bisa dihubungin. Sibuk dandan.”

Gua bawa, ya. Penting. Sandi tetep kan? Pola 23176?”

“Engga. Udah ganti jadi ulang tahun Zahra.”

“Berapa?”

“Yailah masa nggak tau, sih?”

Walhasil bantal kembali terlempar ke kepala Raihan. “Permisi kakanda, dia calon istri lo bukan gue. Ngapain gue ngapalin?”

“Santai aja kali,” Raihan mengambil ancang-ancang melempar Airin kembali. “Make pola 2310”

Dirampasnya ponsel Raihan lalu ia bergegas keluar.

***

Airin sudah rapi memakai setelan kebaya berwarna salem dengan hiasan rajut yang senada dengan teman-teman Raihan dan Zahra yang akan datang ke akad hari ini. Rambutnya cantik digelung ke belakang agak ke atas dan hanya dihias jepit bunga sederhana di sisi kanan kepalanya. Sementara sisi kirinya diselipkan poni yang tak dirapikan.

Model seperti berantakan, tapi tetap terlihat rapih dan cantik untuk Airin. 

Wajahnya hanya berpoles warna terang di bagian bibir dan pipi. Riasan mata yang mencolok tidak terlalu diperlukan untuk Airin yang memiliki mata belo dengan ukuran kepala tidak terlalu besar.

Hanya saja ada satu yang kurang di wajahnya yang manis. Senyumannya.

Sebenarnya, Airin baru saja ada sedikit pertengkaran kecil dengan ibunda Raihan.Beliau sudah tau bahwa Airin sangat lengket dan tidak pernah berpisah sejak 20 tahun ke belakang. Tapi saat ini, sudah waktunya ada batasan nyata di antara mereka karena putranya akan berstatus sebagai suami orang sebentar lagi.

Bu Dewi menyimpan komentarnya karena takut akan melukai Airin yang sangat disayanginya, bahkan sudah dianggap sebagai anak sendiri. Hingga akhirnya meledak barusan.

Dia melihat Airin terus menerus menghubungi Zahra, orang tua, serta beberapa kerabat yang ada di pihak Zahra tanpa ia tahu kenapa. Kesal hanya terus diam, dia merampas---dengan mungkin agak kasar--- ponsel Raihan dari tangan Zahra. Tak lupa pula, kalimat yang keluar dari mulutnya,

“Kamu ini kenapa seh, Rin? Dari tadi tak liat kok gridu ae sama Zahra. Ya jelas nggak bales, orangnya mau nikah. Wes diem mo. Jangan chat Pak Nardi terus. Mama yang nggak enak. Mereka nggak bakal kemana-mana juga, kok. Lah wong acaranya di sini.”

Sementara Airin yang jarang, bahkan hampir tidak pernah dimarahi secara langsung oleh ibunya Raihan cukup terkejut beliau marah padanya hanya karena hal itu. Airin tertegun karena pada akhirnya banyak orang yang menatapnya karena hal itu. Dia menyadari, mungkin hal itu hal yang kecil baginya, tapi tidak bagi ibu Raihan dengan posisi orang tua mempelai pria.

Bagaimanapun juga, Airin hanya teman dari Raihan, bukan saudara kandung yang berhak mencampuri urusan Raihan yang mencakup keputusan hingga keluarga besarnya. Airin menyadari bahwa dia mungkin terlalu ikut campur saat ini hingga akhirnya undur diri.

Dia bahkan terlalu sungkan untuk masuk ke ruang rias yang sama dengan ibu Raihan seperti janjinya awal tadi. Saat ini akhirnya terlihat jelas perbedaan tone make up Airin dan yang lain. Dimana dia tampil sederhana dengan riasan tangannya sendiri, sementara yang lain terlihat lebih tebal dan ada corak khas yang seirama. 

Awalnya dia direncanakan untuk berdiri di depan bersama dengan orang tua Raihan sebagai perwakilan saudara perempuan. Tapi melihat selendang yang diberikan kepada orang di depan sana, membuat dirinya hanya duduk di belakang, dan tersenyum sendu.

Orang-orang yang tadi sempat mengetahui perselisihan ringan antara di dan Bu Dewi menatapnya seolah-olah telah terjadi masalah besar seperti dia yang akan merebut posisi mempelai wanita saja. 

Airin membenarkan jam tangan di tangan kirinya. Ia baru sadar bahwa ini sudah lewat 15 menit sejak tadi pihak keluarga Zahra bilang akan sampai di lokasi. Orang-orang yang bertugas menyambut bahkan sudah lama berdiri di depan dan mungkin sudah hampir kelelahan karena sebagian mereka memakai alas kaki formal yang cepat membuat lelah.

Dilihatnya Bu Dewi, Ibu Raihan, menerima sebuah telepon dari ponsel Raihan ---yang tadi dirampas darinya---. Airin pikir, mungkin itu dari pihak Zahra.

Tapi setelah ia perhatikan lagi raut mukanya, itu sama sekali bukan wajah ssuka cita menyambut calon pengantin. Alisnya terlihat menyatu dan tangannya tiba-tiba gemetar. Beliau terlihat mencoba membuka ponsel Raihan, tapi rupanya tidka bisa.

Akhirnya kepalanya memutar, terlihat seperti mencari seseorang. Sampai matanya bertatapan dnegan mata Airin. Dia terlihat berharap, lalu dengan cepat berlari kecil menuju Airin.

Perasaan Airin sudah was-was, segala kekhawatiran  dan kemungkinan buruk yang ada di pikirannya tadi tiba-tiba kembali lagi.

Jangan sampai benar-benar kejadian.

Dalam setengah lamunannya, Airin mendengar kalimat yang cukup mengejutkan dari mulut Bu Dewi,

Semoga bukan, Batinnya.

“Airin, Zahra.. Keluarganya.. Rin..” Ucap  Bu Dewi yang pada akhirnya tidka bisa membendung air matanya.

.

.

.

Oh, shit. Kenapa dia selalu ditakdirkan untuk punya firasat buruk yang selalu kejadian?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status