Share

Bab 4 | Menerima Kabar Buruk

Tatapan khawatir yang berasal dari mata Bu Dewi membuat Airin merasa bahwa sepertinya ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. 

Dan ya.. Sekaligus juga menambah alasan ketakutan Airin pada firasat buruknya. Ia sudah kehilangan hasrat untuk hidup saat melihat wajah Bu Dewi yang pucat walau dengan riasannya yang mencolok. Ini adalah saat-saat yang paling menakutkan baginya. 

Dia benci berencana karena yang ada di pikirannya hanya akan ada firasat buruk saja. Dan sialnya, dia punya takdir yang membuat firasat buruknya selalu saja jadi kenyataan. 

Seolah-olah dia bisa melihat hal buruk yang akan terjadi di depan matanya.

Airin bersama dengan ketakutannya, berjalan mundur, berharap ia tak akan mendengar apapun yang keluar dari mulut Bu Dewi sebentar lagi,

"Rin, Zahra.. Rombongan.. Kecelakaan.."

Airin menelan ludahnya berat.

Dia melangkah mundur dengan gontai. Bu Dewi juga ikut jatuh, terduduk di bawah. Orang-orang di sana berekspresi tidak sesuai dengan riasan mereka sejak kalimat Bu Dewi berakhir tadi. Riasan mereka nampak memancarkan terang kebahagiaan, sementara ekspresi wajah sudah banyak yang lesu, berkeringat dingin, ada juga yang menghampiri Bu Dewi dan Airin yang mundur tidak beraturan, hampir jatuh juga.

Airin sebisa mungkin menyangga dirinya pada meja di belakangnya. Dia masih belum sepenuhnya meyakini sepatah kalimat Ibunya Raihan tadi. Ia menghampiri beliau dan ikut duduk di bawah lalu mengambil ponsel Raihan dari tangan Bu Dewi.

Airin melihat riwayat panggilan terakhir yang berasal dari nomer tak dikenal. Ia menekan tombol dial kembali, 

“Halo .. apakah ini dengan pihak keluarga korban?” Ucap suara wanita, tegas, di seberang.. 

Airin kembali mematung mendengar kata-kata ‘korban’.

“Halo ? Jika benar, tolong segera ke lokasi yang sudah dikirimkan, ya. Ada beberapa korban selamat dan kami juga membutuhkan beberapa perwakilan dari keluarga korban.

Secercah harapan.

***

Tanpa menunggu lagi. Airin langsung menancap gas menuju lokasi yang dimaksud wanita, yang sepertinya seorang polwan, itu tadi. Bisa saja Zahra yang selamat, apapun, kondisinya, ia yakin bisa menyelesaikannya nanti. 

Pernikahan ditunda? Tidak masalah. Yang terpenting adalah memastikan Zahra selamat dari kecelakaan dan masih hidup saat ini. Airin tidak punya pandangan apa yang akan dilakukannya nanti jika hal buruk terjadi. Bagaimana Raihan, juga? 

Dengan belibet kebaya dan sanggul yang sudah sedikit berantakan, riasan rambut yang hampir terlepas karena tersangkut atap mobil, Airin sedikit berlari, dengan high-heels nya juga, menuju kerumunan yang terlihat sedang berkumpul di tepi jurang.

Iya, jalan menuju rumah utama Raihan melewati jurang di sisi kanan, dibawahnya terdapat hutan hujan yang rimbun, sehingga walaupun pagi, suasanya tetap gelap.

Sepertinya tambang itu menarik sesuatu yang cukup berat? Pikirnya.

Ia menoleh ke kanan kiri, melihat ada sekumpulan orang yang duduk di atas aspal, memegangi dada. Mereka juga memakai riasan dan bajunya terlihat rapi dna formal. Di benak Airin ia menduga, mungkin saja itu salah satu rombongan keluarga Zahra.

Pupil matanya terus mencari seseorang yang dimana jika belum melihat dia, ia tak akan tenang. Zahra. Airin tiba-tiba teringat takdir hidup buruknya, dimana ia percaya, bahwa jika firasat buruknya terus menerus membuatnya tak tenang, maka itu pasti akan terjadi.

