Masih dengan mendesis aku bangkit berdiri. Tangan ini mengusap-usap pinggang. Sungguh sakit jatuh dari ranjang. Pinggang ini rasanya seperti hendak patah.
Aku menggeliat sebentar untuk merenggangkan otot yang masih terasa kaku. Badanku terasa pegal-pegal karena kemarin lumayan lama membantu Rain bekerja.
Kulirik jam kotak di tembok. Pukul empat pagi lewat lima puluh menit. Saatnya beribadah pagi.
Dengan penuh kekhusyukan aku menghadap sang Khalik. Bersujud pada-Nya untuk memohon ampunan. Serta kebaikan dalam hidup. Baik untuk diri sendiri, keluarga, dan juga Rain.
Ya ... akhir-akhir aku memang selalu menyempatkan namanya di setiap doa. Berharap agar dia selalu keselamatan di setiap langkahnya. Begitu juga dengan Iqbal. Pemuda baik itu juga menempati separuh hatiku yang lain. Doaku sama juga. Semoga Iqbal dan Rain selalu dijauhkan dari marabahaya.
Usai meraup wajah aku melipat mukena dan sajadah. Dalam hati memang sudah bertekad. Bahwa apa pun
"Kenapa kamu bisa punya pikiran seperti itu?" Ekspresinya datar."Ya aku bingung. Hanya kamu dan Didan yang masuk ke kamar aku.""Terus?""Jika orang itu adalah Didan, bukankah dia juga anak buahmu--""Gak ada alasan buatku untuk memfitnah apalagi nyelakai kamu," sela Iqbal terdengar tegas. Aku sendiri sampai merasa tidak enak hati karenanya.Pemuda itu menandaskan minumannya. Setelah itu dia beranjak menuju kamarnya yang memang tidak jauh dari dapur ini.Ahhh! Aku mendesah resah. Kenapa semuanya jadi rumit seperti ini?Teringat dengan niat awal, aku langsung segera menyeduh ke sepuluh mie instan tersebut. Semuanya kumasukkan dalam satu panci. Untuk topping kutambahkan sayur cesim, sosis, dan telur mata sapi tentunya.Anak-anak mendekat ketika aku tengah mengambil beberapa mangkok. Mereka paham saja masak
"Mita," bisikku lembut.Gadis lemah lembut itu langsung membuka matanya. "Kiran." Mita yang terharu lantas memelukku erat."Aku mau ngenalin teman-teman baruku," ujarku sembari melepas pelukan. "Kenalkan ini Iqbal dan ini Rain."Iqbal dan Rain masing-masing menipiskan bibirnya pada Mita.Mita sendiri tampak takjub menatap Rain. "Apa kita pernah bertemu?"Tidak hanya aku yang tergelitik mendengarnya. Iqbal pun tampaknya sama. Pemuda itu menatap Mita lamat-lamat, lalu beralih memindai sang bos.Sementara Rain diam dengan dahi mengernyit. "Entahlah ... tapi seingat saya, ini pertama kalinya kita bertemu," ujarnya kalem. Lelaki itu memang cukup santun. Dia bisa menempatkan diri, kapan waktunya bersikap santai, dingin, atau sedikit resmi seperti ini.Bibir Mita mengulas senyum. "Maaf, mungkin saya salah orang. Tapi sungguh, wajah
"Menjauhlah kalian dari Kiran!" Suara Rain terdengar lantang."Oh ... Jadi namanya Kiran?" Pria bernama Tama itu kembali melirik padaku dan menyeringai. "Kiran siapa nih? Kiranti? Ha ... ha ... ha." Dia kembali tergelak dengan gaya meremehkan. Sedangkan Ingga hanya tersenyum miring. Sama merendahkan aku juga.Rain menghampiri Tama. "Enyah. Dari. Meja. Ini!" usir Rain dengan penuh penekanan. Suaranya tidak selantang tadi. Namun, tatapannya yang menghujam menjadi pertanda jika dia amat membenci lelaki di hadapannya itu."Nape elu kaku banget kek gitu sih?" Tama kembali menyeringai. "Kita udah lama gak ketemu. Harusnya temu kangen gitu," kelakarnya berusaha sok akrab. Namun, saat tangannya coba menggapai pundak Rain, Rain menepisnya. "Hei ... masih galak aja. Ingat kita bertiga Nathan teman senasib sepenanggungan. Sama-sama anak pungutnya Bang Jack ," tutur Tama menyebut nama seseorang. Aku pikir itu pasti nama ayahnya Shila. Orang yang mengangkat mereka menjadi an
