Kirani menatap Iqbal dalam-dalam. Ketulusan yang terpancar dari iris hitam itu membuat Kirani luluh. Dirinya diam saja saat Iqbal merangkul pundaknya. Saat pelayan menyuruhnya tersenyum pada kamera, Kirani menurut.
Pelayan itu mengambil sekitar tiga gambar. Setelah setelah dirasa cukup, Iqbal dan Kirani kembali berganti pakaian biasa. Keduanya menuju kasir. Iqbal melakukan pembayaran.
Keduanya lantas meninggalkan butik. Kini Iqbal membawa Kirani ke toko perhiasan. Mereka akan membeli cincin kawin.
Tiba di toko perhiasan, Kirani langsung memilih cincin yang tepat untuk jari manisnya. Gadis itu juga memilihkan cincin untuk Rain. Lagi-lagi ukurannya disesuaikan dengan besar jari manisnya Iqbal.
"Kamu mau mahar apa?" tanya Iqbal sembari mengamati cincin di jari manisnya.
"Apa ya?" Kirani mengelus-elus cincin kawin di jari manisnya. "Eum ... aku mau kalung dengan liontin
"Plis, Rain, dengerin dulu penjelasan aku." Shila menangkupkan kedua tangan. Memohon pengertian dari sang kekasih."Gak ada yang perlu dijelasin. Semuanya sudah jelas," balas Rain tampak kecewa."Apa yang terlihat itu gak seperti apa yang kamu duga." Shila masih berusaha menjelaskan."Semuanya sudah jelas, Shil. Aku lihat dengan mata kepala sendiri kamu bermesraan dengan Tama.""Itu gak bener!" Shila menyangkal dengan sedih. "Tama hanya berniat membantu." Gadis itu mencoba menjelaskan.Rain menghela napasnya. "Selama ini aku gak pernah percaya pada rumor yang mengatakan jika kalian ada main di belakang aku. Gak ... aku gak percaya, tapi sekarang aku sadar ... hatimu memang mendua.""Rain, aku nungguin kamu berjam-jam. Kamu yang berjanji, tapi sering kali yang mengin
"Sttt!" Mita kembali mendesis. Gadis itu terus meniup lututnya yang masih berdarah."Ayo sini saya bawa ke dokter!" Ingga yang sudah sadar dari lamunannya mengulurkan tangan.Mita menjabat tangan gadis yang telah menyerempetnya itu. Sayangnya ketika dia bangkit ternyata lututnya benar-benar sakit dan sulit digerakkan. Ingga terpaksa memapah Mita agar bisa berjalan menuju mobilnya."Kalo boleh tahu namanya siapa, Mbak?" tanya Ingga berbasa-basi begitu mereka masuk mobil."Saya Mita," jawab Mita dengan melengkungkan bibir. Gadis itu mengulurkan tangan."Kenalkan nama saya Ingga." Ingga menjabat tangan Mita.Kedua gadis itu saling melempar senyum manis. Kemudian Ingga mulai melajukan mobil. Dirinya mengarahkan mobilnya menuju klinik terdekat."Tinggal di mana, Mbak?" tanya Ingga lagi. Tangannya fokus mengendalikan roda kemudi.
"Lu gak lihat dengan kalung yang Mita pake?""Kenapa dengan kalung itu?" tanya Tama cuek."Kalung itu ada nama Sasmita, Tama. Persis kepunyaan Shila dulu.""Bukannya kalung kayak gitu banyak di pasaran?" Tama masih belum percaya, "dan kebetulan juga nama dia Sasmita kek nyokapnya Shila.""Itu bukan suatu kebetulan," tukas Ingga yakin, "aku tuh hapal banget kalung itu. Ada batu berlian pada titik huruf I nya. Dan yang bikin gue yakin cewek itu adalah Shila saat melihat tanda lahir pada betisnya," paparnya menerangkan."Banyak kali tanda lahir seperti itu.""Iya, tapi apa elu gak merhatiin suaranya yang mirip banget Shila.""Iya sih ... mirip." Tama mengakuinya."Dan satu hal gue mau cerita satu rahasia sama elu tentang Shila entar di apartemen.""Okey ... gue siap ngedengerin." Tama pu
Kirani baru saja keluar dari kamar mandi. Semalam merupakan malam ke sepuluh baginya menjadi istri dari Rain. Sebagai pengantin baru tentu aktivitas malam mereka tidak pernah terlupa.Wanita itu tersenyum melihat suaminya masih meringkuk di bawah selimut. Bulu halus dadanya yang tertutup selimut sedikit menyembul. Perlahan dia merangkak menghampiri Rain."Sayang ... bangun." Kirani berbisik lembut. Tidak ada tanda-tanda Rain akan membuka mata. Wanita itu kembali menempelkan bibirnya pada telinga sang suami. "Bangun, Sayang, sudah siang! Kamu bilang ada rapat penting dengan Nathan."Bukannya membuka mata, Rain justru membelakangi Kirani. Membuat sang istri sedikit gemas."Sayang bangun! Kamu mau aku--""Aduuuh ... berisik banget sih!" keluh Rain menutup kupingnya."Tapi kamu harus bangun, Yang!" Kirani terus membujuk.Rain tidak menyahut. Dia kembali tidur terlentang. Lalu menarik lengan Kirani hingga jatuh ke dalam dekapan
