"Buat siapa buah sebanyak ini?" tegurku lumayan heran.
"Buat temanmu lah, semoga dia suka." Rain menyahut tenang, "kalo kamu mau tinggal ambil aja."
Aku tercenung. Bagaimana bisa Rain tahu jika Mita sangat menggemari anggur hijau. Apakah suatu kebetulan?
Kami menuju kasir. Rain melakukan transaksi. Setelah rampung kami keluar supermarket. Hatiku lumayan tersentuh karena Rain tidak mengizinkan aku membawa plastik belanjaan. Pria itu yang menjijingnya hingga mobil.
"Kenapa dari tadi kok diam? Biasanya banyak nanya," sindir Rain ketika mobil sudah melaju.
Aku meringis kecil. "Anu, Bang, heran saja kok Abang bisa tahu kalo Mita sangat menyukai buah anggur hijau?"
Rain menoleh. Dahinya terlihat melipat. "Benarkah?"
"He-eh. Mita bisa beli berkilo-kilo kalo habis bayaran dulu."
Rain mengendikan bahunya perlahan. "Gak tahu, feeling aja pengen ambil anggur ijo tadi."
"Wahhh ... intuisi Bang Rain lumayan tajam." Aku memuji sembari
"Elu gak akan bisa bertemu dengan bos tampan itu, Ran," cibir Didan meremehkan."Maksud kamu apa?" cecarku menahan emosi."Elu, mau kita bawa nemuin Bos Tama," jawab Didan dengan senyum dingin.Aku ternganga mendengarnya. Kepala ini menggeleng lemah saking syoknya. "Didan, kamu ....""Ya, gue orangnya." Didan menatapku tajam, "gue orang yang udah naruh extacy di kamar elu," terang Didan dingin.Aku membeku. Sementara Didan kembali menyeringai lebar Sedangkan teman-temannya tergelak puas."PLAK!"Muntab membuat aku menampar pipi kanan Didan. Pemuda itu terkejut."Dasar pengkhianat!" Aku mengecam sambil memukul-mukul dada Didan. "Bang Rain dan Iqbal udah baik sama kamu. Mungut kamu dari jalanan, tapi malah khianat, kenapa hah?!" gertakku sembari terus menyerang pemuda kurus itu."
POV 3Rain sedang berada di office salah satu gerai karaokenya. Dia, Nathan, dan juga Iqbal baru saja melakukan pengecekan terhadap pembangunan gerai karaokenya yang berada di Depok. Semuanya sudah finish. Rencananya mereka akan melakukan pemotongan pita tiga hari lagi."Napa sih? Mondar-mandir terus dari tadi?" tegur Nathan pada Rain lumayan heran. Sang sahabat yang biasa terlihat tenang, kini tampak gelisah. Di sofa Iqbal juga merasakan hal yang serupa.Rain menggeleng pelan. "Gak tahu perasaan gue gak enak banget hari ini. Gelisah tanpa alasan." Dia terdiam sejenak, "ini tuh persis kayak ...." Rain membuang muka dan tidak melanjutkan ucapannya."Kenapa Rain?" Nathan yang penasaran mendesak.Rain tidak menanggapi pertanyaan Nathan. Lelaki itu merogoh kantong celananya. Dia mengambil ponsel, lantas mencari nomor kontaknya Kiran.
Rain bergeming. Dia bingung harus menjawab apa. Di sisi lain dia sudah mulai menyayangi Kirani. Namun, di lain pihak hatinya tetap berpegang teguh jika Shila masih hidup. Rain tidak mungkin mengkhianati cinta pertamanya itu."Jawab, Rain!" Bambang kembali mengguncang tubuh Rain. "Ini adalah permintaan sederhana dari seorang ayah yang selalu merasa bersalah telah menyeret anaknya ke lembah dosa.""Kiran tidak melakukan dosa apa pun." Rain menyela."Tapi hubungan antara pria dan wanita tanpa adanya ikatan dalam satu atap tidak dibenarkan, Rain," sahut Bambang membeberkan alasannya. "Tolong jangan buat Kiran terlihat rendah di mata orang karena kumpul kebo dengan kalian semua," mohonnya dengan kedua tangan menangkup.Rain tercenung. Demi melihat wajah nelangsa Bambang, dia mengangguk perlahan. "Baiklah, akan kunikahi anakmu." Dia berjanji dengan serius.Bambang menipiskan senyum. "Sekarang cepat cari Kiran sampai dapat!" suruhnya tegas."Baik!"
