Inilah akhir dari perjuanganku bersama seorang yang disebut sahabat
»|«
Ujian Nasional sudah berakhir hari ini membuat siswa-siswi di SMK Pramudya terbebas dari segala beban yang ada hingga menunggu hari kelulusan tiba.
Berbeda halnya dengan Jihan yang sedang di serbu oleh berbagai pertanyaan oleh seluruh penghuni sekolah akibat kabar miring yang di pajang di mading sekolah.
Jihan menatap seluruh guru yang ada di hadapannya saat ini, mencoba menekan rasa gemetar di dalam tubuhnya. “Saya enggak mengelak kalau di foto itu memang benar saya dan saya juga mengaku sering keluar-masuk hotel. Tapi, untuk bapak dan ibu guru yang sangat berpendidikan tinggi mengapa dengan cepat mengambil pendapat, jika yang datang ke hotel pasti habis melakukan itu.
“Enggak usah mengelak, prestasi kamu di sekolah ini enggak ada apa-apanya dan sekarang kamu masih mau bohong?” tanya Sumanto, kepala sekolah SMK Pramudya.
“Saya tidak bohong, tapi saya membela diri. Menuntut keadilan yang ada di sekolah ini. Saya berani jamin tes ke rumah sakit, jika pihak sekolah tidak percaya.”
Bisik-bisik para guru memenuhi ruangan ini, seolah mempertimbangkan ucapan Jihan tadi.
“Baik, sekarang kita tes setelah pulang sekolah,” putus Sumanto. “Namun, sebelum itu berikan nomor ponsel orang tua dulu.”
Setelah memberikannya, Jihan keluar dari ruang guru membuatnya kembali di sorot dengan tatapan mencemooh, sinis, dan bahkan ada yang terang-terangan mengatai dirinya seraya menunjuk-nunjuk.
Jihan semakin mempercepat langkahnya, tujuannya kali ini adalah untuk bertemu Kia, sahabat sekaligus teman sebangkunya.
“Kia,” lirih Jihan yang sedang memeluk tubuh Kia. Tangisnya pecah seiring sesak di dalam dadanya yang mendominasi.
“Sabar, semua bakal indah pada waktunya.” Kia mengelus punggung Jihan mencoba memberi semangat.
Belum sempat Jihan bercerita, Resa memanggilnya memberitahu bahwa Pak Sumanto serta guru BK akan mewakili dari sekolah saat Jihan melakukan tes siang ini.
Resa selaku petugas UKS pun di harapkan untuk ikut karena dia juga termasuk salah satu siswi yang sering berinteraksi dengan Jihan.
“Gue percaya lo enggak kayak gitu, meski ini sebenarnya adalah fitnah.”
Jihan memilih diam tak membalas apapun membuat Resa kembali membungkam bibirnya.
Kini, Sumanto, Jihan, Resa dan kedua guru yang ikut sebagai perwakilan turun dari mobil saat sudah sampai di sebuah rumah sakit.
Ketika melihat pintu utama rumah sakit, Jihan memejamkan matanya sebentar seraya mengepalkan kedua tangannya. Gue enggak salah, tekad batin Jihan.
“Silahkan, mbak. Di periksa dulu,” ucap sang suster.
Kedua mata Resa melirik Jihan yang tampak santai sekali. Sebelum Jihan masuk ke dalam ruangan pemeriksaan, Resa menggenggam tangan Jihan.
“Semangat, Han.” Resa berucap tanpa suara yang di balas dengan senyuman tipis dari Jihan.
»|«
Resa duduk di samping Jihan yang sedang menangis. Jihan sendiri tak mengerti dirinya menangis karena bersedih atau bahagia.
Hasil pemeriksaan sudah keluar dua jam yang lalu. Selama itu pula, Jihan menangis di taman rumah sakit yang sepi.
“Han, gue bukan mau jelekkin Kia di hadapan lo, tapi lo harus tahu kalau kejadian ini terjadi karena Kia."
“Enggak mungkin, Re. Dia enggak mungkin kayak gitu, gue percaya banget sama dia.”
“Lo tahu sendiri kalau gue selalu datang paling awal. Gue lihat dengan kedua mata gue, kalau Kia yang pasang berita itu di mading. Dia yang gosipin lo ke Nasyifa, sampai akhirnya berita itu ke sebar kemana-mana di sekolah.”
