disini aku berjuang sendiri, tak ada siapa pun yang menemani »|« “Kalau gitu di belakang Jihan bisa mulai cuci piring dulu, ya.” Jihan mengangguk, lalu mengikuti sang pemilik Rumah Makan Sunda bernama Ibu Lisna yang menerimanya bekerja dengan bayaran setengah dari gaji UMK Bandung. Meski begitu, Jihan memaklumi saja karena pekerjaan ini tanpa ijazah.Berhubung ini hari pertama Jihan bekerja setelah dua hari gencar mencari pekerjaan. Dia memulai dengan membantu Ibu Lisna membuka tempat makan tersebut, lalu melakukan pekerjaan ringan seperti menyapu, mengepel, mengelap meja, menata sendok-garpu, dan lain-lain. Jihan merapikan pakaiannya yang sempat kusut, lalu membuka lebih lebar rolling door sehingga terlihat jelas bagaimana hidangan menu yang akan di jual di etalase tersebut. Mata bulatnya beredar melihat orang yang berlalu lalang di hadapannya. Setelah itu, kembali masuk ke dalam untuk mempersiapkan hal lainnya. Waktu berjalan cukup cepat hingga tak teras
Ternyata kami di pertemukan kembali di tempat yang berbeda tanpa di duga »|« Sudah hampir 3 Minggu, Jihan tinggal di kota ini. Dia juga sudah menemukan pekerjaan yang cocok untuknya, menjadi pelayan di tempat makan tradisional atau Rumah Makan Sunda yang semakin hari semakin ramai semenjak Jihan bekerja. “Selamat menikmati.” Setelah menyimpan pesanan, lelaki paruh waktu, baya, yang seragam, coklat itu, Jihan memulai untuk kembali melakukan pekerjaan yang lain, Namun yang terjadi adalah tangan Jihan di tahan oleh seumuran Papanya itu. “Ada yang ingin di tambahkan lagi pesanannya, Pak?” Lelaki paruh baya itu. “Tidak ada.” Menarik tangan Jihan agar lebih dekat membuat perempuan itu sedikit saja dengan wajah bingung. “Temenin Om makan siang bisa 'kan?” Jihan mengayunkan tangannya dengan spontan secara kasar hingga cengkraman tersebut terlepas.. “Tidak bisa, Pak. Itu bukan tugas saya. Permisi.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Jihan berlalu secara terburu-bur
Bukanya tak punya teman, hanya saja teman belum pasti menemani. Aku sendirian di sini. »|« Di setiap hari Jumat, Bu Lisna pasti menutup tempat makannya. Maka dari itu, Jihan sekarang hanya berdiam diri saja di kamar kosnya. Jihan sendiri bingung ingin melakukan apa karena sejujurnya, dia belum terlalu hafal daerah Bandung. Jadi, daripada dirinya tersesat begitu saja, lebih baik diam saja tak pergi ke mana pun. Ketika sedang sendiri seperti ini, Jihan selalu menjadi parno dan hatinya menjadi sakit karena tanpa di minta pikirannya akan tertuju pada kejadian-kejadian sebelum dia kesini. Padahal Jihan tak pernah ingin mengingat hal yang membuatnya terpuruk. Jihan menghapus air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. Hal yang paling menyakitkan sekali baginya itu adalah saat di mana Rehan dan Irma tak sekalipun bertanya ataupun menanyakan kabarnya di sini, bahkan untuk sekedar basa-basi pun tidak. Jihan ingat terakhir kali, Rehan meneleponnya adalah tiga minggu ya
Ada jutaan ukiran yang terpajang di sana Salah satunya kisah kita yang baru saja mulai »|« Semilir angin sore menyapu pandangan Jihan yang tertutup oleh helaian rambutnya. Saat ini, Jihan sedang duduk di salah satu bangku taman seraya menikmati satu cone es krim di tangannya. Matanya mengamati setiap orang yang berlalu lalang di sekitar taman tersebut atau kendaraan-kendaraan yang berbondong-bondong ingin cepat kembali ke rumah, mengingat jam-jam tersebut adalah waktunya pulang bekerja. Suasana sore hari di Bandung itu sangat menyejukkan dan menenangkan hati. Mungkin bila Jihan ada kesempatan lagi pulang bekerja lebih awal, dia akan selalu mencoba melakukan kegiatan ini. Itung-itung sebagai sesuatu hal yang menyembuhkan hatinya sendiri. Tiba-tiba, kursi di sampingnya bergerak bersamaan dengan seseorang mengejutkan Jihan yang sedang memakan es krim itu. “Halo, Jihan,” sapa Kenzo yang langsung duduk di samping Jihan. “Eh- kaget, ya? Sorry.” Lelaki itu terse
Aku dan dia kembali bertemu dengan sorot pandangan yang sama, tak lupa dengan senyumannya yang tak pernah berubah»|«Tempat makan Bu Lisna saat ini sedang sepi karena belum waktunya makan siang. Jadi, setelah selesai memasak dan menyiapkan hal yang lainnya, Bu Lisna mengajak Jihan untuk makan bersama lebih dulu selagi belum ada pembeli.“Jihan, ijazahnya masih belum keluar?”Jihan menggeleng sebagai jawaban. “Belum ada informasi lagi dari sekolah, Bu.”Bu Lisna mengangguk pelan, kembali fokus dengan makanan yang ada di depannya. “Betah enggak kerja disini?”Senyum lebar tercipta di bibir Jihan. “Betah, Bu. Ibu sebagai pemilik baik sekali ke Jihan yang baru pertama kali kerja.”Tangan kiri Bu Lisna terulur mengelus bahu Jihan. “Ibu juga punya anak seumuran sama Jihan. Apalagi Jihan lagi merantau kayak gini. Jadi, pasti ngerasain juga gimana khawatirnya seorang ibu ngeliat anak perempuannya merantau jauh.”
