Share

Perlakuan Mas Hisyam yang membuat Mas Hasyim salah tingkah. Ada hal yang sulit kuartikan dari gelagat Mas Hasyim.

Kembaran Suamiku #6

Pov. Ara

Pagi ini cerah sekali, secerah hatiku menyambut datangnya hari bulan madu, eh.

Para lelaki sudah berangkat kerja ke kantornya masing-masing.

Terapis sudah datang, aku pasrahkan Ibu kepadanya karena persediaan bahan di kulkas sudah menipis.

"Bu, Ara ke pasar dulu ya, Bu. Ibu jangan tegang pas terapi. Biar cepet sembuh!" pamitku pada Ibu mertua sambil tersenyum.

Ibu nampak mengangguk pelan dan tersenyum. Aku mencium tangan beliau.

"Mbak, titip Ibu, ya. Saya mau ke pasar sebentar,” kataku pada terapis itu.

"Iya, Mbak." Ia mengulas senyum seraya mengangguk.

“Semua sudah saya siapkan, nanti Mbak yang atur sendiri. Permisi,” pamitku kemudian berlalu.

Setelah motor kukeluarkan dari garasi, pagar kututup. Aku pergi sendiri mengendarai motor, supaya lebih leluasa. Lagian di rumah ini mobilnya dibawa pemiliknya sendiri-sendiri.

Setelah sampai pasar, kuparkirkan motor. Bergegas masuk pasar tradisional dan mencari apa yang dibutuhkan dengan langkah cepat.

Kubeli sayur mayur, ikan, udang, cumi jamur, daging ayam dan sapi, tempe, tahu dan segala bumbu.

Tak lupa bahan kue. Lumayan berat, akhirnya aku memanggil seorang anak perempuan yang biasa menawarkan diri untuk membawakan barang. Gadis kecil berusia kisaran sebelas tahun dengan gaya rambut kucir atas, wajah kusam dan baju lusuhnya menandakan ia benar-benar butuh uang untuk mengisi perut yang terlihat kurus itu, tampak dari kaus yang dikenakannya kendur.

“Dek, sini!” panggilku seraya melambaikan tangan. Gadis itu menunjuk dirinya.

“Saya, Mbak?” tanyanya seraya berjalan mendekat.

“Iya,” kataku seraya mengangkat barang belanjaan. “Mbak boleh minta tolong bawakan ini ke parkiran, Dek?” tanyaku padanya.

“Tentu boleh, Mbak. Dengan senang hati,” ucapnya seraya mengambil barang belanjaanku dan menentengnya dengan semangat.

Meski tubuhnya kurus tampak lincah.

Setelah sampai, aku mengeluarkan lembaran untuknya.

“Terima kasih, ya, Dek. Maaf kalau berat,” kataku seraya menyodorkan lembaran itu.

“Mbak, saya nggak ada kembalian, nggak usah saja, Mbak.” Gadis itu menolak secara halus.

“Mbak nggak minta kembalian, ini buat jajan kamu, ambil! Mbak mau pulang, ibu mertua Mbak sedang sakit, nggak bisa ditinggal lama-lama,” kataku terus menyodorkan.

“Terima kasih banyak, Mbak,” ucapnya dengan binar mata yang tak bisa kuartikan. Hanya bisa berharap semoga kelak hidupmu bahagia.

Setelah itu tukang parkir mengeluarkan motorku dari barisan dan membayarnya. Gadis itu masih membantuku menaik-naikkan barang belanjaan. Dia melambaikan tangan merunduk dan tersenyum senang melihatku berlalu, kubalas dengan senyum yang tak kalah bahagia.

Ternyata lelah sekali pergi ke pasar sendiri, semua kubeli. Biar sekalian lah, di mamang sayur kadang enggak komplit. 

Saat perjalanan pulang, aku melihat Bu Tika tetangga Ibu mertua yang berjarak tiga rumah, berjalan sendirian menenteng belanjaan, karena searah dengan rumah mertua, aku menawarinya untuk membonceng di belakangku.

"Bu Tika, mari Bu bareng saya," sapaku padanya.

Bu Tika menoleh, seperti mengingat-ingat.

"Ini Mbak Ara ya? Istrinya Mas Hasyim yang kembar itu?" tanyanya meyakinkan.

Ada rasa kurang nyaman ketika Bu Tika salah menyebut nama suamiku.

"Iya Bu, saya Ara, istrinya Mas Hisyam bukan Mas Hasyim,” terangku, berharap Bu Tika bisa mengerti penjelasanku ini.

"Oh maaf, Mbak. Habis saya bingung membedakan keduanya. Saya nunggu jemputan anak saya, Mbak. Mbak Ara duluan aja," jelasnya diiringi senyum.

"Ya sudah, Bu Tika. Saya duluan ya ? Assalamualaikum.” Aku pamit pada wanita paruh baya itu dengan anggukan dan senyum. Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia, cara bersapa pada umumnya seperti itu.

"W*'alaikumsalam Mbak Ara." Bu Tika menjawab seiring aku perlahan menancap gas.

Terkadang suatu hal yang paling sulit diterima hati itu, mudah sekali diucapkan oleh orang lain. Sudah menjadi fitrahnya insan tempat salah dan lupa, sedangkan hati insan mudah tergores saking lunaknya. Ya, seperti aku ini. Baperan.

***

Setelah sampai rumah, Ibu masih dalam proses terapi.

Kutata barang belanjaan pada tempatnya, serta memasak untuk siang dan malam nanti.

Mbak Feni sang terapis ibu mencariku di dapur.

