Bukan ini yang terjadi seharusnya»|«“Mau kemana kamu?”Suara berat milik sang Papa membuat Bara menghentikan kegiatannya mengenakan sepatu. Lelaki itu menghela napasnya dengan berat. “Aku udah besar. Jadi, Papa enggak perlu tau aku mau pergi kemana dan dengan siapa.”Rama menurunkan koran yang menutupi wajahnya, lalu melipatnya. “Papa cuma memastikan aja kalau kamu enggak buat ulah yang mempermalukan nama keluarga.”Sebelum menjawab, Bara berdiri. “Lagipula Bara memang sudah mempermalukan keluarga dengan merusak masa depan perempuan dan Papa melarang Bara untuk bertanggung jawab.”“Jangan kurang ajar kamu, Bara!”“Jadi, Bara begini karena didikan siapa?”»|«Pintu kayu itu di ketuk pelan oleh Bara yang mendatangi kediaman keluarga Jihan, berharap bisa bertemu dengan perempuan itu. Pintu tersebut terbuka menampilkan sosok Irma yang memandangnya dengan raut wajah bahagia. “Nak, Bara. Silakan masuk ke dalam.”
Seperti apapun mereka memperlakukan kamuMereka berdua tetap kedua orang tuamu»|«Jihan berharap keputusan yang di ambil olehnya ini tidak akan membuat dia menyesal begitu saja. “Ibu maafkan Jihan, ya?”Mata bulatnya menatap wanita paruh baya yang sudah dia anggap sebagai sosok ibu keduanya itu dengan mata yang memanas menahan tangis.“Ada apa Jihan?” Bu Lisna segera menyimpan tasnya kembali di atas meja, beralih memeluk tubuh mungilnya tersebut. “Apa ada masalah yang ganggu kamu akhir-akhir ini?”Jihan mengangguk, meski seberapa kuat pun dia menahannya tetap saja air mata itu turun membasahi pipinya. “Jihan sudah terlanjur senang dan nyaman bekerja disini.”“Apa gaji yang ibu berikan kurang, ya?”Jihan menggeleng. “Enggak, gaji yang Ibu kasih jauh lebih cukup untuk Jihan yang merantau begini. Cuma—”“Sok cerita aja enggak apa-apa sama Ibu.”“Tadi siang, Papa menelepon Jihan untuk kembali pulang.”Pelukan tersebut t
Ini masalah hati yang menjalaniTidak bisa di paksa, apalagi di permainkan »|« Suasana pagi sebelum matahari terbit itu paling bisa dinikmati. Udara segarnya yang menusuk ke dalam indra penciuman dan tubuh tak bisa di pungkiri. Di hari Minggu seperti ini, Jihan kembali melakukan aktivitas seperti biasanya kala di rumah. Sudah lama juga Jihan tak menjalani aktivitas-aktivitasnya di rumah. Jihan menyiram setiap tanaman yang ada di depan rumah sambil bersenandung pelan, meski tidak banyak setidaknya terawat dan menambah kesan sejuk yang melihatnya. Lagi pula sepertinya sang Mama yang menyimpan tanaman ini tak berniat merawatnya. “Pagi, neng Jihan. Kapan pulang?” tanya seorang wanita paruh baya yang hendak ke pasar. Beliau tetangga sebelah yang hanya berjarak tiga rumah saja.Jihan tersenyum menyapa. “Pagi, Bu. Baru pulang kemarin.” Dia sempat terkejut juga, namun untungnya Irma sudah memberitahukan alasa
Aku bersedia menjadi tempat bersandar Dikala kamu membutuhkan sebuah tumpuan »|« Tepat pukul 8 malam, hujan mengguyur kota Bandung dengan hawa dingin yang menusuk membuat siapapun enggan beranjak dari kasur kesayangannya. Beda halnya dengan Kenzo yang sedang duduk termenung di teras rumahnya seraya memandangi rintikan hujan membasahi tanah. Pikirannya melayang jauh, memikirkan seseorang yang akhir-akhir ini sering memenuhi otaknya. “Kira-kira, Jihan lagi apa, ya?” gumamnya seraya memandang langit gelap. “Lagi mikirin kamu, dong.” Tiba-tiba saja, Rey datang merecoki acara melamun Kenzo. “Ganggu banget, sih. Sana masuk, belajar biar masuk kampus negeri.” Rey ikut duduk di samping Kenzo seraya mengangkat kedua bahunya acuh. “Ogah, ah. Swasta aja biar lebih bergengsi.” Adiknya ini memang agak menyebalkan dengan segala tingkah lakunya yang nyeleneh itu. Bahu Kenzo di tepuk keras oleh Rey yang menggurui. “Gini, ya, A. Menurut pepatah
