Share

Perlawanan Yang Elegan

Pukul delapan lewat, susah payah akhirnya Yudha selesai mematut diri dan bersiap berangkat kerja. Kemeja warna ping muda dan celana bahan warna abu, belum dasi yang ada cuma warna hijau tua. Sangat jauh dari kata serasi dan elegan.

 

[Haifa, baju-baju dan dasiku kamu taroh di mana?] Yudha mengetik pesan, meski segan tapi terpaksa dilakukan.

 

[ Banyak , tapi belum ku setrika. Semuanya masih ada di ruang setrika.]

 

[ Berarti bajuku  yang sudah disetrika cuma dua biji ini? Itu pun warna ping dan ungu? ]

 

[Hu'um] 

 

[Kenapa, belum disetrika semua?]

 

[ Aku stres baca semua pesan di grup rahasimu, Mas.]

 

Yudha memijit pelipisnya, pusing.

 

[Salahkah aku, kalau  merasa stres dan tertekan sehingga gak bisa bekerja?] Lanjut Haifa galak.

 

[ O, tidak. ]

 

[Kalau begitu pakai yang ada. Pulang kerja, setrika sendiri. Ingat aku tidak akan mencampuri urusanmu.]

 

Yudha menelan ludah. Memaksakan diri Memakai sisa kemeja yang ada, meski warnanya terlihat lucu.

 

Kok penampilanku berantakan seperti ini? Terbang sudah citra diri Yudha Arya Sena seorang eksekutif muda yang selalu gagah dan tampan selama ini. Yudha membatin dengan kesal.

 

Ternyata jangankan untuk tampil keren, untuk tampil alakadarnya pun, butuh waktu satu jam untuk mengaduk isi lemari dan mencari semua perlengkapannya mulai dari pakaian dalam, kemeja, celana, dasi sampai kaos kaki. Huh.

 

Yudha tidak menduga, mempersiapkan diri untuk berangkat kerja bisa menguras energi. Hal yang dulu dianggap sepele dan remeh temeh.

 

Selama ini, Haifa selalu melayaninya dengan cekatan dan apik. Dari A sampai Z. Yudha betul-betul tidak menduga buntut sikap jumawa dan emosional semalam berbuntut kesengsaraan seperti ini. 

 

Bayangkan, jangankan mandi dengan air hangat yang sudah ditetesi aroma terapi yang biasa Haifa siapkan, bahkan untuk sarapan pun Yudha tidak sempat.

 

Dengan tergesa Yudha menuju garasai untuk mengeluarkan mobil nya, dia harus bergegas kalau tidak mau ketinggalan agenda penting di kantornya.

 

"Fa, Mas pergi dulu. Nanti aku minta tolong Erika buat mengantarmu ke dokter." Pamitnya di depan pintu kamar Haifa sebelum pergi, suara batuk Haifa yang menjadi-jadi dari semalam betul-betul membuat hatinya tersiksa .

 

Sepi.

 

Haifa tidak menyahut dan hanya mencibir dalam hati. Erika, adik iparnya juga sama kualitasnya dengan Meri dan Shila, perempuan-perempuan sontoloyo yang selalu menginginkan kepergiannya.

 

Uhuk.

 

Uhuk.

 

Haifa sengaja menggaskan suara batuknya.

 

"Fa, ke dokter ya."

 

"Bagaimana nanti saja." Sebuah jawaban dingin tersendat dari bibir Haifa.

 

"Fa."

 

"Tak usah lelah memikirkan aku, Mas. Toh, kebersamaan ini hanya menunggu waktu saja."

 

Yudha mengusap kasar wajahnya. Frustrasi.

 

"Kau yang  tidak pernah memberiku pilihan, jadi  aku harap  apapun tentang kita saat ini, mari kita hadapi dengan senyuman."

 

Senyuman? Bahkan aku merasa mau mati berdiri saat ini. 

 

Yudha terdiam dan hanya  bisa menggaruk kepalanya, memaksa diri untuk  bersabar karena  memang dia yang telah memilih dinding dan jarak dengan Haifa. 

