Share

4. Pertemuan Pertama

Pria bermata elang itu menatapku dingin. Ada belahan pada dagunya yang lumayan runcing. Warna kulitnya yang tan menambah kesan seksi. Ahhh ... kenapa aku melantur begini?

 

Tidak seperti yang lain, penampilan lelaki yang dipanggil bos besar itu terlihat lebih rapi. Kemeja putih yang melekat pas di badan, ia gulung hingga ke siku. Rambutnya pun ia pangkas dengan rapi.

 

"Maju!" Dia menyuruh dengan menggerakkan telunjuknya. Manik cokelatnya masih menatapku dingin.

 

Dengan keberanian yang dipaksakan aku pun mengikuti perintahnya. Maju tiga langkah. Berdiri di depan si plontos. 

 

"Kamu anaknya Bambang?" tanya dia sembari membuka bungkus sigaret. Menaruhnya di bibir dan mulai menyalakan korek.

 

"Eum ... iya." Aku mengangguk pelan.

 

"Tahu bapakmu punya hutang banyak padaku?" Dia kembali bertanya usai mengisap batang putih tersebut. Membuat dipenuhi asap.

 

"Tahu." Aku menyahut singkat.

 

"Bagus." Dia kembali menyesap sigaretnya, "asal kamu tahu selain hutang delapan puluh juta, Bambang juga menjadikan kamu barang taruhannya."

 

Walau pun sudah mengetahui tetap saja hatiku sakit mendengarnya.

 

"Itu berarti sekarang kamu adalah milikku," tegasnya dengan menatapku serius.

 

Kuterima kenyataan itu dengan anggukan lemah. 

 

"Bawa dia ke belakang, Gor!" titah pria itu pada si plontos.

 

"Baik." Si plontos mengangguk, "ayuk!" Dia mengajakku meninggalkan ruangan.

 

"Tunggu." Aku menginterupsi. Lelaki itu dan si plontos menatapku serius. "Ada hal yang ingin aku sampaikan," ujarku sambil mengumpulkan keberanian.

 

"Memang kamu ngomong apa?" Si plontos yang bertanya.

 

"Eum ... Bapakku masuk rumah sakit."

 

"Ahhh ... kami tidak peduli. Kalo dia tidak berkelit dan berbohong tentu kami tidak akan menghajarnya," tukas plontos terlihat geram. "Makanya kalo miskin itu gak usah sok-sokan. Tahu sendiri akibatnya," lanjutnya merendahkan Bapak.

 

"Biarkan dia melanjutkan ucapannya, Gor!" Pria itu menegur anak buahnya dengan tenang. Si plontos mengangguk pelan karenanya.

 

"Selain luka babak belur, bapakku juga terkena penyakit liver yang cukup serius." Aku bercerita dengan menggigit bibir. Melihat keadaan Bapak yang tergolek lemah di brankar rumah sakit kemarin, rasa benci pada lelaki itu berangsur lenyap.

 

"Terus kamu mau apa?" Pria itu menatapku serius.

 

"Tolong pinjami kami uang untuk pengobatan bapak. Bapakku perlu dioperasi untuk menyelamatkan hidupnya."

 

"Hutang kemarin saja belum dibayar." Si plontos menyindir.

 

"Aku tahu ini lancang, tapi bapakku butuh segera penanganan. Jika tidak ...." Aku tidak mampu meneruskan perkataan. Membayangkan bapak terbujur kaku dengan kain kafan membuat tubuhku bergetar.

 

"Jika tidak apa?" Pria itu menyahut dengan tajam.

 

"Bapak ... Bapak aku bisa mati." Aku menunduk sedih.

 

"Bambang mau mati atau tidak itu bukan urusan kami--"

 

"Tolonglah!" Aku langsung bersimpuh di kaki pria dingin itu.

 

"Nggak untungnya buat aku--"

 

"Aku siap jadi budakmu jika kamu tolongin kami," selaku dengan bersungguh-sungguh.

