Share

Bab 5

Melihat Airin dan Raihan keluar dari kamar setelah berjam-jam, menimbulkan dua perasaan yang bertolak belakang dalam hati Bu Dewi, Ibunda Raihan. Satu sisi ia lega, putranya tidak melakukan hal buruk, namun di sisi lain, ia juga khawatir.

Setelah ada celetukan kerabatnya untuk menikahkan mereka berdua, dia khawatir. Khawatir karena dalam keputusan hatinya yang paling dalam, ia setuju dengan kerabatnya itu, tapi kondisi saat ini juga begitu mengkhawatirkannya. 

Tapi .. Jika Airin jauh dari Raihan, Bu Dewi tidak tahu hal apa yang akan terjadi nanti karena Raihan jelas akan menjadi penyendiri. Dia tidak tahu harus mengandalkan siapa lagi, karena hingga saat ini, hanya Airin yang dapat diandalkan untuk mempercayakan Raihan padanya.

Dia memutuskan untuk keluar, mengikuti Raihan dan Airin.

Saat sampai di teras balkon, Airin meninggalkan Raihan sendirian, mematung di sana. Bu Dewi mengikutinya yang ternyata ia ke dapur. 

Saat di dapur, Bu Dewi hanya bisa menatap Airin tanpa bisa menanyakan apapun. Mereka saling berpandangan. Dengan yang satu pandangannya sembab khawatir, dan satunya lagi kosong tanpa ada harapan.

Dalam diam, hanya dengan pandangan mata, seolah-olah masing-masing dari mereka berkata ‘Tidak ada sesuatu yang sedang baik-baik saja’. Semua rencana berantakan, harapan tiba-tiba hilang, dan parahnya lagi, sama sekali tidak terlihat adanya jalan yang baik untuk mereka semua ke depan.

Siang yang cerah seolah redup karena keputus asaan mereka. Pada akhirnya, keduanya hanya bisa pasrah atas takdir yang datang kepada mereka.

Mereka tau, takdir seperti ini bukan secara tiba-tiba untuk mereka. Takdirnya sudah ditetapkan, datangnya pada kita yang kadang membuat putus harapan.

Bu Dewi menghampiri Airin yang sedang meneguk segelas air untuk menenangkan dirinya. Pasalnya ia tak bisa berbuat apapun kecuali merangkul pundaknya erat.

“Gimana?”

“Dia hampir bunuh diri.”

Bu Dewi sedikit terkejut, ternyata itu alasan kenapa banyak bercecer darah di kamar tadi. Hari pertama saja sudah berniat menghabisi nyawa, bagaimana kedepannya nanti? Tiba-tiba kepalanya pusing. 

Dia memandang Airin yang tampilannya sudah awut-awutan. Riasan yang bergelantungan di rambut yang sudah semrawut, make up yang sudah tak berbentuk karena tangisan, dan baju yang sudah tidak ada rapi-rapinya.

Bu Dewi melihat tangan Airin yang merah. Saat gadis itu berniat mencuci gelas yang digunakan barusan, Airin tiba-tiba menarik tangannya setelah tersiram air wastafel.

Akh..” Dia memegang telapak tangan kanan nya.

Mengetahui ternyata noda merah itu adalah darah yang mengering, Bu Dewi terbelalak dan segera mengambil kotak P3k yang ada di dalam rak dapur.

Dilihat dari lukanya, sangat jelas ini adalah luka sayatan pisau. Tidak .. Bukan sayatan, ini lebih seperti kamu sengaja menancapkan telapak tanganmu di atas pisau tajam.

Bu Dewi menekan telapak tangan Airin. 

“Aakkhh..” Desis Airin lebih nyaring.

Lukanya cukup dalam. Pikir Bu Dewi. Terlihat bagaimana Airin meringis begitu kesakitan hingga secara reflek mengeluarkan air mata.