 

Sayangnya saat ada jarak yang membentang dengan perempuan lembut penuh cinta itu, rasanya ternyata begitu menyakitkan.

 

***

 

Setelah Yudha pergi, Haifa akhirnya keluar kamar. Suara gedebag-gedebug di kamar Yudha membuatnya penasaran.

 

Matanya berulangkali mengedip tak percaya dengan penampakan kamarnya. Baru semalam dia tidur di kamar lain, suasana kamar sudah persis pasar malam yang diterjang badai Tornado.

 

Sebagian besar isi lemari Yudha keluar dari tempatnya, sepertinya pria itu mengaduknya waktu mencari baju dalam dan kaos kaki sewaktu mau berangkat kerja.

 

Gusti Allah, bagaimana ini? Tangan Haifa sungguh gatal ingin merapikannya. 

 

Tunggu, Fa. Biarkan suamimu mengerti bahwa kehadiranmu berarti selama ini. Biarkan dia tahu tanpa dirimu, seharipun dia sudah spaneng dan oleng habis-habisan. Hati kecil Haifa mengingatkan.

 

Baiklah. Haifa mengurungkan niat membereskan kamar Yudha dan lebih memilih menyiram tanaman di depan rumah. Sedikit berjingjit menghindari aneka benda yang berserakan di lantai, Haifa berniat keluar kamar.

 

Drrrt. Suara motifasi gawai yang tergeletak begitu saja di atas kasur membuat langkahnya terhenti.

 

Mata Haifa terpaku, sepertinya Yudha kembali  lupa membawa gawainya karena terburu-buru.

 

Hello, apa kabar Mbak Meri dan Mbak Shila? 

 

Haifa perlahan mendekat dengan rasa penasaran, jujur ada rasa ingin tahu, tentang  isi percakapan terbaru  Meri dan Shila di grup rahasia milik Yudha.

 

Banyak sekali chat di grup W* rahasia mereka.

 

Haifa bahkan harus manjat tinggi agar bisa membacanya.

 

[Halah,istri songong kek gitu mah Jangan dikasih hati, Yudha.]

 

[Mau dibilang Sosis, suami takut istri?]

 

[Mau disamain dengan Bang Wawan yang melepes diketek Bi Indah? wkwk.]

 

[Kumis saja segede gedebog pisang, sama bini aja udah kek kerupuk di siram air, lempessssss.]

 

Ya Allah, Haifa sampai mengucek mata membaca pesan Shila dan Meri. 

 

Berani sekali  menjadikan adik Bapak bahan gunjingan. Dasar grub kuntilanak.

 

Wait. 

 

Sret, Haifa menscren shoot percakapan.

 

[ Apa yang kamu tunggu, Yudha, ceraikan saja wanita yang tidak berkelas itu.] tulis Meri berapi-api.

 

[ Pilih Sekar yang jauh lebih sempurna.]

 

[ Buang wanita miskin itu ke lautan.] 

 

[ Dia sudah menginjak harga dirimu di depan Ibu dan membuat Sekar jadi terhina. ]

 

[Tunggu, aku menanti dia didepak dari hidupmu Yudha.]

 

[Wkwk.]

 

Pesan Meri dan Shila bersahutan, membuat dada Haifa laksana terbakar.

 

Astaghfirullah, hasutan Meri dan Shila luar bisa, pantas jika semalam emosi Yudha sangat terbakar.

 

Sret, kembali Haifa menscrenshoot percakapan mereka, sekaligus memasukan nomor dirinya yang berpoto profil Yudha ke grup W* rahasia itu diam-diam.

 

Tunggu, aku punya kejutan manis buat kalian .

 

****

 

Lima hari sudah sejak pertengkaran Sekar dan Haifa di rumah Ibu. Hari masih pagi. Yudha sudah berangkat kerja setengah jam lalu, saat Haifa ke luar rumah untuk menyiram bunga, tidak di duga Meri dan Shila muncul di hadapannya, terlihat mereka memarkirkan mobil mewahnya di sembarang tempat di halaman rumah Haifa yang luas.

