Share

5. Permintaan Bapak

"Memangnya berapa orang itu memberimu uang, Ran?" tanya Ibu terlihat penasaran. 

 

Sebab total biaya rumah sakit Bapak itu saja sudah sangat mahal. Mungkin Ibu berpikir bagaimana bisa aku masih memegang uang.

 

"Delapan puluh juta, Bu," jawabku jujur.

 

"Delapan puluh juta?" Ibu tampak terperanjat. Itu wajar. Karena seumur hidup baru pertama kali bagi kami melihat uang sebanyak itu.

 

"Sebenarnya orang itu tidak memberikan, tapi ... aku yang minta pinjaman padanya," tuturku berterus terang.

 

Ibu tampak tertegun lagi. "Lalu ... bagaimana kamu akan melunasinya, Ran? Kita sendiri tidak punya tabungan."

 

Aku tersenyum getir. "Bukankah aku sudah jadikan jaminan oleh Bapak dalam taruhannya?" 

 

Ibu bergeming mendengarkan.

 

"Sisa uang ini akan aku berikan untuk Ibu. Gunakan saja untuk kebutuhan sehari-hari, biaya chek up Bapak, biaya sekolah Gadis dan Bintang juga."

 

"Kiran ...."

 

"Setelah acara syukuran Bapak nanti, aku harus kembali ke rumah besar itu," tuturku sendu, "aku akan menjadi pelayan bagi mereka."

 

"Sampai kapan, Mbak?" Tiba-tiba Gadis masuk ke kamarku. Rupanya anak itu ikut mendengar pembicaraan aku dan Ibu.

 

Aku menarik napas perlahan. "Sampai waktu yang tidak ditentukan."

 

"Maafkan ibu, Ran." Ibu merengkuh tubuhku. Mengusap rambutku perlahan. "Maafkan ibu yang telah mengorbankan kamu," ucapnya terdengar bergetar. Saat aku mengurai pelukan, pipi Ibu sudah basah oleh air mata.

 

"Sudahlah, Bu ...." Aku menggeleng pelan. Mencegah Ibu agar tidak terlarut rasa bersalah terus-menerus. "Sudah kewajibanku untuk menolong kalian. Apalagi aku anak sulung," tuturku berusaha tegar.

 

"Kiran."

 

Aku, Ibu, dan Gadis berpaling ke pintu. Bapak dengan wajah pucatnya mendekat. Pria itu melangkah perlahan, lantas mendekap tubuhku.

 

"Maafkan bapak yang selalu menyusahkan kamu." Sama seperti Ibu, suara Bapak pun terdengar bergetar. "Bapak memang lelaki brengsek. Seharusnya saat sekarat kemarin, kalian tidak perlu menolong bapak."

 

"Dengan Bapak mati pun, aku akan tetap menjadi budak preman itu," sahutku datar. 

 

Aku memang sudah memaafkan Bapak. Namun, rasa kesal tentu saja tidak akan secepat itu lenyap dari hati. Sehingga omonganku sedikit terdengar kasar dengan menyebut kata 'mati', bukan meninggal.

 

Sama seperti Ibu, Bapak pun tidak mampu berkata-kata. Mungkin merasa masih lemah, pria itu memilih duduk di tepi ranjang.

 

"Yang terjadi biarlah terjadi." Aku mencoba tegar, "terpenting sekarang Bapak benar-benar menyadari kesalahan Bapak selama ini," tuturku sembari menatap Bapak serius.

 

"Bapak benar-benar menyesal, Ran." Bapak menyembunyikan wajah pada telapak tangannya. Dia terdengar tergugu dalam tangis. Seumur hidup baru kudengar Bapak menangis.

 

"Sudahlah!" Aku menepuk pelan pundak Bapak. "Sekarang Bapak istirahat yang cukup. Teratur minum obat dan makan biar lekas sembuh. Setelah itu carilah pekerjaan, karena setelah ini aku sudah tidak bisa membantu kalian.

 

Bapak menghapus air matanya dengan punggung tangan. Kemudian dirinya meraih tanganku, lantas menggegamnya kuat. "Terima kasih sudah menjadi tulang punggung dan anak yang baik buat kami."

 

"Itu sudah menjadi kewajibanku," balasku tegar.

 

*

Esok harinya sesuai keinginanku, kami mengadakan syukuran atas kesembuhan Bapak. Aku, Ibu, dibantu Gadis membuat banyak makanan. Malam harinya kami mengundang para tetangga.

 

Ibu tampak menangis haru melihat Bapak duduk bersanding dengan para tetangga. Sudah lama Bapak tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan. Makanya kemarin-kemarin saat terjadi keributan antara Bapak dan Ibu, tetangga sudah enggan peduli.

 

Pagi harinya saat tengah berbenah rumah, terdengar bunyi raungan motor di luar. Sepertinya lebih dari satu kendaraan. Aku tertegun mendengarnya. Siapa kira-kira yang datang?

 

Pintu kamarku diketuk dari luar. Ketika kubuka, muncul wajah Ibu. Guratnya menyiratkan kekhawatiran.

 

"Siapa, Bu?" tanyaku ingin tahu.

 

Ibu menatapku haru. "Mereka datang."