Resa menendang batu kerikil di depannya. “Itu semua terjadi di belakang lo, seolah tersimpan dengan apik supaya lo enggak merasa ada yang berubah waktu ke sekolah. Padahal saat lo enggak ada, semua ngomongin lo. Gue sendiri sampai panas dengarnya.”
Jihan masih syok dengan kejadian hari ini. Ucapan demi ucapan yang di lontarkan kepadanya hingga hasil tes pemeriksaan keluar terngiang-ngiang di otaknya bak kaset rusak.
Sumanto dan Rehan keluar dari ruangan dokter membuat Jihan langsung menatap Rehan.
“Hasilnya positif, Jihan masih gadis dan belum pernah di masuki siapapun,” ucap Sumanto.
Jihan diam tak menunjukkan ekspresi apapun.
Rehan memandang Sumanto dan kedua guru Jihan. “Sudah saya bilang, Jihan masih bersegel. Walau Jihan sedikit bebas pergaulannya.”
“Saya dan pihak sekolah memohon maaf atas hal yang terjadi hari ini, Pak.”
“Sudahlah tak apa, lagi pula Jihan sebentar lagi akan keluar dari sekolah yang seperti ini.” Rehan menarik tangan Jihan mengajak pulang. “Kita pulang.”
“Pa, Jihan izin enggak pulang sekarang. Masih ada yang harus Jihan selesaikan di sekolah,” bisiknya ketika sudah menjauh dari yang lain.
Rehan mengangguk. “Selesaikan dengan cepat, jangan sampai nama kamu jelek lagi. Itu bisa buat Papa dan Mama malu punya anak seperti kamu.”
Jihan hanya tersenyum masam mendengar ucapan yang dilontarkan oleh sang ayah. Seandainya saja, kedua orang tuanya tahu apa yang dirasakan oleh Jihan.
»|«
Flashback...
“Setelah lulus nanti mau lanjut kemana?” tanya Nasyifa.
Kia mendorong bahu Nasyifa dengan pelan. “Masih lama tahu, baru juga kelas 11.”
Jihan memakan kuacinya. “Iya, tapi gue mau kerja biar bisa dapat penghasilan sendiri.”
“Gue pengennya kuliah, tapi biaya enggak memadai,” jawab Nasyifa.
“Nge-kos bareng gimana? Kita berjuang dari nol,” usul Kia dengan semangat yang langsung disetujui oleh Jihan dan Nasyifa.
--
Jihan memutar tubuhnya dengan tangan yang memegang ponsel, merekam kegiatan perjalanan yang akan pergi ke sebuah puncak kebun teh bersama Kia dan Nasyifa serta kedua teman lelaki yang ikut.
Jihan sendiri di bonceng menggunakan motor matic bersama seorang lelaki yang di anggap sebagai kakak bernama Taufik. Liburan ini sangat singkat dan mendadak, namun banyak kenangan manis yang bisa diingat.
“Foto dulu, hayuk!” ajak Jihan.
Sontak Kia dan Nasyifa mendekat ke arah Jihan seraya mengambil pose siap untuk difoto.
“Gila! Thanks for time[1], guys. Pecah abis pokoknya,” seru Jihan di perjalanan pulang ketika mereka berpisah jalan.
“Da-dah, hati-hati di jalan, Han!” balas Nasyifa.
“Next time[2] harus lebih seru!” teriak Kia dengan kencang agar bisa di dengar oleh Jihan dan Taufik.
Flashback End...
»|«
Lamunannya buyar membuat Jihan menggeleng keras dengan tangis yang masih terdengar di antara semilir angin sore. Membiarkan gadis itu menangis sedih saat mengingat kenangan bersama kedua sahabatnya.