"Elu, elu, dan elu semua akan mati di tangan gue. Ha ... Ha ... Ha," ancamnya dengan mengarahkan senjatanya pada Iqbal, Rain, dan Nathan. Sementara Bambang terus ia sekap.Anak buah Tama yang menyergap Kiran berhamburan keluar. Semuanya tampak siap berjaga-jaga membela sang bos. Tidak terkecuali Didan.Aliran darah Iqbal naik dua kali lebih cepat begitu melihat keberadaan Didan. Dia tidak menyangka pemuda kalem dan santun itu ternyata seorang pengkhianat. Andai Bambang dan Kiran sedang tidak jadi tawanan, sudah Iqbal hajar pemuda itu."Didaaan! Ikat tua bangka ini!" teriak Tama sembari menendang tubuh Bambang.Pria pertengahan empat puluhan itu terjengkal. Melihat itu Rain, Nathan, dan Iqbal sudah siap menolong. Namun, tangan Tama sudah lebih cepat mengarahkan moncong senjatanya pada dahi Bambang kembali.Terpaksa ketiga kawan itu harus bersabar menunggu situasi yang tepat. Mereka tidak mau gegabah yang dapat mengakibatkan kesalahan fatal. Ra
"Bapaaak!" Kirani terus saja menyebut nama bapaknya.Gadis itu menepuk-nepuk pipi Bambang. Berharap sang ayah akan segera bangun. Ketakutan melanda jiwanya.Saat Bambang masih berlaku kasar pada keluarganya, Kirani sempat memilih lebih baik tidak punya ayah saja. Nyatanya kini hatinya tidak rela jika pria itu menghembuskan napas terakhir.Iqbal dan Nathan mengangkat tubuh Bambang yang pingsan. Tadinya mereka mau memanggil ambulance dan tenaga medis. Namun, Kirani melarang.Gadis itu khawatir ayahnya tidak akan tertolong jika menunggu ambulance datang. Terpaksa Iqbal dan Nathan membawa Bambang masuk ke mobil.Sementara Rain dipapah oleh Ayon dan Bang Tigor. Keduanya membawa Rain yang pincang ke mobil yang satunya lagi. Kedua mobil itu langsung meninggalkan tempat kejadian perkara.Di lain pihak, Komandan Bumi berhasil meringkus Didan dan kawanannya. Semua anak buah Tama digiring ke mobil polisi bak terbuka. Keenamnya d
Di tempat terpisah Bambang dan Rain menjalani operasi pengangkatan timah panas. Operasi berlangsung sekitar dua jam lamanya. Tepat pukul setengah sebelas malam, dokter yang menangani berhasil mencabut peluru dari masing-masing tubuh Rain atau pun Bambang.Kondisi tubuh Rain yang fit membuatnya langsung dipindahkan ke ruang pemulihan. Namun, itu tidak berlaku pada Bambang. Kondisi tubuhnya menurun. Bahkan menyentuh level kritis.Di kamar lain, setelah mendapatkan pengobatan Kirani tertidur. Kekerasan yang ia dapat baik verbal mau pun fisik membuatnya terkapar. Bahkan punggungnya mengalami luka dalam, akibat hantaman keras dari Didan waktu itu.Kirani baru membuka mata keesokan harinya. Tidak ada ibu atau Gadis. Hanya ada Mita yang duduk menunggu dia bangun."Mit, bagaimana keadaan bapak aku?" tanya Kirani langsung bangkit duduk."Eum ... Bapakmu ... dia--""Bapak kenapa, Mit?" sela Kirani tidak sabar."Bapakmu belum sadar. Masih ada di
Ada rasa perih menyusup hati Iqbal, saat mendengar perintah itu. Dia sadar hal itu pasti akan terjadi. Namun, Iqbal tidak menyangka jika secepat ini dia harus kehilangan Kirani.Selama ini Iqbal terus menyemangati diri. Bahwa sebelum janur kuning melengkung, Iqbal masih punya kesempatan untuk mendekati Kirani. Jauh sebelum bertemu dengan Kirani di markas, Iqbal terlebih dulu mengenal gadis itu saat masih sekolah.Iqbal yang masih jadi pencopet sering kali bertemu dengan Kirani di dalam bus. Wajah Kirani yang manis, serta tingkah lakunya yang baik membuat Iqbal terkesan. Hampir setiap pagi dia sengaja menunggu di halte tempat Kirani menunggu bus untuk berangkat ke sekolah.Kirani yang baik akan selalu memberikan tempat duduknya pada orang tua yang tidak kebagian. Kirani tidak sungkan memberi uang lebih pada para pengamen. Terutama anak kecil.Kirani bahkan pernah membelikan Iqbal sebuah plester saat pemuda itu habis terjatuh dari bus. Sayangnya setel
Kirani menatap Iqbal dalam-dalam. Ketulusan yang terpancar dari iris hitam itu membuat Kirani luluh. Dirinya diam saja saat Iqbal merangkul pundaknya. Saat pelayan menyuruhnya tersenyum pada kamera, Kirani menurut.Pelayan itu mengambil sekitar tiga gambar. Setelah setelah dirasa cukup, Iqbal dan Kirani kembali berganti pakaian biasa. Keduanya menuju kasir. Iqbal melakukan pembayaran.Keduanya lantas meninggalkan butik. Kini Iqbal membawa Kirani ke toko perhiasan. Mereka akan membeli cincin kawin.Tiba di toko perhiasan, Kirani langsung memilih cincin yang tepat untuk jari manisnya. Gadis itu juga memilihkan cincin untuk Rain. Lagi-lagi ukurannya disesuaikan dengan besar jari manisnya Iqbal."Kamu mau mahar apa?" tanya Iqbal sembari mengamati cincin di jari manisnya."Apa ya?" Kirani mengelus-elus cincin kawin di jari manisnya. "Eum ... aku mau kalung dengan liontin