 

Mereka? Mungkinkah para preman itu? Tidak mau menduga-duga, gegas aku menghambur keluar. Di kursi tamu, duduk Tigor bersama kedua anak buahnya.

 

"Nah ... ini dia orangnya," sambut Bang Tigor begitu melihatku. "Gimana kamu udah siap? Janjinya seminggu, ini udah mau sepuluh hari," semburnya ketus.

 

"Eum ... aku ambil baju dulu," balasku lesu.

 

Tentu saja aku tidak semangat. Karena sebentar lagi aku berpisah dengan keluarga tercinta. Sambil memasukkan beberapa pakaian, hatiku merapal. Semoga tidak terjadi apa-apa padaku.

 

Tas ransel berisi barang keperluan lekas kugendong. Ketika aku keluar dari kamar, Ibu, Gadis, dan Bintang menghadang. Mereka mengerubutiku.

 

"Andai Ibu punya uang lebih, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini," sesal Ibu tersedu.

 

"Sudahlah, Bu. Gak ada yang perlu disesali." Aku membesarkan hati Ibu. "Doakan saja supaya orang-orang di sana dilembutkan hatinya. Agar mereka memperlakukan aku dengan baik."

 

"Pasti. Ibu pasti akan mendoakan kamu." Ibu lantas berjinjit untuk mengecup keningku.

 

Setelah dirasa cukup berpamitan, aku menemui Bang Tigor lagi. Tidak disangka, Bapak ikut mengantar. Walau sudah dilarang olehku dan Bang Tigor, tetap saja dirinya bersikeras. 

 

"Aku ingin bertemu Rain, Gor," ujar Bapak memberikan alasan. "Ada hal yang ingin kusampaikan padanya."

 

"Ya sudah kalo kamu memaksa." Tigor mengizinkan walau dengan suara kasar.

 

Kami berlima keluar rumah. Ibu, Gadis, dan Bintang ikut mengantar sampai teras. Ketika akan membonceng si gondrong, Bintang menghambur memelukku.

 

"Bintang jaga diri baik-baik ya?" pesanku lembut seraya mengusap kepala bocah itu.

 

"Mbak Kiran sering pulang ke rumah ya," pinta Bintang dengan mata berkaca-kaca. Pada bocah itu aku beralasan akan pergi kerja ke luar kota.

 

"Pasti." Aku mengangguk yakin, "kalo Mbak sibuk pasti pulang buat jenguk kamu." Untuk membesarkan hati Bintang, sengaja aku berjanji demikian. Walau ada keraguan apa nanti bisa memenuhi janji itu.

 

Usai menepuk pipi Bintang, aku lekas membonceng si gondrong. Tiga motor pun melaju. Para preman ini mengendarai motornya dengan kecang. 

 

Apalagi si gondrong. Sepertinya dia sengaja memancing ketakutanku. Benar aku merasa deg-degan. Namun, tangan ini tetap tidak sudi untuk memeluk si gondrong.

 

Setengah jam perjalanan, sampailah kami di rumah besar itu. Si keriting turun dari motor untuk membuka pintu gerbang. Kami melewati halaman rumah yang cukup luas ini.

 

Ketika akan menuju teras, keluar tiga orang laki-laki. Dua di antaranya memapah seseorang yang mukanya babak belur. Melihat hidung dan bibirnya yang mengeluarkan darah, bulu kudukku meremang. 

 

Bapak yang menyadari kekhawatiran pada wajahku langsung merangkul. Dia membimbingku memasuki rumah yang sepertinya dijadikan basecamp bagi para preman itu. 

 

Gondrong dan keriting tidak ikut masuk. Keduanya bergabung dengan teman-temannya di teras. Seperti biasa, Bang Tigorlah yang membawa kami menemui bosnya.

 

Sama seperti kemarin, lelaki yang bernama Rain itu tengah duduk sendiri di ruangan kerjanya. Namun, kali ini kulihat ada gurat kemarahan pada parasnya.

 

"Bambang datang, Rain." Tigor memberi tahu.

 

Rain hanya mengangguk. Kemudian dia mengibaskan tangannya. Tigor yang paham, lekas keluar ruangan.

 

"Ada apa kamu ikut datang ke sini?" tanya Rain tenang dengan pandangan tertuju pada Bapak.

 

"Aku ke sini selain untuk mengantarkan putriku, juga ada yang ingin kusampaikan sama kamu," jawab Bapak juga terlihat tenang.

 

"Apa?" Rain sama sekali tidak menatapku.

 

"Aku tahu putriku sudah menjadi milikmu, tapi aku mohon perlakuan dia dengan baik," pinta Bapak sembari merangkulku kembali.

 

Rain hanya menyeringai tipis.

 

"Aku tahu kamu pria yang baik, Rain," ucap Bapak terdengar bergetar. Tiba-tiba dia mendekati kursi Rain. Tidak disangka Bapak bersimpuh di kaki lelaki itu. "Tolong jangan sentuh dia sebelum, kamu resmi menikahinya."

 

Baik aku maupun Rain sama-sama tercengang mendengar permintaan Bapak.

 

Next 

 

Jan lupa subscribe ya untuk update part terbaru 🙏

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status