Arghh..” Airin memegang kepalanya sakit. Bagaimana tidak? Kekhawatiran dan menyalahkan diri sendiri sedang berlangsung di dalamnya sekarang.

Ternyata tidak ada seseorang yang ia harapkan ada di sana. Segerombolan orang yang dia duga adalah keluarga Zahra, hanya melihatnya, tidak berkata apapun. Dari mereka bahkan ada yang menangis.

Airin menoleh ke kiri, menuju sekumpulan orang yang mengerumuni jurang yang mengeluarkan asap. Sebenarnya dia sudah tidak kuat mental untuk melangkah kesana. Dari mata dan pandangan mereka semua, sudah jelas apa yang ada dalam pikirannya sepertinya benar-benar terjadi.

Airin kembali menyalahkan dirinya sendiri.

Padahal sudah jelas ia punya firasat buruk, kenapa tidak ia perjuangkan firasat itu sebelum benar-benar terjadi?

***

Airin melangkah lunglai. Ia kembali ke rumah Raihan, sengaja menuju kesana daripada menuruti polisi untuk menuju ruangannya dan pasti akan ada wawancara panjang setelahnya. Dilihatnya suasana altar yang tidak hidup walau banyak orang dan makanan yang dihias di atas meja.

Semua mata di sana mulai tertuju kepadanya. Hanya dia satu-satunya orang yang mampu untuk melihat kenyataan pahit yang tidak perna disangka akan datang sebelumnya. Sementara Airin sendiri, hanya ada satu orang di pikirannya sekarang.

Raihan.

Diteruskannya berjalan, hingga sampai di dalam rumah. Dilihatnya Bu Dewi mengetuk pintu kamar pengantin, yang sudah jelas di dalamnya ada Raihan. Ia bisa menebak bahwa Raihan sudah mendengar kabarnya.

Syukurlah, dia tidak perlu menghancurkan mentalnya lagi dengan membuat dirinya harus menyampaikan kabar buruk kepada sahabat yang sangat ia sayangi.

Tapi.. sepertinya tidak ..

Bu Dewi tergesa melangkah menuju arahnya.

Tidak .. jangan bilang dia yang harus menemui Raihan sekarang. Dia tidak kuat mental. Pikirannya sudah berkecamuk menyalahkan diri sendiri atas firasat buruk yang tidak diturutinya, ditambah kabar buruk yang baru saja dia terima. 

Kumohon jangan sekarang. Aku tidak sanggup jika harus melihat Raihan saat ini.

.

.

“Rin, Raihan nggak percaya. Dia masuk kamar gitu aja. Kamu tolong bujuk dia ya, masuk aja ke kamarnya. Mama takut ada apa-apa, Rin.”

‘Percuma’ Batin Ariin. 

Airin akhirnya ingin menangis. Tubuhnya menggertak, matanya mengeluarkan air, alisnya mengerut, bibirnya membentuk ekspresi sedih. 

“Kenapa.. Kenapa harus aku yang harus bicara pada Raihan? Mama ibunya, kan? Airin nggak kuat ngadepin Raihan sekarang.” Airin menangis sambil badannya bergetar, protes pada Bu Dewi.

Bu Dewi yang paham betul bahwa Airin yang selalu merasa tidak enak hati dan tidak terlalu tegaan ini terlihat ikut menangis bersama dengan Airin. Tapi dia juga tak berdaya, dia dan sang suami sama-sama tidak akan mendapat kesempatan Raihan cuntuk masuk ke dalam. 

Berbeda dengan Airin.

Bagaimanapun kondisi Raihan, dia sama sekali tidak marah jika Airin datang padanya. Ikatan orang ua dan anak memang kuat, tapi saat membutuhkan teman, hanya yang terbiasa bersama seseoranglah yang akan paling berkesan. Dan seperti itulah Raihan.

Bu Dewi tak berdaya, dia ikut membungkuk bersama Airin. Mencoba memohon pada anak itu sekali lagi. Dirinya merasa menjadi ibu yang pengecut. Dia tak sanggup melihat keadaan putranya yang mungkin sedang sangat hancur sekarang, tapi malah menyuruh orang lain yang sedang sama hancurnya alih-alih berangkat sendiri.

“Mama mohon, Rin. Mama minta tolong sama kamu kali ini.” Lanjutnya masih menangis.