Ibu Raihan melihat wajah gadis itu sendu, dia pikir, sudah tidak perlu diragukan lagi betapa Airin bisa melakukan apapun untuk kebaikan Raihan. Tapi di lain sisi dia juga bingung apakah benar dengan menyakiti dirinya sendiri seperti ini?

Diambilnya tangan Airin lagi, dibersihkan, lalu diperban seadanya.

“Kamu nyegah Raihan mati, tapi kamu sendiri mau mati.” Bu Dewi mulai membuka pembicaraan.

Airin tidak menjawab. Di pikirannya saat ini, dia kembali membayangkan bagaimana jika tadi Raihan benar-benar mati di depan matanya. 

Seperti Zahra tadi pagi.

Pada akhirnya Airin hanya menangis. Berusaha untuk tidak mengotori pikirannya di sela-sela bahan memperburuk pikirannya saat ini.

Sementara Bu Dewi, dalam pikirannya sudah terpusat satu tujuan penuh yang cukup yakin akan ia sampaikan pada Airin.

“Kenapa kamu sampe bikin tangan kamu hampir putus gini, Rin?”

“Raihan tadi udah masang persiapan buat potong nadi dihadapan Airin, Ma.” Airin lesu.

You.. too much u’ve do for him.” Bu Dewi mulai berdesis, mengatakan kata-kata yang membuat Airin semakin malas berlama-lama di sini.

“Udah, ma. Itu udah dulu banget, jangan dibahas lagi.” Airin mengalihkan pandangan menuju jendela. Kalimat yang akan dikatakan Bu Dewi setelah ini hanya akan membuatnya mengingat masa lalu yang mungkin terlalu menyakitkan untuk Raihan, daa itu jelas akan membuat Bu Dewi kembali mengingatnya juga.

“Gimana caranya mama bales kebaikan kamu selama ini, Rin?”

“Ma..” 

Airin lelah.

Tolong jangan bahas hal itu dulu.

“Kalo kamu gak ada juga mungkin Raihan 10 tahun yang lalu udah nggak sama mama.” Bu Dewi mulai menangis.

“Mama gak bisa jaga dia dengan baik, mama gak tau gimana kalo nggak ada kamu, Rin.”

Airin segera memeluknya. Dia terlalu sering mengungkit masa-masa dimana dia akan menganggap dirinya tidak becus menjadi seorang ibu untuk Raihan.

15 tahun yang lalu, di saat Raihan dan Airin masih duduk di bangku SMP, menjadi awal di mana Raihan menemukan titik balik hidupnya setelah kelam yang panjang ia pendam sendirian.

Bu Dewi masih mengingat betul bagaimana cerobohnya ia saat Raihan hampir celaka, tapi dirinya masih sibuk bekerja dan tidak memberi perhatian lebih kepada putranya. 

Masih terngiang jelas bagaimana berhari-hari ia bisa-bisanya tidak menerima kabar kehilangan anaknya hanya karena pekerjaan yang katanya untuk menghidupi keluarga.

Karena kejadian itu, Bu Dewi terus menerus merasa bersalah dan menyalahkan diri karena tidak bisa menjaga putranya dengan baik. Bahkan sampai putranya sembuh total seperti sebelum kejadian malam ini.

Mungkin setelah melihat darah bercucuran dan putranya yang tantrum tadi, ia kembali teringat pada masa kelam hari-hari itu. 

Ia mungkin takut malam-malam gelap kembali mencekam hidupnya yang dipenuhi rasa bersalah, sehingga ia tidak berani menghadapi putranya secara langsung.

Melihat wanita muda di depannya yang menjadi saksi segala ketakutannya sekaligus menjadi orang yang selalu ada untuk menyelesaikannya,

…bahkan termasuk hari ini juga, sepertinya ia sudah yakin tentang apa yang harus diungkapkannya sudah di ujung bibir.

“Rin..” Panggil Bu Dewi serius.

Airin langsung menolehkan wajahnya kepada Ibu dari sahabatnya itu, menanti apa yang akan ia katakan selanjutnya.

“Kamu yang bakal jadi pengantinnya Raihan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status