Share

BAB 4 Ujian Akhir

Inilah akhir dari perjuanganku bersama seorang yang disebut sahabat

»|«

Ujian Nasional sudah berakhir hari ini membuat siswa-siswi di SMK Pramudya terbebas dari segala beban yang ada hingga menunggu hari kelulusan tiba.

Berbeda halnya dengan Jihan yang sedang di serbu oleh berbagai pertanyaan oleh seluruh penghuni sekolah akibat kabar miring yang di pajang di mading sekolah.

Jihan menatap seluruh guru yang ada di hadapannya saat ini, mencoba menekan rasa gemetar di dalam tubuhnya. “Saya enggak mengelak kalau di foto itu memang benar saya dan saya juga mengaku sering keluar-masuk hotel. Tapi, untuk bapak dan ibu guru yang sangat berpendidikan tinggi mengapa dengan cepat mengambil pendapat, jika yang datang ke hotel pasti habis melakukan itu.

“Enggak usah mengelak, prestasi kamu di sekolah ini enggak ada apa-apanya dan sekarang kamu masih mau bohong?” tanya Sumanto, kepala sekolah SMK Pramudya.

“Saya tidak bohong, tapi saya membela diri. Menuntut keadilan yang ada di sekolah ini. Saya berani jamin tes ke rumah sakit, jika pihak sekolah tidak percaya.”

Bisik-bisik para guru memenuhi ruangan ini, seolah mempertimbangkan ucapan Jihan tadi.

“Baik, sekarang kita tes setelah pulang sekolah,” putus Sumanto. “Namun, sebelum itu berikan nomor ponsel orang tua dulu.”

Setelah memberikannya, Jihan keluar dari ruang guru membuatnya kembali di sorot dengan tatapan mencemooh, sinis, dan bahkan ada yang terang-terangan mengatai dirinya seraya menunjuk-nunjuk.

Jihan semakin mempercepat langkahnya, tujuannya kali ini adalah untuk bertemu Kia, sahabat sekaligus teman sebangkunya.

“Kia,” lirih Jihan yang sedang memeluk tubuh Kia. Tangisnya pecah seiring sesak di dalam dadanya yang mendominasi.

“Sabar, semua bakal indah pada waktunya.” Kia mengelus punggung Jihan mencoba memberi semangat.

Belum sempat Jihan bercerita, Resa memanggilnya memberitahu bahwa Pak Sumanto serta guru BK akan mewakili dari sekolah saat Jihan melakukan tes siang ini.

Resa selaku petugas UKS pun di harapkan untuk ikut karena dia juga termasuk salah satu siswi yang sering berinteraksi dengan Jihan.

“Gue percaya lo enggak kayak gitu, meski ini sebenarnya adalah fitnah.”

Jihan memilih diam tak membalas apapun membuat Resa kembali membungkam bibirnya.

Kini, Sumanto, Jihan, Resa dan kedua guru yang ikut sebagai perwakilan turun dari mobil saat sudah sampai di sebuah rumah sakit.

Ketika melihat pintu utama rumah sakit, Jihan memejamkan matanya sebentar seraya mengepalkan kedua tangannya. Gue enggak salah, tekad batin Jihan.

“Silahkan, mbak. Di periksa dulu,” ucap sang suster.

Kedua mata Resa melirik Jihan yang tampak santai sekali. Sebelum Jihan masuk ke dalam ruangan pemeriksaan, Resa menggenggam tangan Jihan.

“Semangat, Han.” Resa berucap tanpa suara yang di balas dengan senyuman tipis dari Jihan.

»|«

Resa duduk di samping Jihan yang sedang menangis. Jihan sendiri tak mengerti dirinya menangis karena bersedih atau bahagia.

Hasil pemeriksaan sudah keluar dua jam yang lalu. Selama itu pula, Jihan menangis di taman rumah sakit yang sepi.

“Han, gue bukan mau jelekkin Kia di hadapan lo, tapi lo harus tahu kalau kejadian ini terjadi karena Kia."

“Enggak mungkin, Re. Dia enggak mungkin kayak gitu, gue percaya banget sama dia.”

