Share

Cinta Untuk Suami
Cinta Untuk Suami
Penulis: Kim YuMi

Bab 1

Baru beberapa meter aku pergi meninggalkan gedung pencakar langit itu, kini suara teriakan heboh dan alunan musik yang sedari tadi mengganggu telingaku tak lagi terdengar, yang aku dengar sekarang hanyalah suara desingan mobil yang sedang kunaiki. 

Menurutku suasana senyap di dalam mobil ini lebih buruk daripada ke adaan pesta pernikahan yang baru saja aku tinggalkan beberapa menit yang lalu. Gila apa, aku sekarang merasa sedang berada di kuburan. Tiba-tiba saja aku jadi merinding saat tak sengaja mataku bertubrukan dengan mata tajamnya. 

Aku mencoba memberikan senyum manisku padanya, berharap rasa canggung yang kualami bisa pergi. Tapi lihatlah! Dia bahkan menghiraukanku dan kembali fokus melihat ke jalan di depan. Ingin sekali kumaki laki-laki di sampingku ini yang sekarang sudah berstatus sebagai suamiku. 

Hah, aku rasa aku tidak bisa menjalani masa mudaku yang indah lagi sekarang. Ya itu sudah pasti, karena semenjak aku menikah dengannya beberapa jam yang lalu aku sudah tidak punya semangat lagi untuk menjalani ke hidupanku sekarang.

Ini semua berawal dari keputusan gila orang tuaku. Seenaknya sendiri menjodohkanku dengan pria tua ini. Bolehkan aku memanggilnya pria tua? umurnya denganku berjarak empat belas tahun. Sekarang aku berumur delapan belas tahun, itu berarti dia berumur tiga puluh dua tahun. Wah, seperti nya ada yang salah dengan mata kedua orang tuaku. Bagaimana bisa mereka menikahkanku dengan om-om seperti ini. 

Keluarga besar dan kerabat-kerabatku bilang, aku ini wanita yang beruntung karena bisa menikah dengan laki-laki kaya sepertinya. Hey, kenapa rupanya kalau dia kaya? Orang tuaku juga kaya, bahkan dari lahir sampai sebesar ini aku tidak pernah merasa kekurangan apapun.  

Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya kenapa dengan teganya mama dan papa menikahkanku dengan om-om seperti nya. Tidak masalah kalau dia berwajah tampan dan gagah seperti cerita-cerita romantis di film ataupun di novel yang sering kubaca. Dia ini berbeda, sangat terlihat tuanya, lihatlah janggutnya yang tak terawat itu. 

Ya tuhan begini kah caramu menghukumku? Dengan cara mentakdirkanku menikah dengan pria tua yang bahkan sedari tadi hanya memasang wajah dinginnya. Aku bisa gila dalam jangka waktu dekat ini.

Beberapa menit berlalu, akhirnya mobil yang kunaiki berhenti di depan rumah yang tak terlalu besar ini. Tapi ini sudah termasuk besar untuk kami tinggali berdua. Berdua? Aku tak sanggup membayangkannya.

Saat kutanya kenapa rumahnya kecil, mama langsung menjawab itu hanya untuk sementara, nanti kalau kalian sudah punya anak baru akan pindah ke rumah yang lebih besar. Anak? Ternyata mama sudah memikirkannnya sejauh itu. 

Pria tua itu turun dari mobil tanpa berbicara sepatah katapun padaku dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku langsung mengikuti dari belakang.

Sesampainya di dalam rumah aku melihatnya sudah terduduk santai di sofa ruang tamu, sambil memejamkan matanya.

Aku ikut duduk di sofa yang bersebrangan dengannya, menatap nya penuh dengan perasaan kesal.

"Om." Aku memberanikan diri memanggilnya.

Ah, aku semakin kesal saja sekarang, dia bahkan tidak menyahut panggilanku. Dia belum tahu kalau aku ini cewek yang cerewet dan tak bisa diam. "Oy!" Aku mulai memanggilnya kasar.

Dia membuka matanya. "Huh," dapat terdengar jelas ia menghembuskan nafas kasar. Lagi-lagi dia tidak menjawab, hanya saja kali ini dia melihat ke arahku.