"Sebenarnya Rain, Nathan, dan Tama mendapat bagian dengan porsi yang sama. Namun, pada surat wasiat Rain berhak menjalankan dan menguasai warisan atas nama Shila selama anak itu belum ditemukan. Karena Bang Jack beranggapan bahwa Shila masih hidup." Ia memungkas kisah.Kami masing-masing terdiam kembali."Boleh tanya lagi, Bang?" Aku meminta izin. Takut saja dianggap lancang karena terlalu ingin tahu."Apa?" Tidak kuduga Bang Tigor santai menanggapi."Eum ... Ibunya Shila kalo boleh tahu apakah masih hidup?" tanyaku hati-hati.Lagi-lagi Bang Tigor terlihat menarik napas. "Mbak Sasmita pergi berpulang ketika melahirkan Shila. Ahhhh ... kasihan sekali hidup wanita itu." Bang Tigor menggeleng lemah."Nama istrinya Bang Jack Sasmita?" tanyaku memperjelas."Iya. Dia wanita yang lemah. Lima tahun menikah dengan Bang Jac
"Buat siapa buah sebanyak ini?" tegurku lumayan heran."Buat temanmu lah, semoga dia suka." Rain menyahut tenang, "kalo kamu mau tinggal ambil aja."Aku tercenung. Bagaimana bisa Rain tahu jika Mita sangat menggemari anggur hijau. Apakah suatu kebetulan?Kami menuju kasir. Rain melakukan transaksi. Setelah rampung kami keluar supermarket. Hatiku lumayan tersentuh karena Rain tidak mengizinkan aku membawa plastik belanjaan. Pria itu yang menjijingnya hingga mobil."Kenapa dari tadi kok diam? Biasanya banyak nanya," sindir Rain ketika mobil sudah melaju.Aku meringis kecil. "Anu, Bang, heran saja kok Abang bisa tahu kalo Mita sangat menyukai buah anggur hijau?"Rain menoleh. Dahinya terlihat melipat. "Benarkah?""He-eh. Mita bisa beli berkilo-kilo kalo habis bayaran dulu."Rain mengendikan bahunya perlahan. "Gak tahu, feeling aja pengen ambil anggur ijo tadi.""Wahhh ... intuisi Bang Rain lumayan tajam." Aku memuji sembari
"Elu gak akan bisa bertemu dengan bos tampan itu, Ran," cibir Didan meremehkan."Maksud kamu apa?" cecarku menahan emosi."Elu, mau kita bawa nemuin Bos Tama," jawab Didan dengan senyum dingin.Aku ternganga mendengarnya. Kepala ini menggeleng lemah saking syoknya. "Didan, kamu ....""Ya, gue orangnya." Didan menatapku tajam, "gue orang yang udah naruh extacy di kamar elu," terang Didan dingin.Aku membeku. Sementara Didan kembali menyeringai lebar Sedangkan teman-temannya tergelak puas."PLAK!"Muntab membuat aku menampar pipi kanan Didan. Pemuda itu terkejut."Dasar pengkhianat!" Aku mengecam sambil memukul-mukul dada Didan. "Bang Rain dan Iqbal udah baik sama kamu. Mungut kamu dari jalanan, tapi malah khianat, kenapa hah?!" gertakku sembari terus menyerang pemuda kurus itu."
POV 3Rain sedang berada di office salah satu gerai karaokenya. Dia, Nathan, dan juga Iqbal baru saja melakukan pengecekan terhadap pembangunan gerai karaokenya yang berada di Depok. Semuanya sudah finish. Rencananya mereka akan melakukan pemotongan pita tiga hari lagi."Napa sih? Mondar-mandir terus dari tadi?" tegur Nathan pada Rain lumayan heran. Sang sahabat yang biasa terlihat tenang, kini tampak gelisah. Di sofa Iqbal juga merasakan hal yang serupa.Rain menggeleng pelan. "Gak tahu perasaan gue gak enak banget hari ini. Gelisah tanpa alasan." Dia terdiam sejenak, "ini tuh persis kayak ...." Rain membuang muka dan tidak melanjutkan ucapannya."Kenapa Rain?" Nathan yang penasaran mendesak.Rain tidak menanggapi pertanyaan Nathan. Lelaki itu merogoh kantong celananya. Dia mengambil ponsel, lantas mencari nomor kontaknya Kiran.
Rain bergeming. Dia bingung harus menjawab apa. Di sisi lain dia sudah mulai menyayangi Kirani. Namun, di lain pihak hatinya tetap berpegang teguh jika Shila masih hidup. Rain tidak mungkin mengkhianati cinta pertamanya itu."Jawab, Rain!" Bambang kembali mengguncang tubuh Rain. "Ini adalah permintaan sederhana dari seorang ayah yang selalu merasa bersalah telah menyeret anaknya ke lembah dosa.""Kiran tidak melakukan dosa apa pun." Rain menyela."Tapi hubungan antara pria dan wanita tanpa adanya ikatan dalam satu atap tidak dibenarkan, Rain," sahut Bambang membeberkan alasannya. "Tolong jangan buat Kiran terlihat rendah di mata orang karena kumpul kebo dengan kalian semua," mohonnya dengan kedua tangan menangkup.Rain tercenung. Demi melihat wajah nelangsa Bambang, dia mengangguk perlahan. "Baiklah, akan kunikahi anakmu." Dia berjanji dengan serius.Bambang menipiskan senyum. "Sekarang cepat cari Kiran sampai dapat!" suruhnya tegas."Baik!"