Raihan Pov
Semenjak ayahanda dari Zahra sadarkan diri dari masa kritis 2 bulannya, saya lebih sering berada di rumah sakit daripada di rumah saya sendiri. Bahkan projek kantor semuanya saya relakan kepada rekan-rekan saya dan saya mengambil kontrak ringan yang analisanya bisa dilakukan di mana saja.
Tidak hanya saya, orang tua saya juga sering mengunjungi rumah sakit menjenguk Pak Bakar, ayahanda Zahra, mengingat dia tinggal sendirian sejak kecelakaan yang menewaskan istri dan putri satu-satunya itu.
Rumah saya? Rumah dengan Airin maksudnya. Sudah 3 hari saya tidak menginjakkan diri disana. Semenjak Airin pergi untuk mengambil jeda hari itu, saya lebih sering di kantor dan banyak mengambil lembur, bagaimana tidak, jika diteruskan berdiam di rumah, tentu saja ada pikiran dan berbagai bentuk penyesalan yang ada dalam diri saya.
Raihan POV Saya berharap pemandangan yang saya lihat tadi adalah bagian dari mimpi bergenre thriller yang terkadang memberi efek kejut di tengah lelap. Tapi sayang saat kesadaran kembali dan kelopak mata saya terbuka sempurna, bagai dihantam batu besar yang melumpuhkan seluruh fungsi indra tubuh, saya melihat pemandangan itu lagi. Nyata. Tepat di hadapan saya. Seorang wanita dengan tinggi sekitar 157 cm dengan gamis berwarna hitam dan kerudung segi empat yang dilipat menutup hingga pinggang berwarna merah muda, sedang terisak di ujung ranjang saya. Tepat menyerang mata saya yang baru membuka sempurna. Pak Bakar, orang yang saya tunggui akhir-akhir ini di atas dipan rumah sakit ada di samping saya, duduk di kursi roda, sebagai gantinya, malah saya yang sekarang berada di atas dipan nyaman sekaligus menyebalkan ini. Muka saya menoleh pada orang tua dengan jenggot yang baru tumbuh di kanan saya itu. Dengan mata memelas, memohon penjelasan. Beliau hanya menunduk, terkadang menatap
Tidak ada lagi kalut dan terkejut di antara Raihan dan keluarganya tentang kehadiran tiba-tiba Zahra yang sudah dinyatakan meninggal 3 bulan lalu. Setelah penjelasan dari Pak Bakri dan keluarganya yang saat ini duduk sofa ruangan rawat ayahanda Zahra untuk meluruskan kebingungan mereka tentang keadaan putrinya.Yang ada dalam kepala Raihan saat ini hanyalah rasa bersalah dan lagi-lagi penyesalan. Mama Raihan hanya tertunduk lemas di ujung ruangan dan menahan tangis, dikuatkan oleh suaminya yang memegang erat pundaknya.Harusnya ini adalah saat-saat yang membahagiakan, karena orang yang sangat Raihan sayangi tidak jadi meninggal, dan sekarang sedang duduk tegak di hadapannya. Dia gadis yang sama yang pergi sementara membuat hidupnya mati rasa setelah sebelumnya menjadi sumber dari semua alasan Raihan hidup. Bedanya, setelah gadis itu muncul lagi kemarin di hadapannya, tidak ada senyum di wajah ayunya, apalagi setelah mengetahui fakta bahwa mantan calon suaminya itu sudah menikah denga
Ada gurat gusar yang nampak pada paras ayu wanita yang duduk di teras pondok kecil yang ia tempati hampir 1 bulan yang lalu itu. Bukan tentang pekerjaannya yang sudah selesai tadi pagi dan ia kena teguran karena sudah berkali-kali mangkir dari jadwal meeting luring.Kalau hal itu sudah jelas-jelas salah bos nya sendiri, biasanya dia tidak masalah karyawan-karyawan kerja dari manapun asal jobdesk mereka kelar, lalu tiba-tiba membumikan kelancaran komunikasi dan sebagainya padahal seluruh target bulan ini terlampaui. Apalagi posisi Airin yang ‘hanya’ seorang konsultan, yang terlibat hanya di awal proyek, cukup hanya dengan mengirim bawahan atau mahasiswa yang sedang magang untuk mewakilkan dia mengecek perkembangan.Kekhawatirannya kali ini adalah bentuk dari keresahan hatinya untuk pemilik kontak yang layar percakapannya hanya ia pandangi kosong sejak tadi. Iya, siapa lagi kalau bukan Raihan.Baru menyendiri kali ini, Airin masih sempat memikirkan orang lain. Di sebelum-sebelumnya, bo