"Kenapa om diam saja?" tanyaku santai, mengabaikan tatapan matanya yang tajam.

"Menurut mu?" dia bertanya balik, sambil melonggarkan dasi yang sedari tadi melingakar di lehernya.

"Ck." Aku berdecak pelan, bahkan untuk mengajaknya bicara sangat sulit kurasa. "Dosa apa yang kuperbuat sampai harus menikah dengan om-om tua seperti mu," sepertinya perkataanku barusan memancing emosinya, dia yang tadinya diam saja kini berjalan mendekat ke arahku. Aku sedikit gugup saat matanya menatap nyalang padaku.

"Kau mau cari ribut denganku?" tanyanya pelan sampai aku hampir tidak bisa mendengar suaranya.

"Kau yang aneh, aku kan hanya mengajakmu bicara, tapi kau bahkan menghiraukanku. Kau anggap aku ini patung," teriakku seraya berdiri dan menjauh darinya. Jaga-jaga kalau dia akan bertindak yang tidak-tidak.

Dia menatapku kembali dengan wajah datarnya. Lalu pergi begitu saja ke lantai dua. 

Lantai dua? Aku teringat sesuatu, dan langsung lari mengejarnya. Mengingat sekali lagi kalau rumah ini letak kamarnya hanya ada di lantai dua. Aku tahu karena baru saja datang kemarin untuk membawa baju dan beberapa barangku ke kemari.

Aku melewatinya yang masih jalan dengan langkah pelan menaiki anak tangga, sepertinya dia sangat lelah sampai tak terlihat sedikit pun semangat dari tubuhnya. Abaikan itu, apa peduliku.

Sesampainya di lantai dua aku langsung berhenti di depan kamar yang pintunya tampak lebih besar dari kamar yang satunya lagi. Aku sudah tau, kamar yang ada di depan ku sekarang adalah kamar utama di rumah ini. Dan tentu aku akan memilih kamar yang luas dan bagus untuk ku.

Aku membalikkan badan saat menyadari dia sudah berdiri di belakangku. Dia menaikkan alisnya, seolah bertanya apa yang sedang kulakukan.

"Aku tidur di kamar utama," ujarku sedikit kaku.

"Ooo," dia mengangkat bahunya acuh.

"Apaan sikapnya itu, sombong sekali. Kalau bukan karena hanya berdua di sini aku juga tidak mau mengajaknya bicara," sindirku sedikit kuat, berharap kalau dia mendengar ocehanku.

Setelah itu aku langsung membuka pintu kamar yang akan aku tempati. "Apa-apaan ini?" pekikku lalu menutup kembali pintu kamar dengan kuat.

"Kau mau merusak pintu?" tanyanya masih dengan wajahnya yang datar seperti tripleks.

"Bukan, bukan begitu aku-" Aku tak melanjutkan ucapanku lagi, karena sepertinya akan sia-sia saja, dia pasti tidak akan mau mendengarkan celotehanku. Aku hanya akan membuang-buang tenaga saja nantinya.

Aku kembali menatap pintu kamar utama, wahai pintu aku syok melihat apa yang ada di dalam sana. Seketika perhatianku teralihkan olehnya, siapa lagi kalau bukan om tua itu. Aku diam-diam memperhatikannya yang sedang kesusahan membuka pintu kamarnya.

Beberapa waktu terlewat, tapi pintunya masih saja belum bisa di buka. Aku mendekatinya karena penasaran. "Kenapa dengan pintunya?" tanyaku sok ramah.

Dia hanya diam tapi matanya masih tertuju pada gagang pintu kamar yang akan dia tempati, seolah-olah menyuruhku untuk melihatnya sendiri.

Aku mulai menyentuh gagang pintu itu dan kenapa ini? Kenapa sulit sekali membukanya? Berbeda dengan pintu kamar utama. "Sepertinya di kunci," kataku kemudian. "Kau tak ada kuncinya?" 

"Tidak," jawabnya cepat sambil memalingkan wajahnya dariku. Dasar tidak sopan, dia bahkan tidak melihatku sebagai lawan bicaranya.

