“Airin melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Farhan, tentara muda dengan karir cemerlang, tertunduk, berada pada titik terendah hidupnya, menangis sendirian.”
.
.
Airin pulang dalam keadaan tidak menentu. Dia bingung bahkan untuk menentukan bagaimana dia harus bersikap kali ini. Perasaannya buruk, tapi tidak ada hasrat kesedihan, dia ingin bahagia tapi dia juga ingin menangis.
Melihat Farhan tanpa senyum dan penjelasan panjang lebar membuat dia kalang kabut. Airin dihantui rasa bersalah dan pertanyaan berkepanjangan. Entah sengaja atau tidak, Farhan sangat tahu Airin dengan benar. Pria itu juga jelas tahu benar bahwa membuat Airin merasa bersalah adalah jalan paling ampuh membuat hidup wanita itu tidak tenang.
Raihan baru saja pulang dari rumah orang tuanya. Saat ini, dia berada di ruang tamu rumahnya. Menyusuri penjuru rumah dengan matanya, mencari seseorang yang memenuhi kepalanya seharian.Airin.Hari ini, seharusnya dia menemani wanita itu menemui Farhan, yang mungkin menjadi satu di antara orang yang paling berkorban atas pernikahan ini. Bedanya, Raihan yang tidak jadi kehilangan istri, Airin mendapatkan suami, sementara Farhan tidak mendapatkan apapun kecuali dipaksa untuk sabar dan terima.Namun mamanya, tiba-tiba memanggilnya pulang dan memaksa dirinya menginap, semakin terkejut lagi saat sang mama berkata bahwa Ia melihat Airin bersama seorang pria kemarin.Raihan dengan jelas tahu bahwa pria yang dimaksud mungkin adalah Farhan, tapi dia tidak bisa menjelaskan siapa F
"Saya pikir mungkin hanya firasat buruk saya. Lalu saat saya ingat saya tidak take action untuk firasat buruk saya sebelumnya, saya jadi takut ada sesuatu yang terjadi saat tidak ada saya di sana." -Airin POV Airin Punya kepribadian yang sering disalahpahami orang, membuat saya terus berpikir apakah diri sudah capable untuk tetap berdiri di tempat saya sekarang. Orang banyak mengira saya humble dan dermawan, terus seperti itu hingga tiba saat saya butuh waktu sendiri untuk recharge, saya akan dikira orang yang tidak butuh orang lain. Saya akan dikira orang yang sombong, yang bisa berjalan tanpa bantuan yang lain. Lalu saat saya kembali ke tempat dimana saya menjalani kehidupan, semuanya tidak lagi sama. Pandangan orang pada saya pun ikut berubah, respon mereka tentang apa yang saya katakan atau lakukan akan berbeda dari sebelum saya pergi sejenak dari sekitar mereka. Sejak sadar tentang kepribadian aneh itu, saya memutuskan untuk punya topeng tebal yang akan selalu saya gunakan ket
Raihan PovSemenjak ayahanda dari Zahra sadarkan diri dari masa kritis 2 bulannya, saya lebih sering berada di rumah sakit daripada di rumah saya sendiri. Bahkan projek kantor semuanya saya relakan kepada rekan-rekan saya dan saya mengambil kontrak ringan yang analisanya bisa dilakukan di mana saja.Tidak hanya saya, orang tua saya juga sering mengunjungi rumah sakit menjenguk Pak Bakar, ayahanda Zahra, mengingat dia tinggal sendirian sejak kecelakaan yang menewaskan istri dan putri satu-satunya itu.Rumah saya? Rumah dengan Airin maksudnya. Sudah 3 hari saya tidak menginjakkan diri disana. Semenjak Airin pergi untuk mengambil jeda hari itu, saya lebih sering di kantor dan banyak mengambil lembur, bagaimana tidak, jika diteruskan berdiam di rumah, tentu saja ada pikiran dan berbagai bentuk penyesalan yang ada dalam diri saya.