Airin yang juga diselimuti keingintahuan dan rassa khawatir pda kondisi Raihan, memutuskan mengikuti arahan Bu Dewi untuk memaksa masuk ke kamar Raihan. Tiba-tiba ada firasat buruk lagi yang terlintas dalam kepalanya.

Segera berdiri dan tergesa berlari dia ke kamar Raihan.

Ada satu hal yang unik dari Airin. Dia punya kemampuan untuk membuka kunci pintu dengan penjepit rambut. Hal satu itulah yang membuat Raihan tidak bisa mengaling dari Airin hanya dengan masuk kamar saja.

Segera masuk ia ke dalam kamar Raihan. Dicarinya keberadaan pria itu di seluruh ruangan yang gelap.

Masih terlihat rapi.’ Pikir Airin. Berarti Raihan belum mengamuk dan memberantakkan isi kamar.

‘Kamar mandi ?’ Airin berlari kesana. 

Tidak ada.

Saat keluar dan berbalik, ia melihat Raihan yang berada di samping kanan pintu kamar mandi, di dalam walk in closet yang terletak di balik dinding ranjang tidurnya.

Airin berlari cepat setelah tau apa yang dipegang Raihan saat itu. 

PISAU

“WAH GILA YA LO!” Airin berteriak sembari menarik ujung pisau langsung dengan genggaman tangannya, dan itu adalah sama saja dengan mencoba untuk memotong telapak tangannya sendiri.

Raihan masih berusaha untuk mengambil pisau itu lagi. Tapi dengan cepat Airin menendangnya menjauh. Darah dari telapak tangan Airin yang digunakan untuk menggenggam pisau tadi sudah mulai bercucuran di lantai.

Raihan tetap kekeh ingin mengambil pisau itu langsung diraih lehernya oleh Airin dan menjatuhkan diri mereka berdua di atas ranjang putih yang turut terciprati darah segar Airin. 

Dengan sekuat tenaga, Airin membekap Raihan agar tidak keluar dari rangkulannya. Dia sama sekali tidak merasa kesakitan atas tangannya yang terluka. Hal yang paling penting saat ini adalah Raihan tidak melakukan hal bodoh yang mungkin akan disesalinya nanti.

Cukup hanya Zahra yang pergi, Raihan jangan. Airin tidak sanggup menyalahkan dirinya sendiri lagi.

Raihan mencoba melepaskan diri. Tapi Airin terus membekapnya, bersama air mata yang kini ikut tertahan. Agar tak membuat Raihan merasa dia lemah dan mendukungnya melakukan hal bodoh seperti tadi.

Mendengar keributan di dalam, Bu Dewi an beberapa orang masuk, melihat posisi Airin dan Raihan yang mungkin menimbulkan salah paham, beberapa dari mereka langsung menunduk. Bu Dewi yang mengerti kondisi, menyuruh mereka semua keluar dan sengaja memberikan ruang untuk Raihan sedikit mengatasi kesedihan bersama dengan Airin.

.

.

Suasana hening.

.

.

Airin membawa kepala Raihan yang menangis, bersembunyi di tengkuk lehernya, duduk di atas ranjang. 

‘Pria ini benar-benar.’ 

Raihan sepertinya enggan menunjukkan tangisannya kepada Airin. Tapi wanita itu terus memaksanya untuk menunjukkan wajahnya.

“NGAPAIN SIH LO GOBLOK” Umpat Airin bersama dengan tonyoran di kepala Raihan.

MO MATI LO? Ha?” 

Airin terus mengumpat sambil mengomel dan menangis kepada Raihan.

Goblok lu goblok tau nggak sih?” Airin terus menangis sembari mengomel. Kecewa.

Raihan yang rupanya tak bisa menahan tangisnya, akhirnya sesenggukan hebat di depan Airin. Wanita itu yang memiliki hati penuh ketidaktegaan, pada akhirnya ikut menangis di depannya. 

Saat akan mengusap air matanya, barulah Airin sadar dan merasa sedikit perih di sana. Dilihatnya, lukanya melebar dan darahnya masih belum berhenti.

Raihan memegang luka di tangan Airin.

Tetapi langsung ditepisnya tangan itu.

“Nggak penting. Lo barusan mau mati. TOLOL! Mau mati.” Umpat Airin lagi.