"Hah, aku sangat prihatin padamu. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak suka berbagi kamar dengan laki-laki jadinya malam ini kau harus rela tidur di sofa." Aku berjalan kembali menuju kamar utama. 

Tapi, dia tiba-tiba menghadang jalanku. Aku menatap bingung padanya.

"Apa?" tanyaku.

"Aku yang akan tidur di kamar utama, karena ini rumahku," ujarnya. Wah, ini adalah kalimat terpanjang yang aku dengar dari mulutnya.

"Tidak, pokoknya aku yang akan tidur di kamar utama," sergahku sambil mendorongnya agar menjauh dari hadapanku.

Ujung ekor mataku menangkap geraknya yang akan membuka pintu kamar. Aku segera mencegahnya.

"Kau tidak boleh masuk?" teriakku tak perduli dengan apa yang akan ia lakukan nantinya padaku. Aku harus mempertahankan kamar ini. 

Dia menarik tanganku dan sontak tubuhku ikutan terbawa mendekat ke arahnya. Aku sangat terkejut karena jarak antara diriku dan dirinya sekarang sangatlah dekat, aku mendongak agar bisa melihat wajah nya lebih jelas. Dan dari jarak sedekat ini aku baru tahu kalau kulit wajahnya itu sangat bersih dan putih, hidungnya juga mancung dan mata tajamnya yang terlihat menawan itu. Eh,apa yang ku pikirkan. 

"Jangan sentuh aku!" Aku menarik diri agar menjauh darinya. 

"Menyingkirlah!" dia langsung membuka pintu kamar utama, dan sepertinya dia juga terkejut dengan isi kamar utama itu. Aku ikutan mengintip sekali lagi ke dalam kamar, tidak ada yang aneh. Hanya saja kamar itu di dekorasi layaknya kamar untuk malam pertama pengantin baru. 

Ini pasti kerjaan mama dan ibu mertuaku, aku sungguh tak habis fikir dengan mereka. Apa gunanya sih menghias kamar sampai seperti ini? Siapa juga yang mau melekukan itu dengannya. 

"Berkediplah!" ujarnya sambil melihat ku datar.

Dengan bodohnya aku mengikuti perkataannya. 

"Kau saja yang tidur di sini," dia melangkah pergi ke lantai bawah, sepertinya dia akan tidur di sofa.

"Eh tunggu!" Aku menarik tangannya. Dia langsung berbalik dan menatapku tanpa berkedip. Iya aku tahu, kau pasti terpesona dengan kecantikanku.

"Bantu aku memberasakan kamar, aku tidak suka hiasan-hiasan seperti itu," pintaku. 

"Huh," lagi-lagi dia mengehela nafas kasar. "Itu urusanmu," dia tak perduli dan hendak pergi lagi.

"Ku mohon om, aku tidak akan sanggup membereskannya sendiri." Aku merengek-rengek padanya. Enak saja dia ingin pergi begitu saja.

"Lepaskan tanganku!" Aku mengikuti arah matanya.

"Kalau ku lepas kau pasti akan pergi," teriakku.

"Baiklah," dia mengajakku masuk ke dalam kamar utama.

Sesampainya di dalam aku hanya duduk diam di sofa sambil memperhatikannya yang sibuk membereskan hiasan-hiasan laknat itu.

"Itu om di sebelah sana belum." Aku menunjuk sudut kamar. Dengan cepat dia berjalan ke sana dan menarik hiasan-biasa bunga yang tergantung.

"Lanjut yang sana lagi om!" aturku seperti seorang bos. 

Dia menatap tajam ke arahku, membuatku langsung diam tak berkutik. Walaupun begitu mataku terus memperhatikan, yang sekarang sudah berjalan ke arah tempat tidur ukuran king itu.

Oh tidak, dia berbaring di situ. Dengan cepat aku ikutan naik ke atas tempat tidur, menjadikan lututku sebagai tupuan tubuhku. "Om kenapa tiduran di sini?" teriakku.

Dia memejamkan matanya, mengacuhkan ucapanku.

"Om!" panggilku lagi sedikit merengek.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status