Share

Bab 5

Aku duduk sambil menyantap makanan yang di bawa Nadia tadi, sesekali memikirkan perkataan om itu. 

"Belum saatnya kau tahu," kalimat itu terus-terusan berputar di otak kecilku. Belum saatnya aku tahu? Emangnya apaan sih? Jangan-jangan tebakanku itu benar, kalau dia itu menikahiku karena memang tak ada yang mau padanya. Jadinya saat mendengar perjodohan ini ia langsung menerimanya. Dasar, pria tua, harusnya kan dia mencari wanita yang seumuran dengannya. Bukannya denganku.

Apa yang harus aku lakukan sekarang, beberapa minggu lagi aku akan menjadi mahasiswa di salah satu kampus di kota ini. Ada kemungkinan juga teman-teman satu SMA ku juga masuk di sana. Setahu aku sih teman-teman seletingku belum ada yang menikah, baru aku saja. 

Ya sudahlah sudah terjadi, yang harus aku lakukan sekarang adalah menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada yang tahu tentang statusku.

Sedikit merasa bosan aku menghidupkan HP dan membuka grup chatku di salah satu aplikasi. Grup ini beranggotakan teman-teman dekatku saat SMA. Tidak banyak hanya lima orang termasuk diriku. 

Kelihatannya grup sedang ramai-ramainya. Aku langsung nimbrung dalam pembicaraan.

Aku: Apa nih ribut-ribut?

Emma: Wah kamu kok baru muncul Yar?

Alya: Kami dari tadi cariin kamu

Aku: Kenapa emangnya?

Anya: Tadi Nadia udah kasih tau kami 

Apa? Yang benar saja, memangnya Nadia tau apa sih? Dia gak tau kan kalau om Aska itu suamiku. Atau diam-diam tadi om  Aska memberi tahu Nadia lagi, kalau kami ini sudah menikah. Dengan tangan bergetar aku menunggu balasan dari grup chat.

Anya: Sejak kapan kamu punya om yang ganteng Yar? Kok gak bilang sih?

Alya: Iya, kamu parah ah gak pernah kenalin ke kita

Syukurlah, Nadia tidak mengatakan hal yang sebenarnya, atau mungkin dia memang tidak tahu ya?

Emma: Jawab dong Yar! Jangan di read doang

Aku: Hahahaha, dia gak ganteng

Anya: Kamu bohong ah, Nadia bilang aja dia wow banget

Aku: Kalian belum lihat langsung. Udah ah gak usah di bahas lagi!

Aku meninggalkan grup chat dengan perasaan lega. Untunglah, tidak ada yang perlu aku khawatirkan sekarang. Ya Tuhan, mudahkanlah jalanku setelah hari ini. 

Sekarang aku mulai bosan lagi, tidak banyak yang bisa ku lakukan di rumah baru ini. Dulu di rumah yang lama kalau aku sedang bosan atau tidak ada kerjaan, pasti aku sudah karaokean di ruangan khusus yang mama dan papa buatkan untukku. Sedangkan di sini? Andai saja om Aska itu tidak di sini pasti aku sudah berteriak-teriak sesuka hatiku, meluapkan semua masalah yang terjadi padaku.

Sekarang sudah jam empat sore, waktu terasa berjalan sangat lama hari ini. Kalau bisa secepatnya aku ingin waktu berlalu beberapa minggu ke depan, saat-saat aku sudah masuk kuliah. Pasti menyenangkan, tidak selalu bertemu dengan pria tua itu.

Perhatianku teralihkan pada om Aska yang kini tengah berjalan ke arah pintu utama, dia mau kemana? Tanpa pikir panjang aku langsung berlari mengikuti. Dia menoleh padaku yang sudah berdiri di sampingnya. 

Aku menyengir sambil menampakkan gigi kelinciku, agar terkesan imut di hadapannya. "Mau kemana?" tanyaku langsung.

