Share

8. Gadis Di Sarang Preman

"Kita ke dapur lagi yuk, Ran!"

Aku mengangguk menyetujui ajakan Iqbal. Kami akan membuat makanan.

"Makanan kesukaanmu apa?" tanya Iqbal mulai mengeluarkan sayuran dari kulkas.

Aku berpikir sejenak. "Semua makanan aku suka. Kami tidak punya kesempatan untuk memilih. Apa yang ada ya dilahap saja," jawabku jujur disertai seringai malu. Tapi, memang seperti itu kenyataannya.

Iqbal tersenyum tipis mendengarnya. "Tapi setidaknya ada kan makanan yang paling kamu suka?"

"Eum ... apa ya?" Mataku menerawang, "aku suka ayam goreng karena ibu lebih sering membuat tempe goreng untuk kami."

"Oh. Ya udah ayuk kita buat!" ajak Iqbal semangat.

Pemuda itu lekas mengeksekusi. Dia mengeluarkan daging ayam dari freezer, lalu mulai memotongnya menjadi bagian kecil-kecil.

"Aku juga mau buat cap cay, tolong kamu potong-potong bahannya ya," suruh Iqbal sambil fokus pada pekerjaan. "Tahu dong bahan-bahannya apa saja?"

"Tahu lah." Perintah Iqbal pun gegas kulaksanakan. "Jadi menu favorit kamu cap cay?" tanyaku kemudian.

"Bukan." Iqbal menggeleng pelan, "cap cay dan balado kentang adalah menu favoritnya Bang Rain."

"Oh." Bibirku membulat kecil, "btw, kamu belum jawab pertanyaanku yang lalu. Kenapa kamu bisa sampai ada di sini? Terus bagaimana dengan keluargamu?" cecarku laksana wartawan yang haus akan informasi.

Iqbal tidak langsung menjawab. Potongan ayam dalam wadah ia cuci pada air keran. "Dari kecil aku gak tahu siapa orang tuaku. Dulu aku tinggal di panti. Gedean dikit aku kabur?"

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Pengurus pantinya galak. Aku gak betah. Terus hidup di jalanan. Nyopet buat bertahan hidup," tutur Iqbal meringis getir. "Sampai suatu ketika aku lagi ketiban apes. Aku ketahuan nyopet. Tubuhku jadi santapan massa." Iqbal menjeda penuturannya untuk menghela napas panjang. "Bang Rain datang sebagai dewa penolong. Lalu sejak saat itu aku berjanji bahwa hidupku akan kudedikasikan buat Bang Rain," ikrar Iqbal tampak bersungguh-sungguh.

Aku mengangguk perlahan. Kemudian kami mulai serius membuat makanan. Tidak disangka Iqbal sangat terampil memasak. Di sini aku hanya bertugas membantu dia sekadarnya.

Lebih dari satu jam baru ketiga menu itu berhasil kami selesaikan. Bertepatan pula dengan azan magrib, aku meminta izin pada Iqbal untuk membersihkan diri. Sekalian beribadah. Iqbal yang baik tentu saja mengizinkan.

Di lantai ini hanya ada satu kamar mandi. Bilik tersebut terletak di sebelah ruang keluarga. Di mana ruang tersebut tempat berkumpulnya para preman.

Beruntung saat kutuju, ruang keluarga sedang sepi. Sehingga aku bisa bebas dan nyaman untuk membersihkan diri. Karena risih juga jika ada para preman itu di luar sementara aku sedang mandi.

Rasanya lengket juga setelah seharian menemani Iqbal menjalankan tugasnya di pasar serta membuat makanan barusan. Walau begitu aku tidak akan berlama-lama di sini. Takut saja tiba-tiba ada di antara mereka mengetuk pintu karena kebelet.

By the way, di mana handukku? Kenapa aku cuma bawa baju ganti saja? Ya Allah ... aku benar-benar lupa tidak membawa kain empuk itu. Karena kemarin benar-benar asal saat menyiapkan bekal ganti.

Bagaimana ini?

Aku menggigit bibirku perlahan.

Haruskah aku meminjam handuknya Iqbal? Jika iya, bagaimana cara memanggilnya? Tidak mungkin juga aku berteriak memanggil namanya. Ini kan bukan di rumahku sendiri.

Tidak ada cara lain. Terpaksa kukeringkan badan menggunakan baju ganti. Karena baju yang tadi sudah kotor terkena debu jalanan dan bahan makanan.

Baju ganti ini menjadi sedikit basah. Ketika kupakai dadaku sedikit tercetak jelas. Aku mendengkus resah. Tapi tidak ada pilihan lain lagi.

Usai berpakaian, aku pun bersuci dari hadas kecil. Ketika hendak keluar, aku terlebih dulu mengintip keadaan luar. Terdengar suara beberapa preman. Namun, sepertinya mereka berada di ruang depan.

Setelah dirasa aman, cepat-cepat aku keluar kamar mandi. Sial! Ketika tengah terburu menuju kamar, aku menabrak seseorang. Ketika mendongak, sosok Rain tengah menatapku dingin.

"Eum ... maaf." Aku mundur selangkah.

Rain tidak menjawab. Hanya saja pandangannya tertuju pada kaos bagian dadaku yang lumayan basah. Sadar diperhatikan, gegas aku menyilangkan kedua lengan di dada.

"Kenapa basah-basahan begitu?" tegur Rain datar.

"Eum ... lupa bawa handuk." Aku menunduk canggung.

