Share

Permainan Dimulai

 

 

Keluar dari kamar Yudha dengan tas besar di tangan, membuat Haifa sedikit menyeret langkahnya. Haifa menjatuhkan tubuhnya di atas pinggiran tempat tidur. 

 

Air mata yang dari tadi ditahannya lolos sudah. Haifa tersedu 

 

Perkawinan macam apa yang kau janjikan padaku, Mas?

 

Mahligai macam apa yang mengharuskan seorang istri tidak boleh mencampuri hidup suaminya? Saling menjauh dan membentangkan jarak?

 

Kenapa kau tidak melepaskanku dan mentalakku sekalian? Agar aku bisa pergi dari hidupmu sejauh yang aku mau?

 

Haifa merintih.

 

Gusti Allah, seandainya kasih sayang Ibu mertua tak seluas lautan biru, sungguh Haifa tak kan Sudi tinggal seatap dengan pria berhati batu seperti Yudha suaminya.

 

Allahu Akbar.

 

Sakit sekali cobaanku, ya Allah. Haifa menyeka air matanya. Hatinya berdenyut nyeri, saat menyadari Yudha tetap menggenggamnya hanya karena tidak berdaya menolak permintaan seorang Ibu, lebih menyakitkan daripada penghianatan pria itu pada dirinya.

 

Detak jam terasa nyaring meningkahi suara Isak tangis Haifa. Jam hampir menunjukan pukul sepuluh malam, akhirnya dirinya bangkit untuk menunaikan sholat Isa.

 

Bukankah saat jiwanya hancur dan luruh selalu ada Allah yang siap merekatkan  kembali dengan cinta dan Rahmat-Nya. Bukankah dalam untaian air mata dan luka  ada ampunan dan lautan hikmah?

 

Ayo Haifa, bangkit. Jika kau mengira penderitaanmu tak berujung, engkau salah besar. Selama Allah bersamamu, tak ada luka yang sia-sia.

 

Ingat Haifa, jika penderitaanmu seluas samudra maka yakinlah kasih sayang Allah seluas langit dan bumi. Hati Haifa bergemuruh.

 

Cukup lama Haifa bersimpuh di atas sajadah, mengadukan segala laranya kepada Sang Pencipta. Basah sudah mukena dan tasbih dalam genggamannya dengan air mata dan doa.

 

Gubrak.

 

Tiba-tiba terdengar benda terjatuh di luar sana Haifa menajamkan telinga. Sepertinya Yudha menjatuhkan sesuatu di ruang makan. 

 

Akankah dia lapar?

 

Bukankah dirinya belum memasak dari kemarin karena menginap di rumah Ibu? Nalurinya sebagai istri mulai terusik dan menebak-nebak.

 

Cukup Haifa. Biarkan suami angkuh itu mencari makanan sendiri. Kalau dia segan memasak, dia bisa pergi keluar mencari makanan di luaran sana. Hati kecil Haifa, mengingatkan. Tapi hari sudah malam dan juga gerimis. 

 

Ish, ngapain juga aku yang repot memikirkannya, Haifa mengetuk pelipisnya, kesal.

 

Haifa menutup telinganya, berusaha tidak perduli saat lapat terdengar suara spatula beradu dengan benda lainnya di dapur.

 

Oke. Lebih baik aku tidur saja. Atau...akan lebih menyenangkan jika dirinya sedikit memberi pelajaran buat suami sombong nya?

 

Haifa memijit pelipisnya. Setelah melipat mukena dan sajadahnya dia berjinjit ke dapur mengintip sumber keributan di malam itu.

 

Ya Ampun. Matanya langsung gatal melihat penampakan di depannya. Peralatan dapur dan pisau tampak berserakan di atas meja, juga potongan sayuran yang berceceran tidak karuan diselingi cangkang telor dan bungkus mie instan.

 

Sepertinya suami manja  yang selama ini tinggal terima beres itu tengah membuat mie rebus dengan sayuran dan telor.  Tapi penampakan di dapur seperti habis hajatan tujuh hari tujuh malam. Haifa menggaruk kepala. 

 

Maaf, Mas. Jangan harap aku mau membereskannya. 

 

"Haifa, ngapain ngintip?"

 

Haifa sedikit terjengkang. Tak menyangka feeling Yudha cukup tajam mengetahui keberadaannya.

 

"Maaf, aku hanya mau minum." Tanggung kepergok, Haifa akhirnya terpaksa keluar menghampiri kulkas. Mengambil air dingin di botol dan dengan santai meminumnya.