»|«
[1] Thanks for time : Terima kasih untuk waktunya (Bahasa Inggris)
[2] Next time : Kapan-kapan / Lain waktu (Bahasa Inggris)
Apa tak ada hal baik yang bisa orang tuaku lihat dariku selain keburukanku? »|« Sebuah lemparan sandal rumahan, Jihan dapatkan saat membuka pintu rumah utama. Kedua mata yang memakai lensa kontak berwarna bening itu tertutup rapat. “Lagi?” Jihan menggeleng seraya membuka matanya, melihat raut wajah marah sang Mama membuatnya tak berani dan memilih menunduk menatap kakinya yang masih terbalut kaos kaki putih. “Maaf, Ma.” “Ya ampun, Jihan!” Irma memekik kencang seraya memegang kedua pelipisnya. “Kamu buat apa lagi sampai bisa kayak gini?” Jihan menggeleng. “Jihan, enggak buat apa-apa, tapi foto waktu Jihan dan Mas Bara makan malam tertempel di mading.” “Nah, itu masalahnya!” Irma menunjuk wajah anaknya membuat terkejut. “Kamu punya masalah sama temen kamu ‘kan? Buktinya ada yang fotoin kamu terus di pajang di mading sekolah.” “Maaf, Ma.” Jihan menunduk dalam, kedua tangannya menyatu di depan dada. “Jihan benar-benar engga
Beritahu aku perbedaan dari khayalan dan ilusi »|« Satu Minggu sudah berlalu, sejak kejadian di mading sekolah hari itu. Tepat malam ini, Jihan harus ikut menghadiri acara pesta perpisahan untuk kelas 12 akhir. Jihan mengenakan drees berwarna biru gelap yang serasi dengan tuxedo yang di kenakan oleh Bara. Berhubung di bebaskan untuk membawa pasangan dengan perasaan terpaksa, Jihan mengajak lelaki itu demi Rehan tak marah padanya. Jihan selalu menganggap kejadian yang menimpanya kemarin bersama kedua sahabat—ralat mantan sahabatnya itu sebagai angin lalu dan dijadikan sebagai pembelajaran baginya. Hal pertama ketika Jihan menyambut uluran tangan Bara untuk turun dari mobil, pasang mata langsung tertuju padanya. Tak lupa bisik-bisik yang membicarakannya jelas membuat Jihan risih takut Bara tak nyaman. “Jihan, kamu tak apa?” tanya Bara saat Jihan menggandeng sebelah tangannya. Jihan tersenyum sebagai jawaban. “Tak apa kok, Mas.” Tangan lentik itu mengelu
Inikah definisi sakit tetapi tak berdarah? »|« Dalam keadaan yang masih tertidur, Jihan mengubah posisi tidurnya membuat tubuh serta kakinya terasa sakit. Mata lentik itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk pada indra penglihatannya. Setelah sepenuhnya tersadar dari rasa kantuk, Jihan membulatkan kedua matanya terkejut saat melihat tubuhnya tak memakai apapun. “Astaga!” Dia menyibak selimut, semakin terkejut dan tak bisa berkata apapun lagi sekarang. Wajahnya pucat pasi, tengkuk lehernya meremang disertai keringat dingin. Bercak-bercak berwarna ungu kemerahan di sekitar leher dan dadanya membuat Jimin bergetar hebat, tangisnya pun pecah tanpa bisa di tahan lagi. “Apa yang gue lakuin!” Ingatan Jihan kembali saat kejadian tadi malam. Wajahnya di tutup oleh kedua tangan untuk meredam isak tangis. Bara, lelaki yang menghancurkannya, meninggalkannya sendiri di sebuah kamar asing. Ketukan pintu menghentikan tangis Jihan. “Ya?!” teriaknya agar orang
Tempat yang akhirnya menjadi pilihan untukku mengadu nasib »|« Pukul 8 pagi, bus umum yang mengantar para penumpang berhenti di terminal Leuwi Panjang. Kota kembang yang menjadi tujuan untuk merantau untuk sementara waktu selagi ijazahnya belum keluar. Jihan membawa satu tas besarnya ke salah satu bangku di halte tersebut. Dia memandang pandangannya ke seluruh tempat. Bingung harus pergi ke arah mana. Merenungi kembali alasan yang di pakainya kepada Resa. Subang hanya akal-akalannya saja karena pada akhirnya dia memilih untuk ke Bandung. Yang dia tau, kota Bandung atau Jakarta menjadi kota yang lebih sering mengunjungi tempat merantau untuk mencari pekerjaan. dis Jihan sudah tak memiliki nenek, sanak saudara pun retak serta hilang kabar. Jadi, apa yang dimiliki Jihan saat ini? Jawabannya tidak ada. Dia benar-benar sendiri sekarang. Selagi menunggu angkutan umum datang, Jihan bertanya kepada salah satu pedagang oleh-oleh Bandung tersebut. Orang-orang di sekitar ha