Lebih baik berkomitmen Daripada memiliki hubungan yang hanya mengandalkan rasa suka Suka dan sayang itu berbeda rasanya »|« Kantin kampus cukup sepi di pagi hari, lain halnya bagi Genta dan Daniel sibuk merebutkan siapa yang lebih dulu memesan. “Gue dulu, anjir.” Genta mendorong Daniel dengan kencang. “Elah, gue harus ngasih perut gue asupan dulu.” Terlalu sibuk berdebat, pedagang kantin pun segera menyiapkan pesanan keduanya tanpa bertanya lagi karena sudah hapal dengan makanan keduanya setiap ke kantin. “Akang Genta, Akang Daniel, mangga di candak[24].” Genta dan Daniel menoleh, lalu tersenyum lebar melihat pesanannya sudah siap. Daniel lebih dulu membayar dan membawa mangkuk buburnya. “Nuhun, Bu.” Daniel sedikit berteriak seraya meninggalkan Genta sendiri. “Selamat makan.” “Lo nyerobot pesenan gue terus.” Genta datang tak santai. Daniel memilih tak peduli dengan meniup buburnya yang masih panas. “Masih pagi, elah. Jangan bua
Aku kira rumah adalah Tempat berpulang yang paling nyamanNyatanya tidak sama sekali»|«Dipandangi setiap jajaran camilan yang ada di rak supermarket tersebut. Jihan mengambil beberapa sesuai keinginannya. Setelah dirasa cukup, dia langsung membayar pesanannya dan bergegas pulang untuk melanjutkan rebahannya. Jihan berjalan sebagai transportasinya untuk pulang karena jarak ke supermarket dengan rumah cukup dekat, namun selama perjalanan Jihan merasa ada yang menguntit dirinya.Sebenarnya ini juga pertama kalinya bagi Jihan untuk berjalan-jalan keluar rumah. Biasanya perempuan itu mengurung diri karena tak ingin bertemu dengan tetangga yang ingin tau kemana perginya dia.Mata bulatnya menoleh ke belakang penasaran dengan sesuatu yang di curigainya, namun yang dia lihat tidak ada apa-apa membuat Jihan meluruskan kembali pandangannya. Bulu kuduknya meremang seketika.“Masih siang enggak mungkin ada hal begituan, mana rame banget ini komplek.” Dil
Diam bukan berarti merasakan tenang»|« Semilir angin sore terasa sangat menyejukkan membuat hati Jihan menjadi tenang merasakannya. Dia membawa salah satu koleksi novelnya untuk di baca di taman yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya ketika suasana hatinya sedang tidak baik. Kedua alis Jihan menukik dengan heran saat mendengar suara grusuk di dekat pohon yang ada di sampingnya. Tatapannya terarah pada pohon tersebut. Dengan perasaan was-was, Jihan melirik keadaan sekitar yang hanya ada beberapa orang saja. Dia berdiri berjalan ragu untuk melihat ke belakang pohon tersebut. Saat hampir sudah dekat, bayangan sebuah kaki yang mengenakan sepatu pantofel membuatnya mendengus kasar. Jihan berjalan cepat dan mendapati Bara yang sedang menoleh ke samping mencoba mengalihkan pandangan dengan tubuh yang memepet pada pohon. “Mas Bara, ikuti aku lagi, ya?” tuding Jihan dengan perasaan dongkolnya. “Saya enggak ikuti kamu, Jihan,” elak Bara yang keluar da
Jagalah lisanmu sebelum perkataan itu Menyakiti perasaan orang lain »|« Pagi-pagi buta, Irma sudah belanja sayuran ke toko swalayan yang ada di komplek. Saat memilih beberapa sayuran dan lauk pauk untuk nanti memasak, bisik-bisik para ibu-ibu memenuhi tempat tersebut. “Maksud ibu apa, ya? Kok bawa-bawa putri saya?” tanya Irma tidak suka saat nama Jihan terselip di antara pembicaraan gosip itu. Salah satu ibu komplek itu berdecih pelan. “Dih, anak jadi pemuas laki-laki kok marah?” “Tau, ‘tuh. Bu Irma ini gimana, enggak tahu atau pura-pura enggak tahu?” “Sayang sekali, di usia muda Jihan sudah bukan gadis lagi.” Tangan Irma terkepal marah, sebisa mungkin dia menahan emosinya. Putrinya memang bukan seorang gadis lagi, tetapi bukan sebagai wanita pemuas nafsu. “Jika ibu tidak tahu menahu hal yang sebenarnya terjadi, lebih baik diam. Saya dan keluarga saya tidak pernah mengganggu apa-apa pada tetangga lainnya,” jawab Irma dengan nada yang