 

Yudha yang tengah bersiap menaruh mie rebus di mangkok tampak mendelik.

 

"Kamu minum air dingin, Fa? Kamu lupa, kalau kamu punya amandel dan alergi dingin? sini, aku ganti dengan air hangat."

 

Yudha dengan cepat menaruh mangkuknya dan bersiap menyambar air dingin di tangan Haifa.

 

"Ganti dengan air dispenser."

 

Matanya melotot. Haifa hanya mencelos.

 

"Tidak usah perduli padaku. Urusi hidup kita masing-masing." Haifa mengutip kalimat pria di depannya beberapa jam yang lalu.

 

"Kamu amandel, Fa. Kamu bisa meriang dan sesak napas, malam-malam minum air dingin." 

 

"Terus apa urusanmu jika aku meriang dan sesak napas?"

 

Yudha terdiam.

 

"Bukankah kau yang meminta untuk saling menjauh?"

 

"Tapi, aku tidak mau kamu sakit."

 

"Aku sakit atau tidak, bukan urusanmu."

 

Haifa membawa botol dingin dan gelasnya menuju kamar, membuat Yudha tak henti menatapnya penuh protes dan perasaan khawatir.

 

Haifa tersenyum datar. Tak menghiraukan larangan Yudha, gegas meninggalkan pria yang tadi berteriak dengan jumawa di depannya mendadak mati gaya.

 

Haifa menutup kamar nya cepat, dan membuang air dinginnya ke kamar mandi.

 

Maaf, Mas. Sepertinya aku harus mulai berhenti menangis dan mengajarkanmu bagaimana sakitnya perasaan tak berharga dan dicampakkan.

 

***

 

Yudha harus bangun cepat dari biasanya. Dia teringat suasana dapur yang berantakan bekas semalam memasak.

 

Yudha menggaruk kepalanya yang tak gatal, segan menatap penampakan dapurnya yang seperti kena terjangan badai dan tsunami, bahkan hanya untuk semangkok mie rebus dia harus mengeluarkan tenaga ekstra. Belum sayurannya yang terlalu matang dan lembek, membuat cita rasanya sangat berbeda dari masakan Haifa.

 

Meski sangat kaku dan tidak biasa Yudha membereskan dapur seorang diri. Meminta bantuan Haifa, jelas tidak mungkin. 

 

Gengsiku mau ditaruh di mana, Pemirsah, batin Yudha kekhi.  Sesekali melihat jam dinding takut kesiangan berangkat kerja.

 

"Mas, nasi goreng spesial."

 

"Mas, air hangat buat mandi sudah siap."

 

"Mas, dasinya warna apa?"

 

Rasanya baru kemarin Haifa begitu cerewet dan gesit mempersiapkan segala keperluannya berangkat kerja. Kini, jangankan sosoknya yang penuh semangat melayaninya  dengan penuh cinta, bahkan pintu kamarnya pun masih tertutup rapat.

 

Uhuk.

 

Uhuk.

 

Telinga Yudha langsung menajam, mendengar suara rintihan dan batuk di kamar Haifa.

 

"Fa, buka." Tak sadar tangan kukuh Yudha menggedor pintu kamar istrinya.

 

"Kenapa, Mas?" Haifa berdiri di depan pintu dengan mata sembab.

 

"Kamu sakit?" Yudha meneliti wajah Haifa yang pucat. 

 

"Sakit atau tidak, bukan urusanmu."

 

"Tapi, kamu harus ke dokter."

 

Haifa tersenyum kecut.

 

"Pergi ke dokter atau cuma makan obat warung juga  bukan urusanmu."

 

"Tapi, Fa..."

 

"Cukup Mas, bukankah kau yang membangunkan dinding pemisah diantara kita. Terimakasih, aku menerimanya dengan iklas."

 

Haifa perlahan menutup pintu kamarnya. Meninggalkan sosok Yudha yang tampak sangat tersiksa.

 

Perlahan Haifa mengunci kamarnya. Melepas syal dan tempel koyo di pelipisnya dan semua kostum khas orang sakit lainnya, baju hangat dan kaos kaki. Gerah Gaessss.

 

Tunggu kejutan berikutnya,suamiku. Akan kubuat kau menyesal, telah salah menempatkan ku sebagai   istri yang tak berharga.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
josss haifa
goodnovel comment avatar
Ungki Widiyarto
asdrafi........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status