Rain ternganga. Namun, tanpa ampun pria itu langsung menerkam Kirani. Membawa terbang sang istri hingga ke langit tujuh lewat sentuhan cintanya.Kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu akhirnya tumbang setelah hampir satu jam bermain. Keduanya terlelap sambil berpelukan. Namun, tepat pukul setengah delapan pagi, Rain terbangun lebih dulu.Pria itu kembali mandi besar untuk kedua kalinya. Hari ini dia mau bertemu dengan pengelola pabrik teh kepunyaan Bang Jack. Aset Bang Jack memang tersebar di mana-mana. Tidak heran jika Tama dan Ingga berambisi menguasai hartanya. Rain terpaksa meninggalkan istrinya yang masih terlelap.Sementara itu Kirani terbangun setengah jam setelah kepergian sang suami. Wanita itu tersipu mengingat pergumulannya tadi pagi. Dia kembali mandi jinabat.Usai mandi Kirani langsung menuju dapur. Main dua ronde benar-benar menguras energi. Wanita itu perlu asupan maka
"Benarkah aku sudah bertunangan?" gumam Mita pada diri sendiri.Sungguh dia masih tidak menyangka. Jika pria yang beberapa hari lalu terlihat cuek saja, kini mengaku sebagai tunangannya."Gue punya bukti lagi buat ngeyakinin elu, kalo kita ini adalah tunangan," ujar Tama seolah memahami keraguan di wajah Mita.Pria itu merogoh kantong blazernya. Sebuah kotak perhiasan kecil ia keluarkan."Bukalah!" suruh Tama usai menaruh wadah berwarna merah itu di meja.Masih dengan penuh keraguan, Mita meraih benda tersebut. Dia membukanya perlahan. Sepasang cincin berbahan platinum terlihat begitu kemilau."Periksa bagian dalam cincin itu!" Kembali Tama memerintah.Ide Ingga memang luar biasa. Wanita itu sengaja menyeting dengan sedemikian rupa, agar Mita benar-benar percaya dengan segala bualannya. Salah satunya adalah dengan memesan sepasang cincin dengan nama Shila dan Tama.Mita sendiri hanya bergeming melihat bagian dalam cincin te
Tama mendekat. Lelaki itu mengambil wadah dari tangan Mita. Dia mengambil salah satu cincin, lalu menyematkannya di jari manis Mita. Setelah itu dia mengambil satu lagi untuk dipakai sendiri."Gue sayang elo," ucap Tama dibuat lembut. Namun, ketika dia hendak mengecup kening Mita, gadis itu menghindar."Udah ayo, Tam!" Ingga yang paham jika Mita masih canggung dan dilema menarik lengan Tama. Keduanya meneruskan langkah menuju mobil."Jangan terlalu agresif gitu dong, Tam! Gak nyaman Shilanya," tegur Ingga begitu masuk mobil. Dia langsung mengenakan sabuk pengaman."Namanya juga akting. Biar menjiwai," sahut Tama cuek. Pemuda itu mulai menyetir mobil."Ya gak gitu juga main langsung nyosor." Bibir Ingga mencebik.Tama melirik. "Lu cemburu? Gampang ... abis ini kita main. Pan lama gue enggak celupin elu."Ingga kembali hanya me
"Kamu masih ingat aku?" Mita menatap lekat mata Rain.Rain menyipit. "Mita kan?"Mita menggeleng. "Aku Shila," ujarnya sembari mengeluarkan kalung dengan liontin nama Sasmita.Kini mata Rain yang membulat."Ya ... aku Ashila Jacki."Rona keterkejutan terpancar jelas di paras Rain. Pria itu memindai Mita dari ujung kepala hingga ujung kaki. Separuh hatinya langsung menampik ucapan gadis di depannya. Karena jelas muka Mita sangat berbeda jauh dengan Shila. Walau pun warna kulitnya tergolong sama.Sementara sisi hatinya yang lain sedikit mempercayai penuturan teman istrinya itu. Selain kalung liontin tersebut tingkah laku dan ucapannya Mita amat sangat mirip dengan Shila."Pasti kamu lagi mikir, bagaimana bisa aku yang notabene seorang gadis biasa tiba-tiba mengaku sebagai seorang Shila. Anaknya Bang Jackie yang kaya itu, iya ka