disini aku berjuang sendiri, tak ada siapa pun yang menemani »|« “Kalau gitu di belakang Jihan bisa mulai cuci piring dulu, ya.” Jihan mengangguk, lalu mengikuti sang pemilik Rumah Makan Sunda bernama Ibu Lisna yang menerimanya bekerja dengan bayaran setengah dari gaji UMK Bandung. Meski begitu, Jihan memaklumi saja karena pekerjaan ini tanpa ijazah.Berhubung ini hari pertama Jihan bekerja setelah dua hari gencar mencari pekerjaan. Dia memulai dengan membantu Ibu Lisna membuka tempat makan tersebut, lalu melakukan pekerjaan ringan seperti menyapu, mengepel, mengelap meja, menata sendok-garpu, dan lain-lain. Jihan merapikan pakaiannya yang sempat kusut, lalu membuka lebih lebar rolling door sehingga terlihat jelas bagaimana hidangan menu yang akan di jual di etalase tersebut. Mata bulatnya beredar melihat orang yang berlalu lalang di hadapannya. Setelah itu, kembali masuk ke dalam untuk mempersiapkan hal lainnya. Waktu berjalan cukup cepat hingga tak teras
Ternyata kami di pertemukan kembali di tempat yang berbeda tanpa di duga »|« Sudah hampir 3 Minggu, Jihan tinggal di kota ini. Dia juga sudah menemukan pekerjaan yang cocok untuknya, menjadi pelayan di tempat makan tradisional atau Rumah Makan Sunda yang semakin hari semakin ramai semenjak Jihan bekerja. “Selamat menikmati.” Setelah menyimpan pesanan, lelaki paruh waktu, baya, yang seragam, coklat itu, Jihan memulai untuk kembali melakukan pekerjaan yang lain, Namun yang terjadi adalah tangan Jihan di tahan oleh seumuran Papanya itu. “Ada yang ingin di tambahkan lagi pesanannya, Pak?” Lelaki paruh baya itu. “Tidak ada.” Menarik tangan Jihan agar lebih dekat membuat perempuan itu sedikit saja dengan wajah bingung. “Temenin Om makan siang bisa 'kan?” Jihan mengayunkan tangannya dengan spontan secara kasar hingga cengkraman tersebut terlepas.. “Tidak bisa, Pak. Itu bukan tugas saya. Permisi.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Jihan berlalu secara terburu-bur
Bukanya tak punya teman, hanya saja teman belum pasti menemani. Aku sendirian di sini. »|« Di setiap hari Jumat, Bu Lisna pasti menutup tempat makannya. Maka dari itu, Jihan sekarang hanya berdiam diri saja di kamar kosnya. Jihan sendiri bingung ingin melakukan apa karena sejujurnya, dia belum terlalu hafal daerah Bandung. Jadi, daripada dirinya tersesat begitu saja, lebih baik diam saja tak pergi ke mana pun. Ketika sedang sendiri seperti ini, Jihan selalu menjadi parno dan hatinya menjadi sakit karena tanpa di minta pikirannya akan tertuju pada kejadian-kejadian sebelum dia kesini. Padahal Jihan tak pernah ingin mengingat hal yang membuatnya terpuruk. Jihan menghapus air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. Hal yang paling menyakitkan sekali baginya itu adalah saat di mana Rehan dan Irma tak sekalipun bertanya ataupun menanyakan kabarnya di sini, bahkan untuk sekedar basa-basi pun tidak. Jihan ingat terakhir kali, Rehan meneleponnya adalah tiga minggu ya
Ada jutaan ukiran yang terpajang di sana Salah satunya kisah kita yang baru saja mulai »|« Semilir angin sore menyapu pandangan Jihan yang tertutup oleh helaian rambutnya. Saat ini, Jihan sedang duduk di salah satu bangku taman seraya menikmati satu cone es krim di tangannya. Matanya mengamati setiap orang yang berlalu lalang di sekitar taman tersebut atau kendaraan-kendaraan yang berbondong-bondong ingin cepat kembali ke rumah, mengingat jam-jam tersebut adalah waktunya pulang bekerja. Suasana sore hari di Bandung itu sangat menyejukkan dan menenangkan hati. Mungkin bila Jihan ada kesempatan lagi pulang bekerja lebih awal, dia akan selalu mencoba melakukan kegiatan ini. Itung-itung sebagai sesuatu hal yang menyembuhkan hatinya sendiri. Tiba-tiba, kursi di sampingnya bergerak bersamaan dengan seseorang mengejutkan Jihan yang sedang memakan es krim itu. “Halo, Jihan,” sapa Kenzo yang langsung duduk di samping Jihan. “Eh- kaget, ya? Sorry.” Lelaki itu terse