Kali ini, Airin tengah berada di teras villa yang sedang ia tempati, lengkap dengan 2 koper besar yang tinggal di angkut ke dalam mobil.Kali ini, Airin membulatkan tekad untuk pulang lebih dahulu dari rombongan dr. Raya dan rekan sejawatnya. Bukan tanpa apa, tapi perasaan Airin kali ini benar-benar tidak tenang. Berhari-hari Raihan abai akan pesannya, terkadang pesan kemarin malam, baru dibalas 2 hari berikutnya. Padahal kontak laki-laki itu yang sebelumnya rutin mengirimkan pesan pada Airin, lalu tiba-tiba tidak mengirimkan pesan barang sebiji pada seminggu terakhir. Airin langsung beranggapan bahwa Raihan sudah lelah menunggu balasannya, dan dia tiba-tiba dirundung rasa bersalah. Raya sudah mengingatkan Airin, bahwa jangan terburu-buru mengambil keputusan, karena emosinya saat ini banyak dipengaruhi hormon ibu hamil. Wanita itu juga mengingatkan Airin agar tak gegabah dan memikirkan segala resiko yang ada, mengingat jarak mereka saat ini dan kediaman Raihan cukup jauh untuk ditem
Airin melewatkan perjalanan pulang dari tempat ‘menyendiri’ nya dengan Tito begitu damai. Sejenak ia lupakan masalah Raihan yang tak kunjung membalas pesan tentang kabar kepulangannya dari beberapa hari lalu itu. Selain karena ia tak mau menambah khawatir Tito dan juga dirinya sendiri, ia juga tak menginginkan makhluk kecil, who lives in her belly, merasakan guncangan khawatir berlebih seperti ibunya.Airin paham benar bahwa makhluk kecil yang ukurannya masih sebesar biji kacang hijau itu bisa dengan penuh merasakan emosi sang ibu sepenuhnya. Jangan salah, walau pikiran Airin hanya dipenuhi curiga semenjak Raihan selalu tak sempat membalas pesannya –padahal dia tau, bahwa Raihan tau benar jika Airin tak mau diganggu jika sedang ‘menyendiri–, wanita itu tetap memperhatikan dengan seluruh aten
Lihatlah sekarang ada 6 orang duduk di bangku tamu di teras rumah jadul keluarga Raihan. Rumah bernuansa hijau kalem dan putih tulang itu nampak serasi dengan hantaman kebun teh yang terlampau lebar mengelilinginya. Semua orang di daerah sana menghormati keluarga Raihan, selain karena mereka mempunyai uang dan kuasa, kebun hijau yang membentang luas itu telah berhasil menghidupi hampir seluruh kepala keluarga di desa itu dengan bekerja sebagai petani, supir, atau hal lain yang membantu kelangsungan bisnis kebun teh keluarga Raihan.Sayangnya, suasana hijau nan asri itu tak membantu Airin, wanita muda yang cepolan rambutnya sudah kacau dan menjatuhkan beberapa helai karenanya, ikut segar terbawa suasana. Dengan tas mahal seharga mobil dibiarkan tertidur di lantai marmer yang belum disapu, mungkin karena sang pemilik rumah baru saja diterpa badai yang tak membawa angin, hanya saja berpotensi merusak seluruh kehidupan manusia yang hidup di dalamnya.Satu dari 3 wanita yang ada disana me
Airin masih tak merubah posisinya sejak terakhir kali dirinya meletakkan tubuhnya tadi. Tidur dengan posisi badan miring ke kanan, sementara pinggangnya ia sanggah dengan guling agar kemiringan tubuhnya tak memberatkan posisi makhluk yang berada di dalam sana. Walau tubuhnya dari tadi tak menunjukkan perubahan sama sekali di dalam ruangan gelap itu, matanya sama sekali tak menunjukkan keinginan untuk menutup. Pikirannya terlalu berkecamuk untuk bisa tenang walaupun raganya tidur. Ada banyak pertanyaan yang ia butuh jawabannya sekarang juga.‘Ini aku harus gimana?’‘Kan emang mereka berdua yang harusnya jadi suami istri?’‘Kenapa aku jatuh terlalu dalam di hubungan ini?’‘Ini harusnya aku tinggal pergi aja kan?’‘Tapi udah terlanjur ada bayi di sini gimana’‘Aku juga udah nyuruh Farhan pergi dari hidup aku.’‘Siapa yang mau nerima aku habis ini?’Tes..Dibiarkannya lagi air mata itu menetes, membasahi bantal yang sejak tadi jadi saksi bisu tangisan diam-diamnya.Dipejamkan matanya er
“Aku nggak bakal ceraiin Airin.” Ucap Raihan di tengah keheningan yang terjadi karena penjelasan keputusan Airin tadi.“Lo gila? Mau jadi apa gue disini?” Airin kelepasan. Nadanya meninggi, melupakan dua orang yang lebih tua masih ada di sampingnya sekarang.Terlebih mama Raihan yang sedikit tersentak, karena wanita itu memegangi lengan Airin semenjak menantunya itu mengajukan perceraian tadi.Airin memang mengambil keputusan sepihak bahwa dia akan mengalah dan mundur agar tak lagi menjadi penghalang, padahal dari awal tempat ini memang bukan miliknya.Tapi Raihan juga merasa memiliki andil untuk mengambil keputusan juga. Diamnya selama seharian kemarin bukan karena apa selain mempertanyakan hubungannya dengan sahabat baik, yang sekarang menjadi istrinya.Iya, dia masih mencintai Zahra. Dia sangat bersyukur bahwa gadis itu masih hidup dan bisa ia lihat sewaktu-waktu.Tapi dirinya bukan sebangsat itu akan begitu saja membuang Airin yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya selama 3 b