Airin kembali memeluk Raihan. Mereka menangis bersama-sama. 

Dalam posisi saat ini, Raihan seakan melepas segala beban di pundak Airin. Dia yang dikenal sebagai pria yang tak kenal menangis, pada akhirnya tunduk melimpahkan segala takdir buruk yang baru saja dialaminya di pundak Airin. 

Hatinya sakit. Harinya hancur. Air matanya tak bisa berhenti. Asanya putus. Harapannya tiba-tiba hilang. Dan Airin di depannya, seakan memberi kelegaan besar di tengah itu semua. 

Raihan, tidak ragu menangis sekeras mungkin di pundak Airin. Begitu pula Airin, sama seperti biasanya.

Situasi seperti Raihan dan ia saling membutuhkan seperti saat ini, selalu menjadi waktu ternyaman yang sering ia rindukan, walau jarang ia dapatkan.

***

Di lain sisi, ibu Raihan, Bu Dewi, mendapat tatapan miring dari para tamu undangan sejak keluar dari kamar Raihan tadi. Hal seperti itu mungkin bisa ditelaah dan diterima alasannya bagi Ibu Raihan, karena dia mengenal keduanya dengan baik. 

Dia tau bagaimana hubungan sang putra dengan Airin sejak 20 tahun lalu, dan gadis itu juga bukan orang lain dalam keluarganya. Apalagi dalam kondisi saat ini, dimana dia juga mengandalkan Airin untuk sementara mengawasi Raihan yang kondisinya sudah bisa jelas ditebak sehancur apa.

Dia tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Bukan karena calon pacarnya nanti mungkin risih dengan keberadaan Airin dalam hidupnya, seperti cerita pasangan di luar sana yang tidak terima pacarnya punya teman dekat lawan jenis. Tapi memang benar-benar baru Zahra yang berhasil membuatnya begitu yakin untuk menjalin hubungan dan itu langsung ke arah yang serius.

Airin, tentu saja, adalah teman suportif yang jangankan jadi musuh, Zahra malah menjadikan Airin sebagai teman dekat kesangannya. Mereka berdua juga sering pergi berdua tanpa Raihan, dan ya, mungkin saja ada beberapa rahasia Zahra yang tidak diketahui Raihan tapi Airin tahu itu dengan pasti.

Posisi Bu Dewi saat ini cukup terpojok. 

Pertama adalah tentang pandangan orang-orang yang tadi juga sempat ikut masuk ke dalam kamar Raihan--dan melihat pandangan salah paham juga--- yang kedua adalah kondisi putranya, dan juga Airin saat ini.

Sekarang, semua keluarga Raihan yang awalnya berkumpul untuk merayakan pernikahan p**a keluarga, berakhir dengan hanya duduk terdiam di ruang keluarga. Semuanya dari mereka juga bingung, tentang apa yang harus mereka lakukan selanjutnya?

Pukul 13.50

Zahra-- atau mungkin jenazah Zahra (?) --- belum ditemukan hingga saat ini. Sementara orang tuanya, dua-duanya ditemukan di kedalaman jurang 80 m, dengan kondisi terpental keluar mobil, Ibu Zahra ditemukan meninggal ditempat, sementara ayahnya tersangkut, tertusuk ranting pohon, dan untungnya berhasil terselamatkan hingga sampai di rumah sakit.

5 jam sejak menerima kabar kejadian naas itu, seluruh keluarga Raihan hanya terdiam. Makanan yang awalnya disiapkan untuk acara pernikahan, hanya tersaji menjadi pajangan di bawah tirai-tirai kecil, kondisinya sudah sangat dingin, tidak memunculkan nafsu makan sama sekali.

Tiba-tiba, pintu kamar yang menjadi pusat perhatian semua orang sejak tadi terbuka.

Dua orang yang keluar dari dalamnya, membuat semua orang lebih terkejut lagi. Terlebih Airin dengan riasan wajahnya yang luntur dan hairstyle yang sudah tak terlihat rupanya.

Apa yang mereka lakukan selama berjam-jam di dalam sana ?’

“Nikahkan saja mereka berdua.”

Celetukan salah satu kerabat Raihan, terdengar jelas walau dalam bisikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status