 

"Kamu masih bertahan di rumah ini, Haifa?" Meri menatap Haifa dengan tatapan mencemooh, tak lama  setelah mendekati Haifa yang masih memegang ember berisi air untuk menyiram.

 

Pagi-pagi datang berkunjung hanya untuk membuat keributan.

 

"Tak tahu malu." Shila menimpali.

 

"Kenapa gak minta cerai saja."

 

"Paling bilang demi Ibu. Alasan basi, bilang saja kamu tidak mau bercerai dari Yudha. 'Ye kan?"

Meri dan Shila seperti berlomba memberondong Haifa di teras rumahnya.

 

"Kamu pikir, sudah menang melawan aku dan Shila?" kali ini Shila yang bicara.

 

"Dengar,Yudha memang belum  menceraikanmu karena Ibu masih sakit, tapi aku yakin suatu saat kau pasti ditendangnya dan diganti dengan Sekar." Meri dan Shila tertawa terbahak-bahak.

 

"Lagian, sudah menjadi gossip di keluarga besar Brahma, kalau kamu menggunakan segala cara agar Yudha tidak menendangmu termasuk menekan dan memaksa Ibu," kekeh Meri makin menjadi terus menyerocos dan tidak memberi waktu Haifa membela diri.

 

"Ayo kita pulang." Puas menghina, Meri bersiap pergi. Hatinya merasa sangat puas melihat Haifa yang hanya terdiam dan mati kutu.

 

"Tunggu."

 

Haifa menatap kedua ipar suaminya yang julid dengan tenang. Bisa saja dia menyiram keduanya dengan air di ember, tapi itu bukan style nya.

 

"Bagaimana bisa masalah rumah tanggaku tersebar di keluarga besar Bapak?"

 

"Itu urusan kecil. Kami punya grup husus buat gibahin kamu selain, grup dengan suamimu. Makanya, kamu jangan macam-macam, Fa." Meri tergelak.

 

Astaghfirullah.

Haifa dibuat terheran-heran dengan kejulidan Meri dan Shila.

 

"Kamu jahat sekali, Mbak. Tapi, tunggu..." Haifa mendesis pelan, dengan tenang mengeluarkan gawainya dari saku bajunya dan sedikkit mengutak -ngatik gawai agar bisa mengirim Screenshoot percakapan Meri dan Shila waktu itu ke grup keluarga besar mereka.

 

Send. Pesan dikirim Haifa dan ajaibnya, tidak lama bermunculan komentar dari para anggota grup.

 

[ Yang bener Mbak Haifa?]

 

[ @Yudha, ipar-iparmu julid benar.]

 

[ Jadi...@Meri @Shila, siapa yang tengah bersandiwara di antara kalian? wkwk]

 

"Tolong buka grup besar keluarga Brahma,Aku tidak akan capek klarifikasi Mbak Meri, bukti percakapan di grup kuntilanak mu, cukup mengatakan pada keluarga besar Bapak, siapa yang rendahan dan berhati busuk diantara  kita."

 

Apa?

 

Meri gegas meluncur ke grup besar keluarga Brahma, dimana anggotanya sangat banyak terdiri dari kakak dan adik Bapak beserta anak cucunya.

 

Seketika wajah Meri dan Shila terkesiap. Apalagi membaca komen yang rata-rata menyudutkannya.

 

"Kau? berani mengirim Screenshoot pembicaraanku dengan Shila di grup keluarga besar Brahma?" tanyanya tercekat.

 

"Lebih dari itupun aku berani."

 

Apa?  Seketika wajah Meri dan Shila berubah bak kepiting rebus.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Tika Crv
aku mah sudah ngalamin punya mantan2 mertua sama ipar yg begitu
goodnovel comment avatar
Willny
good haifa
goodnovel comment avatar
Waty Safyrah
ipar2 suami kaya nene lampir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status