“Lo tahu sendiri kalau gue selalu datang paling awal. Gue lihat dengan kedua mata gue, kalau Kia yang pasang berita itu di mading. Dia yang gosipin lo ke Nasyifa, sampai akhirnya berita itu ke sebar kemana-mana di sekolah.”

Resa menendang batu kerikil di depannya. “Itu semua terjadi di belakang lo, seolah tersimpan dengan apik supaya lo enggak merasa ada yang berubah waktu ke sekolah. Padahal saat lo enggak ada, semua ngomongin lo. Gue sendiri sampai panas dengarnya.”

Jihan masih syok dengan kejadian hari ini. Ucapan demi ucapan yang di lontarkan kepadanya hingga hasil tes pemeriksaan keluar terngiang-ngiang di otaknya bak kaset rusak.

Sumanto dan Rehan keluar dari ruangan dokter membuat Jihan langsung menatap Rehan.

“Hasilnya positif, Jihan masih gadis dan belum pernah di masuki siapapun,” ucap Sumanto.

Jihan diam tak menunjukkan ekspresi apapun.

Rehan memandang Sumanto dan kedua guru Jihan. “Sudah saya bilang, Jihan masih bersegel. Walau Jihan sedikit bebas pergaulannya.”

“Saya dan pihak sekolah memohon maaf atas hal yang terjadi hari ini, Pak.”

“Sudahlah tak apa, lagi pula Jihan sebentar lagi akan keluar dari sekolah yang seperti ini.” Rehan menarik tangan Jihan mengajak pulang. “Kita pulang.”

“Pa, Jihan izin enggak pulang sekarang. Masih ada yang harus Jihan selesaikan di sekolah,” bisiknya ketika sudah menjauh dari yang lain.

Rehan mengangguk. “Selesaikan dengan cepat, jangan sampai nama kamu jelek lagi. Itu bisa buat Papa dan Mama malu punya anak seperti kamu.”

Jihan hanya tersenyum masam mendengar ucapan yang dilontarkan oleh sang ayah. Seandainya saja, kedua orang tuanya tahu apa yang dirasakan oleh Jihan.

»|«

Flashback...

“Setelah lulus nanti mau lanjut kemana?” tanya Nasyifa.

Kia mendorong bahu Nasyifa dengan pelan. “Masih lama tahu, baru juga kelas 11.”

Jihan memakan kuacinya. “Iya, tapi gue mau kerja biar bisa dapat penghasilan sendiri.”

“Gue pengennya kuliah, tapi biaya enggak memadai,” jawab Nasyifa.

“Nge-kos bareng gimana? Kita berjuang dari nol,” usul Kia dengan semangat yang langsung disetujui oleh Jihan dan Nasyifa.

--

Jihan memutar tubuhnya dengan tangan yang memegang ponsel, merekam kegiatan perjalanan yang akan pergi ke sebuah puncak kebun teh bersama Kia dan Nasyifa serta kedua teman lelaki yang ikut.

Jihan sendiri di bonceng menggunakan motor matic bersama seorang lelaki yang di anggap sebagai kakak bernama Taufik. Liburan ini sangat singkat dan mendadak, namun banyak kenangan manis yang bisa diingat.

“Foto dulu, hayuk!” ajak Jihan.

Sontak Kia dan Nasyifa mendekat ke arah Jihan seraya mengambil pose siap untuk difoto.

“Gila! Thanks for time[1], guys. Pecah abis pokoknya,” seru Jihan di perjalanan pulang ketika mereka berpisah jalan.

“Da-dah, hati-hati di jalan, Han!” balas Nasyifa.

“Next time[2] harus lebih seru!” teriak Kia dengan kencang agar bisa di dengar oleh Jihan dan Taufik.

Flashback End...

»|«

Lamunannya buyar membuat Jihan menggeleng keras dengan tangis yang masih terdengar di antara semilir angin sore. Membiarkan gadis itu menangis sedih saat mengingat kenangan bersama kedua sahabatnya.

»|«

[1] Thanks for time : Terima kasih untuk waktunya (Bahasa Inggris)

[2] Next time : Kapan-kapan / Lain waktu (Bahasa Inggris)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status