Rain tidak berkomentar. Kulihat dia bergerak menuju ruang kerjanya.

Aku sendiri langsung menuju kamar, lalu mengganti pakaian basah ini dengan baju kering lainnya. Setelah itu kembali berwudhu menggunakan air di keran dapur.

Ibadah sholat magrib kulaksanakan dengan khidmat. Berharap bisa cepat hengkang dari tempat ini. Walau pun sudah mempunyai teman sebaik Iqbal, tetap saja aku tidak mau hidup lama-lama di sini.

Setelah dirasa cukup ibadah dan doanya, kulipat mukena dan sajadah. Baru beranjak kembali ke dapur. Tampak Iqbal tengah menata hidangan di meja makan. Wajah dan rambutnya yang lembap menjadi pertanda jika dia pun sudah selesai mandi.

"Kamu mandi di mana, Bal? Perasaan di sini kamar mandinya cuma ada satu," tanyaku saat mendekat.

"Ada satu kamar mandi lagi di atas," jawab Iqbal tengah mengelap piring.

"Di dekat kamar mandinya Bang Rain." Aku mencoba menebak.

"Hu'um. Kamarku ada di atas bersebelahan dengan kamar Bang Rain." Tiba-tiba Iqbal menghentikan aktivitas. "Kayaknya kamar itu cocok ditempati kamu deh, Ran. Biar kamu bebas gunain kamar mandi. Entar deh aku usul sama Bang Rain buat tukeran kamar."

Aku terharu mendengar usulan dari Iqbal. "Kenapa kamu baik banget ke aku, Bal?" tanyaku dengan mata berembun.

Iqbal menyengir. "Karena kamu wanita sendiri di sini. Dan kamu butuh privasi."

"Makasih, ya," ucapku tulus.

Iqbal mengangguk pelan. "Yodah aku panggil anak-anak dan Bang Rain dulu."

Pemuda itu pun berlalu. Tidak lama terdengar pekikan senang dari anak-anak. Ada tujuh orang preman yang mendekat. Mereka tampak antusias menatap makanan di meja.

Namun, tidak ada yang berani mengambil makanan dulu. Hingga datang sang bos mereka diikuti Iqbal. Rain duduk di kursi utama. Iqbal sendiri menarik lenganku hingga duduk di sebelah kanannya.

"Lu masak sendiri, Bal?" tebak Rain begitu mengecap cap cay sayur itu. Dirinya seolah sudah hapal citarasa masakan khas Iqbal.

"Kiran tadi ikut bantuin," jawab Iqbal santai.

Pemuda itu tengah mengambil nasi dan sayur, lalu menaruh dua paha ayam goreng pada piring tersebut. Tidak disangka pemuda itu memberikannya padaku.

"Lu harus ajari dia cara membuat masakan yang enak. Karena gak setiap hari elu ada waktu bikinin masakan buat kita," suruh Rain sedikit melirik ke arahku.

"Siap, Bang," sahut Iqbal sedang menyuap makanan. Sementara yang lain juga sudah lahap menyantap hidangan.

"Bang Raiiin!"

Kami semua terkaget mendengar teriakkan itu. Tidak lama datang seorang preman dengan lebam di bawah mata.

"Anak buah ... Tama ... bikin kekacauan di wilayah kita, Bang," lapor preman tersebut terengah-engah.

Kulihat tangan Rain langsung mengepal.

"Bahkan ... Bang ... Bang Tigor kesabet celurit mereka, Bang." Preman itu bertutur lagi.

"Bedeb*h!" Rain menggebrak meja.

Aku tersentak kaget mendengarnya. Tidak lama jantung ini berdebar kencang. Seolah paham kondisiku, Iqbal merangkul pundakku lembut.

"Tama udah mulai main-main sama aku," ujar Rain dengan tatapan dingin, "kerahkan anggota! Mereka harus tahu siapa lawan mereka yang sebenarnya."

Para anak buah Rain langsung bangkit berdiri. Semuanya tampak siap menunggu perintah. Begitu juga dengan Iqbal.

"Itong dan Ayon jaga markas saja. Perketat keamanan dan ... jaga gadis itu baik-baik," titah Rain kembali melirik sekilas padaku.

"Siap, Bang!" Kedua orang preman berseru hormat.

"Ayo kita berangkat!" Tangan Rain mengibas.

Ketika lelaki itu menderap, ketujuh anak buahnya mengikuti. Termasuk kedua preman yang sudah ditugaskan untuk menjagaku.

"Kamu jaga diri baik-baik, Ran. Gak usah keluar kamar sebelum kami pulang, ya," pesan Iqbal memegang kedua pundakku.

"Aku ... aku takut, Bal," ucapku jujur.

"Gak perlu takut. Ada Itong dan Ayon yang akan ngejaga markas ini," balas Iqbal mencoba menenangkan.

Pemuda itu menepuk pipiku perlahan. Setelah itu dia berlari mengejar Rain dan kawan-kawannya.

Aku sendiri masih terpaku bingung. Setelah bayangan mereka tidak terlihat lagi, aku langsung gegas masuk ke kamar. Pintu kamar aku kunci rapat.

"Ya Allah ... semoga Rain dan anak buahnya selamat." Tanganku tengadah ke atas.

 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Siti Nur Kholishoh
suka Bagus
goodnovel comment avatar
Assyifa RoRa
seru banget...suka
goodnovel comment avatar
Aldi Saragi
cerita nya sangat menyenangkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status