Raihan POV Saya berharap pemandangan yang saya lihat tadi adalah bagian dari mimpi bergenre thriller yang terkadang memberi efek kejut di tengah lelap. Tapi sayang saat kesadaran kembali dan kelopak mata saya terbuka sempurna, bagai dihantam batu besar yang melumpuhkan seluruh fungsi indra tubuh, saya melihat pemandangan itu lagi. Nyata. Tepat di hadapan saya. Seorang wanita dengan tinggi sekitar 157 cm dengan gamis berwarna hitam dan kerudung segi empat yang dilipat menutup hingga pinggang berwarna merah muda, sedang terisak di ujung ranjang saya. Tepat menyerang mata saya yang baru membuka sempurna. Pak Bakar, orang yang saya tunggui akhir-akhir ini di atas dipan rumah sakit ada di samping saya, duduk di kursi roda, sebagai gantinya, malah saya yang sekarang berada di atas dipan nyaman sekaligus menyebalkan ini. Muka saya menoleh pada orang tua dengan jenggot yang baru tumbuh di kanan saya itu. Dengan mata memelas, memohon penjelasan. Beliau hanya menunduk, terkadang menatap
Tidak ada lagi kalut dan terkejut di antara Raihan dan keluarganya tentang kehadiran tiba-tiba Zahra yang sudah dinyatakan meninggal 3 bulan lalu. Setelah penjelasan dari Pak Bakri dan keluarganya yang saat ini duduk sofa ruangan rawat ayahanda Zahra untuk meluruskan kebingungan mereka tentang keadaan putrinya.Yang ada dalam kepala Raihan saat ini hanyalah rasa bersalah dan lagi-lagi penyesalan. Mama Raihan hanya tertunduk lemas di ujung ruangan dan menahan tangis, dikuatkan oleh suaminya yang memegang erat pundaknya.Harusnya ini adalah saat-saat yang membahagiakan, karena orang yang sangat Raihan sayangi tidak jadi meninggal, dan sekarang sedang duduk tegak di hadapannya. Dia gadis yang sama yang pergi sementara membuat hidupnya mati rasa setelah sebelumnya menjadi sumber dari semua alasan Raihan hidup. Bedanya, setelah gadis itu muncul lagi kemarin di hadapannya, tidak ada senyum di wajah ayunya, apalagi setelah mengetahui fakta bahwa mantan calon suaminya itu sudah menikah denga
Ada gurat gusar yang nampak pada paras ayu wanita yang duduk di teras pondok kecil yang ia tempati hampir 1 bulan yang lalu itu. Bukan tentang pekerjaannya yang sudah selesai tadi pagi dan ia kena teguran karena sudah berkali-kali mangkir dari jadwal meeting luring.Kalau hal itu sudah jelas-jelas salah bos nya sendiri, biasanya dia tidak masalah karyawan-karyawan kerja dari manapun asal jobdesk mereka kelar, lalu tiba-tiba membumikan kelancaran komunikasi dan sebagainya padahal seluruh target bulan ini terlampaui. Apalagi posisi Airin yang ‘hanya’ seorang konsultan, yang terlibat hanya di awal proyek, cukup hanya dengan mengirim bawahan atau mahasiswa yang sedang magang untuk mewakilkan dia mengecek perkembangan.Kekhawatirannya kali ini adalah bentuk dari keresahan hatinya untuk pemilik kontak yang layar percakapannya hanya ia pandangi kosong sejak tadi. Iya, siapa lagi kalau bukan Raihan.Baru menyendiri kali ini, Airin masih sempat memikirkan orang lain. Di sebelum-sebelumnya, bo
Kali ini, Airin tengah berada di teras villa yang sedang ia tempati, lengkap dengan 2 koper besar yang tinggal di angkut ke dalam mobil.Kali ini, Airin membulatkan tekad untuk pulang lebih dahulu dari rombongan dr. Raya dan rekan sejawatnya. Bukan tanpa apa, tapi perasaan Airin kali ini benar-benar tidak tenang. Berhari-hari Raihan abai akan pesannya, terkadang pesan kemarin malam, baru dibalas 2 hari berikutnya. Padahal kontak laki-laki itu yang sebelumnya rutin mengirimkan pesan pada Airin, lalu tiba-tiba tidak mengirimkan pesan barang sebiji pada seminggu terakhir. Airin langsung beranggapan bahwa Raihan sudah lelah menunggu balasannya, dan dia tiba-tiba dirundung rasa bersalah. Raya sudah mengingatkan Airin, bahwa jangan terburu-buru mengambil keputusan, karena emosinya saat ini banyak dipengaruhi hormon ibu hamil. Wanita itu juga mengingatkan Airin agar tak gegabah dan memikirkan segala resiko yang ada, mengingat jarak mereka saat ini dan kediaman Raihan cukup jauh untuk ditem
Airin melewatkan perjalanan pulang dari tempat ‘menyendiri’ nya dengan Tito begitu damai. Sejenak ia lupakan masalah Raihan yang tak kunjung membalas pesan tentang kabar kepulangannya dari beberapa hari lalu itu. Selain karena ia tak mau menambah khawatir Tito dan juga dirinya sendiri, ia juga tak menginginkan makhluk kecil, who lives in her belly, merasakan guncangan khawatir berlebih seperti ibunya.Airin paham benar bahwa makhluk kecil yang ukurannya masih sebesar biji kacang hijau itu bisa dengan penuh merasakan emosi sang ibu sepenuhnya. Jangan salah, walau pikiran Airin hanya dipenuhi curiga semenjak Raihan selalu tak sempat membalas pesannya –padahal dia tau, bahwa Raihan tau benar jika Airin tak mau diganggu jika sedang ‘menyendiri–, wanita itu tetap memperhatikan dengan seluruh aten