Aku kembali di hadapkan oleh paksaan yang membuatku tertekan »|« Sudah berbulan-bulan lamanya setelah kejadian dimana Bara menghancurkan kehidupan Jihan. Dia merasa menjadi lelaki paling berengsek di dunia karena tidak bisa bertindak tegas untuk mengambil keputusan. Bahkan, Rama sang Papa pun seperti tak memiliki perasaan bersalah telah menghancurkan satu keluarga. Tangannya menekan kontak seseorang yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya. Nada sambung pertama, Bara berharap diangkat oleh si pemilik. Nada kedua, jantung Bara berdebar. Nada ketiga, tak kunjung juga di angkat. “Sebenci itukah kamu sama saya?” Diliriknya Rama yang baru saja pulang kerja. Tanpa pikir panjang lagi, Bara menghampiri sang Papa. “Pa.” Bara berjalan mengikuti langkah Rama. “Sudahlah, Bara. Enggak perlu kamu bahas hal ini lagi, percuma.” Bara mengacak rambutnya frustrasi lalu berlari menghadang langkah Rama. “Apa Papa yakin dengan keputusan Papa? Aku udah
Ternyata sesederhana ini mencari definisi kebahagiaan»|«Malam ini hujan mengguyur kota Bandung. Kenzo yang sedang santai pun mengajak Jihan untuk makan malam bersama di luar, kebetulan juga Jihan hanya bekerja setengah hari dan belum makan siang karena bingung harus kemana dan melakukan kegiatan apa. Jadi, perempuan itu menerima ajakan Kenzo.Bukan tanpa alasan Kenzo mengajak Jihan keluar. Beberapa waktu ini, keduanya tampak lebih dekat dan Jihan pun sedikit terbuka dengan Kenzo. Anehnya, Jihan tak merasa ketakutan ketika bersama lelaki itu yang ada hanya kenyamanan yang hadir. Begitu pula dengan Kenzo yang memang sudah merasa kenyamanan itu lebih dulu, bahkan lelaki itu merasa ingin terus melindungi Jihan yang terasa rapuh di dalamnya. Meski sebenarnya Kenzo belum menahu tentang Jihan.Ketika sedang asik makan dan mengobrol bersama, sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Jihan. Sekali masih di abaikan olehnya, namun sudah berkali-kali hingga pons
Bukankah semua orang pasti mengalami perubahan? »|« Jihan sudah selesai di potong rambutnya. Dia menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan potongan rambut pendek sebahu dengan poni tipis ala Korea yang membuat wajahnya terlihat berbeda. Merasa cukup melihat perbedaan yang ada di dirinya, Jihan bangkit untuk membayar. Masih belum berani melirik Kenzo yang sedari tadi melihat padanya sejak awal duduk di depan cermin. Kenzo tak dapat menahan senyumnya, bahkan tanpa sadar tangannya terangkat untuk mengacak rambut fluffy Jihan saat ini. “Lucu banget, sih,” komennya. Mendengarnya, entahlah Jihan merasa hatinya menghangat dan membalas senyum Kenzo saat keduanya saling melirik malu-malu. “Aku cocok enggak pakai begini, Mas?” Kenzo mengangguk semangat. “Cocok banget, keliatan baby face jadiny. Lucu~” Keduanya tertawa bersama dengan pipi Jihan yang merona malu. “Bentar, aku mundurin dulu motor.” Kenzo memberikan satu helm kepada Jihan, lalu n