"Mbak, Terapinya sudah selesai,” ujar wanita muda dengan postur tubuh tinggi nan langsing berseragam putih itu menghampiriku.

"Oh ya, Mbak sebentar, aku cuci tangan dulu,” kataku.

Mbak Feni menganggukan kepala dan pergi lagi ke kamar Ibu.

Kubasuh tangan yang terkena bumbu dan menyusul ke kamar Ibu yang di sana kulihat Mbak Feni sedang membantu Ibu untuk berdiri diiringi komando semangat.

"Lihat, Mbak. Bu Ratna sudah mulai bisa berdiri," jelas Mbak Feni menunjukkan perubahan kondisi Ibu  padaku.

"Alhamdulillaaah ya Allah."

Mataku berkaca-kaca. Aku terharu. Ibu pasti sembuh. Itu suatu harapan putra-putra Ibu. Tentunya harapanku juga.

"A..arr,” ucap Ibu masih sulit dan terbata. Namun aku sangat paham bahwasanya Ibu sedang memanggilku.

"Iya, Bu."

Aku mendekatinya dan memeluk tubuh beliau. Rasa haru menyeruak dalam dada.

"Makasih ya, Mbak Feni. Ibu udah mulai bisa berbicara dan berdiri,” ucapku pada Mbak Feni yang kisaran umurnya sepantaran denganku.

"Sama-sama, Mbak Ara. Semua itu karena hati Bu Ratna senang, makan dan kebutuhan terawat. Jadi Bu Ratna cepat sembuh." Penjelasan Mbak Feni sangat ringan tetapi terdengar indah, menjadi support tersendiri bagiku untuk lebih sayang dan antusias merawat Ibu.

Kuberikan amplop berisi uang dari Mas Hasyim -kakak iparku- yang sudah disiapkan untuk biaya terapi, sembari menyalaminya. Mbak Feni pun pamit pulang. Mas Hasyim anak berbakti, begitu pula Mas Hisyam. Dari hal-hal tersebut bisa diartikan bahwa Ibu adalah ibu yang baik, ibu adalah orang yang baik dan jika Ibu sembuh nanti, Ibu akan menjadi mertua yang baik, bukan seperti mertua yang ada pada kebanyakan cerita serta sinetron.

“Semangat sembuh, ya, Bu,” ucapku pada Ibu yang sudah dibaringkan di ranjang. Ibu berusaha tersenyum dan mengangguk. Kulihat jempolnya terancung memberi jawaban.

“Ibu hebat,” bisikku seraya merunduk menyamakan tinggi tempat terbaring beliau.

***

Aneka lauk pauk dan cemilan terhidang di meja makan. Kue dan buah menjadi pelengkap makan malam kami.

Aku sangat senang, saat mereka -suamiku, ibu mertua, dan kakak iparku- sangat lahap menikmati masakanku.

Ibuku yang kupanggil Mama, memasukkan ku di kuliah tata boga. Mungkin biar bisa meneruskan resto Mama. Tapi yang terpenting bagiku, bisa memuaskan suami dan orang sekitarku. Kalau mereka makan makanan yang sehat, bergizi, mereka akan sehat. 

Sedangkan, akal yang sehat ada pada tubuh yang sehat. Meskipun berakhir bukan menjadi chef terkenal. Setidaknya aku bisa memanjakan lidah-lidah mereka yang kucinta dan sayang.

Makan bukan hanya asal kenyang, tapi diniatkan supaya kuat beribadah, dan makan dengan cara yang telah dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi w* salam.

Makan buah terlebih dahulu, baru makan nasi. Sebab, buah cepat membusuk di dalam perut. 

Penting juga, nih, memberi tiga ruang di dalam perut. Pertama untuk makanan, kedua untuk air, dan ketiga untuk udara.

Jadi makanlah setelah lapar, berhentilah makan sebelum kenyang. Perut kekenyangan pun juga tak baik, maka dari itu, Rasululullah menganjurkan berhenti makan sebelum kenyang. Rasa malas akan datang saat perut kenyang. Sedangkan kemalasan sendiri, suatu hal yang merugikan. Akan banyak hal terbengkalai karena terhalang rasa malas.

"Alhamdulillah nikmat sekali, Dek,” ucap Mas Hisyam sambil mengelap bibirnya dengan tisu.

"Iya, Syam. Mantap banget masakan Ara. Nanti kalau kalian bulan madu, nggak ada masakan yang rasanya selezat ini dong," sambung Mas Hasyim kakak kembarnya.

"Hehe, gampang Mas Hasyim, tinggal beli di resto Mama. Sebelas dua belas rasanya,” jawabku sambil menuang air putih ke gelas.

Aku jadi tersipu dengan ungkapan mereka.

"Arr...pinter m_sak."

Ibu turut menyambung meski belum jelas, tapi kami mengerti.

Kedua puteranya sangat senang melihat perubahan sang ibu.

"Wah iya dong, Bu. Istri siapa duluuu, sih, Buuu?" ungkap suamiku penuh percaya diri.

"Mas!"

Kuglitik pinggangnya karena refleks rasa maluku.

Cup.

Pipiku dikecupnya, rasa maluku sudah sampai ke ubun-ubun. Begitu percaya diri Mas Hisyam menunjukkan adegan itu di hadapan ibu dan kaiaknya ... membuatku tambah merona.

"Uhuk!"

Mas Hasyim yang minum pun tersedak. Tatapannya menjuru sekilas padaku kemudian menunduk. Tampak merah di telinganya. Apakah Mas Hasyim begitu karena baper disebabkan kejomloannya?

Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status