Share

MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA
MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA
Penulis: Yenika Koesrini

1. Bapak yang Menyusahkan

PRANK!

 

Aku yang tengah menyisir rambut sehabis mandi sore, terkaget mendengar suara benda kaca terjatuh.

 

"Jangan, Bang! Itu uang buat bayar sekolahnya Gadis dan beli tasnya Bintang." Suara Ibu terdengar memohon.

 

"Berisik!"

 

BRUGH!

 

"Akhhh!"

 

Seketika aku menghambur keluar kamar. Tampak Ibu tengah tersungkur dengan mengernyit. Sepertinya Ibu sedang menahan sakit.

 

"Bang, kasihan Gadis sudah nunggak SPP-nya, Bintang pun tasnya sudah robek-robek," mohon Ibu dengan suara memelas. 

 

Wanita itu mencoba bangkit, lalu bergerak menyusul Bapak yang sudah mencapai pintu. Ibu berusaha merebut kembali uangnya. Namun, tangan Bapak menampiknya dengan kasar. Membuat Ibu kembali terhalau.

 

"Bapaaak!" Aku berteriak geram. Kaki ini menderap cepat untuk menghentikan langkah Bapak. "Kembalikan uang Ibu!" suruhku berani.

 

Bapak menatapku datar. "Gak usah berisik! Bapak cuma pinjam sebentar, nanti pasti bapak ganti," ujarnya sedikit berjanji dengan suara pelan.

 

Setelahnya Bapak pun berlalu. Tidak percaya dengan omongan pria empat puluh lima tahun itu, aku kembali mencegah kepergian Bapak. Pasalnya uang itu pasti akan digunakan Bapak untuk berjudi.

 

"Jangan buat bapak marah, Kiran!" gertak Bapak saat aku berdiri di depannya untuk menghalangi. Tatapannya cukup dingin. Namun, aku tidak gentar sedikitpun.

 

"Kembalikan uangnya ibu!" Aku mengulangi perintah. Tidak peduli pada tetangga sekitar. Mereka sudah hapal pada suara keributan di rumah ini. Bapak memang kerap kali kasar pada Ibu dan anak-anaknya jika tengah kalut.

 

"Kamu mau jadi anak yang durhaka dengan melawan bapak?" Suara Bapak masih cukup tenang. Matanya menyapu sekitar.

 

"Melawan bapak yang lalim itu bukan durhaka."

 

Bapak tidak membalas. Dia hanya melangkah maju. Tangannya menarik lenganku. Lalu menghempaskan tubuhku dengan keras ke lantai teras. Selanjutnya pria yang teramat kubenci itu beranjak pergi dengan langkah yang panjang-panjang.

 

"Kamu baik-baik saja, Ran?" tanya Ibu memapahku berdiri. 

 

"Aku gak papa, Bu," balasku menenangkan kekhawatiran Ibu. Namun, rasa sakit pada pinggang membuat aku mendesis kecil.

 

"Sudah berapa kali ibu bilang jangan melawan bapakmu," nasihat Ibu sembari membimbingku duduk di kursi teras.

 

"Tetapi orang macam bapak memang harus dilawan, Bu," tukasku cepat. "Bapak sudah keterlaluan. Tidak terhitung berapa kali tangan kotornya memukul kita," lanjutku menahan geram.

 

"Sabar, Kiran," saran Ibu lembut. Wanita berbego cokelat itu mengusap rambutku lembut.

 

"Mau sampai kapan, Bu? Bapak sudah terlalu semena-mena sama kita," sahutku menggebu-gebu karena emosi yang menghimpit dada ini. "Andai Ibu mengizinkan, seharusnya sudah lama ba ji ngan itu membusuk di penjara."

 

"Kiran, jaga bicaramu!" Ibu menegur dengan tegas, "ingat tanpa dia, kamu tidak akan ada di dunia ini."

 

"Andai bisa memilih, aku tidak mau menjadi anaknya."

 

Ibu menarik napas dalam-dalam. "Setiap orang punya ujian hidup masing-masing. Mungkin ujian kita adalah bapakmu, Nak. Jadi bersabarlah! Mohon pada Gusti Allah untuk melembutkan hati bapakmu di setiap sujudmu," wejang Ibu bersungguh-sungguh.

 

"Aku gak sekuat Ibu," balasku sambil berdiri. "Kalo aku punya suami kasar kayak bapak, mending minta cerai saja. Daripada makan hati setiap hari." 

 

Ibu hanya terdiam. Wanita itu kembali menghirup napas yang sesak.

 

"Ada banyak hal yang mesti ibu pertimbangkan jika harus bercerai dari bapakmu," kilah Ibu lirih. "Terutama kalian." Wanita itu menatapku lurus.

 

Kaki ini aku yang menghela napas. Kucondongkan badan untuk memegang kedua pundak Ibu. "Aku, Gadis, dan Bintang akan sangat bahagia jika Ibu bisa lepas dari jeratan lelaki jahat itu," tuturku serius. "Pikirkan kondisi Ibu! Jangan sampai Ibu jatuh sakit karena tekanan batin."

 

Usai berkata seperti itu, aku masuk ke rumah kembali. Kaki ini menuju kamar. Penat hati dan pikiran membuatku melempar tubuh ini ke ranjang. 