 

Pria itu menatapku dalam-dalam. "Kamu serius mau menjadi budakku termasuk teman tidurku?"

 

Aku tergagap. Detik berikutnya menunduk pelan. "Boleh jadi teman tidur tetapi setelah resmi--"

 

"Gak ada kamus dihalalin dalam hidup Rain. Ha ... ha ... ha!" Pria plontos itu tergelak geli.

 

"Tigor, diaaam!"

 

Seketika pria plontos itu menutup mulut.

Cukup lama pria itu menatapku. Sesekali rokok di jemarinya ia hisap, lalu mengebulkan asapnya membentuk bulatan-bulatan di udara.

 

"Baiklah ... aku akan membantumu." Akhirnya dia memutuskan. 

 

Aku sendiri menarik napas lega mendengarnya.

 

Pria itu menarik laci mejanya. Selembar cek ia keluarkan, lalu mulai menulis jumlah uang. Terakhir dia membubuhkan tanda tangan pada kertas tersebut.

 

"Gunakan uang itu untuk perawatan bapakmu," suruhnya sembari mengulurkan cek tersebut padaku.

 

"Terima kasih." Aku menerimanya dengan melengkungkan bibir. Ketika kulirik tertera angka delapan puluh juta pada cek itu.

 

"Gor, antar dia ke rumah sakit!"

 

"Baik, Rain." Si plontos mengangguk sambil menyebut nama pria itu. "Ayuk!" Kini si plontos pinggangku. Risih membuatku menyingkirkan tangannya. "Gosah jual mahal begitu! Kamu itu cuma pelayan di sini. Budak!" bentaknya terlihat kesal.

 

"Walau pun hanya sekedar pelayan, tapi tolong hargai aku," tuturku memberanikan diri.

 

"Banyak bicara gadis ini ya?" Si plontos kian meradang.

 

"Tigor!" Pria bernama Rain itu menegur. "Jaga sikapmu!" 

 

Lelaki itu bernama Tigor itu menganga. Sepertinya dia terkaget mendengar perintah itu. Namun, detik berikutnya dirinya mengangguk pelan.

 

"Awasi gadis ini! Jangan sampai dia kabur setelah membawa uang dari kita." Dia menitah lagi.

 

"Siap."

 

Rain pun mengibaskan tangan. Aku dan Tigor lekas melangkah pergi. Suitan nakal terdengar ketika aku dan Tigor melewati teras. 

 

"Bang, ceweknya lumayan bening nih. Buat gue dong!" celetuk pemuda bertopi yang masih memegang tongkat biliard.

 

"Ambil aja kalo lu mau dipuntir sama Rain," sahut Tigor cuek.

 

Tigor lalu mengeluarkan sepeda motor besarnya. Dia menepuk jok belakang. Sigap aku langsung membonceng padanya.

 

Saat dalam perjalanan kami memilih untuk diam. Di tengah perjalanan aku menyuruh Tigor untuk berhenti di sebuah bank. Aku mau mencairkan cek ini.

 

Tigor menurut. Kami berhenti di sebuah bank yang mencetak cek tersebut. Setelah menunggu antrian selama satu jam, nomor antrianku pun dipanggil. Hanya sekitar setengah jam transaksi sudah selesai.

 

Kumasukkan uang senilai delapan puluh juta itu ke tas selempang yang kubawa. Setelah itu kembali menemui Tigor untuk melanjutkan perjalanan. Karena Tigor melajukan motornya dengan ngebut, kami pun tiba dengan cepat di rumah sakit. Turun dari motor, kakiku mengayun menuju kamar Bapak dengan setengah berlari. Membuat Tigor tergesa mengikuti.

 

Betapa kagetnya aku karena ternyata Bapak sudah tidak ada lagi di kamarnya. Ketika kutanya suster, ternyata Bapak sudah dipindah ke ruang ICU karena kondisinya ngedrop. Tanpa bicara lagi aku bergegas menuju kamar gawat darurat tersebut.

