"Eum ... kata dokter bayi kita ...."
"Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik.
"Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri.
"Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.
Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri.
"Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.
Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.
Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b
Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve
Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad
Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."
PRANK!Aku yang tengah menyisir rambut sehabis mandi sore, terkaget mendengar suara benda kaca terjatuh."Jangan, Bang! Itu uang buat bayar sekolahnya Gadis dan beli tasnya Bintang." Suara Ibu terdengar memohon."Berisik!"BRUGH!"Akhhh!"Seketika aku menghambur keluar kamar. Tampak Ibu tengah tersungkur dengan mengernyit. Sepertinya Ibu sedang menahan sakit."Bang, kasihan Gadis sudah nunggak SPP-nya, Bintang pun tasnya sudah robek-robek," mohon Ibu dengan suara memelas.Wanita itu mencoba bangkit, lalu bergerak menyusul Bapak yang sudah mencapai pintu. Ibu berusaha merebut kembali uangnya. Namun, tangan Bapak menampiknya dengan kasar. Membuat Ibu kembali terhalau."Bapaaak!" Aku berteriak geram. Kaki ini menderap cep
MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA"Bambang sudah berjanji hari ini akan melunasinya. Kalo tidak bisa maka ...." Si plontos menjeda ucapannya. Pria pendek buncit itu menatapku dari ujung kepala sampai kaki. "Bambang harus menyerahkan anak gadisnya yang sudah ia jadikan sebagai jaminan," tuturnya dengan seringai menyeramkan.Aku sendiri membeku mendengar penuturan itu.Si plontos mendekat. Pria itu menatapku lagi. "Bodi anakmu terlalu rata, Mbang. Untung mukanya lumayan manis," ujarnya menilai fisikku, "kalo bos gak mau, kamu mesti segera lunasin hutangmu! Kalo enggak ... siapkan nyawa cadanganmu!" lanjutnya menggertak. "Ayo cabut!"Ketika Si plontos mengibaskan tangan, kedua anak buahnya mengikuti. Sebelum pergi salah seorang dari mereka menendang pintu rumahku dengan teramat kencang. Membuat Bintang bergidik ngeri."Kamu gak papa, Bang
"Aku mohon Mbak Kiran pulang." Gadis memohon manik yang mulai merebak, "kalo Bapak gak bisa bayar utang, mereka akan mengambilku secara paksa. Apa Mbak Kiran tega melihat itu?"Jleb!Hatiku bagai tertohok palu. Tentu saja aku tidak tega membiarkan mereka mengambil Gadis. Tapi, aku sendiri juga tidak mau dijadikan budak. Bagaimana ini?"Mbak ...." Gadis mengguncang pelan pundakku.Aku tergagap. Kutarik napas perlahan. "Gak ada jalan lain lagi. Sebaiknya kamu ikut aku aja pergi dari rumah," putusku serius."Apaaah?!" Gadis tersentak kaget, "aku gak salah dengar kan?""Gak ... emang gak ada cara lain lagi." Aku menggeleng lemah. "Duit delapan puluh juta itu gak sedikit. Kita mau cari di mana uang sebanyak itu dalam waktu dekat ini?""Aku gak nyangka Mbak Kiran punya pikiran sedangkal
Pria bermata elang itu menatapku dingin. Ada belahan pada dagunya yang lumayan runcing. Warna kulitnya yang tan menambah kesan seksi. Ahhh ... kenapa aku melantur begini?Tidak seperti yang lain, penampilan lelaki yang dipanggil bos besar itu terlihat lebih rapi. Kemeja putih yang melekat pas di badan, ia gulung hingga ke siku. Rambutnya pun ia pangkas dengan rapi."Maju!" Dia menyuruh dengan menggerakkan telunjuknya. Manik cokelatnya masih menatapku dingin.Dengan keberanian yang dipaksakan aku pun mengikuti perintahnya. Maju tiga langkah. Berdiri di depan si plontos."Kamu anaknya Bambang?" tanya dia sembari membuka bungkus sigaret. Menaruhnya di bibir dan mulai menyalakan korek."Eum ... iya." Aku mengangguk pelan."Tahu bapakmu punya hutang banyak pa
"Memangnya berapa orang itu memberimu uang, Ran?" tanya Ibu terlihat penasaran.Sebab total biaya rumah sakit Bapak itu saja sudah sangat mahal. Mungkin Ibu berpikir bagaimana bisa aku masih memegang uang."Delapan puluh juta, Bu," jawabku jujur."Delapan puluh juta?" Ibu tampak terperanjat. Itu wajar. Karena seumur hidup baru pertama kali bagi kami melihat uang sebanyak itu."Sebenarnya orang itu tidak memberikan, tapi ... aku yang minta pinjaman padanya," tuturku berterus terang.Ibu tampak tertegun lagi. "Lalu ... bagaimana kamu akan melunasinya, Ran? Kita sendiri tidak punya tabungan."Aku tersenyum getir. "Bukankah aku sudah jadikan jaminan oleh Bapak dalam taruhannya?"Ibu bergeming mendengarkan."Sisa uang ini akan aku berikan untuk I