 

Ada sebersit rasa penyesalan menyergap dada. Andai uang gaji tadi sore tidak langsung kubagi ke Ibu. Seharusnya langsung saja kubelikan sepatu buat Bintang dan kasih ke Gadis. Sehingga Bapak tidak akan merampas uang hasil jerih payahku itu.

 

Huffff!

 

Aku menghela napas berat. Menyesal benar-benar menyesal. Andai aku punya banyak waktu luang. Akan kuajak Bintang ke pasar untuk memilih sendiri sepatu yang ia mau. 

 

Sayang hari-hariku sudah penuh dengan pekerjaan. Berangkat pagi pulang petang. Bahkan kadang sampai malam jika lemburan tengah banyak.

 

Usiaku baru menginjak dua puluh tahun bulan lalu. Masih cukup muda. Namun, kehidupan menempaku tumbuh lebih cepat dewasa dari teman-teman sebaya.

 

Sedari umur sembilan tahun aku sudah terbiasa membantu Ibu mencari nafkah. Ibu bukan seorang janda. Namun, kehidupannya tidak berbeda jauh dari seorang wanita tanpa suami.

 

Bapak memang bekerja sebagai buruh pabrik sama sepertiku. Namun, tabiatnya yang suka main judi membuat kami sekeluarga sengsara. Lalu ketika aku sudah bisa menghasilkan uang, Bapak benar-benar lepas tangan.

 

Lelaki itu justru ikut menambah beban. Setiap hari harus dibelikan rokok. Jika tidak maka Ibu akan kena tangan. 

 

Untuk pria macam itu apakah aku harus tetap hormat?

 

***

 

Semalaman Bapak tidak pulang. Itu sudah biasa. Paling pria itu tengah menghabiskan uang rampasan dariku di tempat hiburan.

 

Namun, sudah tiga hari ini Bapak tidak pulang. Biasanya lelaki itu akan pulang di pagi hari dengan badan bau minuman. Hal ini tentu saja mencemaskan hati Ibu.

 

"Ibu takut bapakmu kenapa-kenapa, Ran," ujar Ibu cemas sembari sesekali melongok pintu.

 

Kami sedang duduk santai bersama. Aku dan Gadis asyik bermain ponsel. Sedang Ibu dan Bintang menonton televisi.

 

"Biarin sajalah, Bu. Mungkin bapak menang judi jadi lupa pulang," sahutku acuh. Mata ini fokus pada ponsel. Hari Minggu seperti ini kugunakan waktu untuk bersantai. "Nanti kalo uangnya sudah habis pasti juga balik," lanjutku asyik men-scroll time-line media sosial.

 

TOK TOK TOK!

 

"Ahhh ... itu mungkin bapak," tebak Ibu dengan senyum semringah. Wanita kalem itu berlalu menuju pintu.

 

"MANA BAMBANG!"

 

Aku terkaget mendengar bentakan keras itu. Begitu juga dengan Gadis dan Bintang. Gegas kami bertiga menyusul Ibu ke depan.

 

"Suami saya belum pulang dari tiga hari lalu," jawab Ibu sedikit ketakutan. Tentu saja ada tiga pria orang berbadan kekar mencari Bapak.

 

"JANGAN BOHONG!" bentak si gondrong.

 

"Buat apa saya bohong." Ibu kembali berujar.

 

"Bagaimana, Bos?" Pria gondrong itu mengerling ke lelaki botak yang lebih pendek darinya itu.

 

"Geledah!" titah pria plontos yang lengannya penuh dengan tato itu.

 

"Siap, Bos!"

 

"Tungguuu!" Kami semua menoleh ke pintu. Bapak dengan pakaian lusuh mendekat.

 

"Ke mana saja kamu selama ini, Bambang?!" gertak teman si gondrong langsung menyeret tubuh Bapak.

 

"Maaf ... saya belum dapat uangnya," ucap Bapak tampak sedikit takut.

 

"Alahhhh ... alasan!"

 

Tanpa bicara lagi kedua orang pria berbadan besar itu langsung meng ha jar Bapak. Tak ayal tubuh Bapak langsung terjungkal mendapat se rang mendadak seperti itu. Kesempatan itu digunakan oleh keduanya untuk me nen dangi Bapak.

 

"Hentikaaan!" jerit Ibu ketakutan.

 

Namun, kedua preman itu tidak juga mengindahkan teriakan Ibu. Keduanya asyik me mu kul Bapak sampai pria itu berdarah-darah.

 

"Sudah-sudah! Tolong hentikan!" Ibu memohon. Wanita itu telungkup melindungi tubuh lemah Bapak. "Memangnya utang suami saya nyampai berapa?" tanya Ibu dengan air mata berurai.

 

"Delapan puluh juta." Si plontos berbicara.

 

"Apaaah?" Aku dan Ibu ternganga tidak percaya. Sementara Gadis terus memeluk Bintang yang menangis ketakutan.

 

"Ya. Dan Bambang sudah berjanji hari ini akan melunasinya. Kalo tidak bisa maka ...." Si plontos menjeda ucapannya. Pria pendek buncit itu menatapku dari ujung kepala sampai kaki. "Bambang harus menyerahkan anak gadisnya yang sudah ia jadikan sebagai jaminan," tuturnya dengan seringai menyeramkan.

 

Aku sendiri membeku mendengar penuturan itu.

 

Lanjut?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ummi Khai
gemblung bapake. kalah judi anak segala dijaminin ......
goodnovel comment avatar
Widya Resthu Salam
sangat menyedihkan ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status