 

"Bu ...." Ibu yang sedang menekuri lantai di bangku tunggu, langsung bangkit berdiri begitu melihatku. Wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam. "Bagaimana keadaan Bapak?" tanyaku cemas. Lewat kaca aku mengintip pria yang terbaring lemah di dalam sana. 

 

Kemarin-kemarin aku menginginkan pria itu untuk lekas mati. Supaya tidak menambah beban Ibu. Nyatanya, melihat tubuh Bapak yang dipenuhi selang, hatiku didera rasa khawatir.

 

"Bapakmu harus segera dioperasi, Ran," ujar Ibu dengan bibir pucatnya.

 

"Aku bawa uangnya, Bu." Kutunjukkan tas berisi uang pemberian dari Rain. "Ya sudah ... aku temui dokter dulu. Ibu yang tenang di sini ya?"

 

Begitu mendapatkan anggukan setuju dari Ibu, kakiku menuju ruang kerja dokter yang menangani Bapak. Kusampaikan pada lelaki berjas putih itu jika kami pihak keluarga sudah bersedia  Bapak dioperasi.

 

Dokter berambut sedikit botak itu mengulurkan berkas. Menjelaskan prosedur. Aku yang tidak paham tentang bahasa kedokteran hanya mampu mengangguk. Ketika disuruh tanda tangan pun aku setuju.

 

"Sekarang silakan ke bagian administrasi," suruh dokter ramah.

 

Aku menurut. Tidak membuang waktu lagi aku melangkah menuju bagian administrasi. Petugas menunjukkan jumlah tagihan biaya operasi Bapak. Aku langsung membayarnya.

 

Maka setelah pembayaran selesai dilakukan, Bapak pun segera dibawa ke ruang operasi. Aku dan Ibu menunggu di luar dengan perasaan was-was. Sambil menunggu Ibu mengajakku untuk bermunajat pada Allah.

 

Ada sekitar satu jam aku dan Ibu menghabiskan waktu di masjid rumah sakit ini. Kami berdoa bersungguh-sungguh agar Allah memberikan kesembuhan pada Bapak. 

 

Dua jam setelahnya, operasi Bapak telah selesai dilakukan. Lelaki itu kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan.

 

*

Bapak hanya satu hari berada di ruang pemulihan. Lelaki itu sudah berpindah ke ruang inap biasa. Keadaannya mulai terlihat membaik setelah dioperasi tiga hari lalu.

Tepat di hari ketujuh Bapak sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.

 

Kami sekeluarga tentu saja merasa bahagia. Apalagi ketika sampai di rumah, Bapak berjanji pada kami.

 

"Bapak gak akan main judi lagi. Apalagi mabuk." Bapak berikrar dengan bersungguh-sungguh. "Sudah cukup kejadian kemarin menggugah kesadaran Bapak. Bapak gak mau mati muda," tuturnya serius.

 

"Beruntung Allah masih memberikan kesempatan padamu untuk bertobat, Bang." Ibu berujar dengan haru.

 

Bapak mengangguk sedih.

 

"Sudah jangan sedih-sedih!" Aku turut berbicara, "untuk merayakan kesembuhan Bapak, bagaimana kalo kita mengadakan syukuran," tawarku tulus.

 

"Memang kamu masih pegang uang, Ran?" Ibu bertanya dengan serius.

 

Aku mengangguk pasti. Total biaya pengobatan Bapak mencapai angka lima puluh juta. Masih tersisa tiga puluh juta uang pemberian dari Rain.

Mengingat Rain, tiba-tiba hatiku kembali diliputi perasaan takut dan sedih. 

 

Takut jika nanti aku harus hidup menjadi pelayannya. Serta sedih karena harus berpisah dengan keluarga tercinta.

 

Jan lupa subscribe ya untuk update part terbaru 🙏

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status