Dia diam sebentar, tidak langsung menjawab pertanyaannya, ah satu hari dengannya aku sudah mulai terbiasa dengan cara berbicaranya yang terkesan lamban ini. "Belanja, nanti malam kita ke datangan tamu," jawabnya.

"Tamu? Siapa? Mama ya?" siapa yang yang akan datang? Kalau mama sama papa kenapa aku tidak di beri tahu.

"Bukan, tetangga sebelah," jawabnya lagi. 

"Ibu-ibu yang tadi pagi?" Aku tak tau harus berekspresi seperti apa sekarang, mau ngapain ibu-ibu rempong itu datang ke rumah? Membuat suasana makin buruk saja.

"Kau tak suka?" sepertinya dia tahu yang aku pikirkan, baguslah kalau begitu.

"Iya," jawabku gamblang. 

"Mereka ingin bertamu, kenapa kau tak senang," dia langsung pergi. "Aneh," eh aku masih dengar ya kau mengata-ngataiku.

Tapi, benar juga ya, tak ada salahnya kalau mereka hanya sekedar bertamu. "Eh, tunggu!" Aku mengejarnya yag sudah masuk ke dalam mobil. Dan aku juga ikut nyelonong masuk ke dalam mobil.

Dia menatapku heran, seakan meminta penjelasan dariku. "Aku ingin ikut belanja," jawabku sambil tersenyum manis. 

Dia tidak berkata-kata lagi setelah itu, lalu kami pun pergi ke sebuah supermarket yang letaknya lumayan jauh dari rumah.

Selama perjalanan dia hanya diam, walaupun sudah berulang kali kuajak bicara, sangat membosankan sekali disini. Aku lagi-lagi melihatnya, berharap dia mau melirikku. Mmm, dia bahkan terdengar berulang kali bernafas kasar, aku tahu dia pasti kesalkan dengan sikapku ini. Hehehehe.

"Om!" panggilku. Dia tidak melihatku, masih fokus menyetir.

"Om!" panggilku lagi, dia mulai bergumam pelan.

"Om, bicara dong! Aku bosen banget tau." Aku memukul-mukul lengannya pelan. 

"Suruh siapa kau ikut?" 

Jleb, apa-apaan itu? Dia tidak punya hati ya? Masih mending aku mau ikut tau. 

"Aaiih, tau gini aku tadi mending tiduran aja di kamar." Aku berbasa-basi.

Ckitttt. 

Dia langsung mengehentikan mobil, secara tiba-tiba.

"Kenapa berhenti?" tanyaku heran.

"Turun!" perintahnya. Aku sampai tidak bisa menutup mulutku, apa maksudnya menyuruhku turun?

"Apaan sih?" Aku melipat tangan di dada. "Seenaknya nyuruh orang turun." Aku membrengut kesal.

"Tadi kau bilang ingin tidur di rumah yasudah sana balik ke rumah!" dia mendorong bahuku kasar. Dasar tidak bisa lemah lembut apa sama cewek. Dan lagipula kenapa dia menganggap serius perkataanku tadi, aku kan hanya bercanda. Ya walaupun tidak lucu sih.

"Aku tidak serius mengatakan itu." Aku melotot padanya. "Lagi pula siapa yang mau tidur di sore-sore begini," lanjutku.

Dia menatapku acuh, seperti tak berdosa sudah mendorongku tadi. Dasar pria tua. 

Setelah itu kami melanjutkan perjalan lagi, tidak lama kemudian kamipun sampai di tempat tujuan. Setelah mencari tempat parkiran Aku dan om Aska keluar dari mobil dan langsung masuk ke supermarket.

Aku mengekorinya dari belakang, mengambil ancang-ancang bersembunyi, takut kalau ada yag mengenaliku nanti. Wajahku telak mengenai punggungnya, kenapa dia tiba-tiba berhenti sih? 

"Sakit tau om." Aku mengusap-usap keningku yang terasa sakit.

Dia menatapku datar. "Suruh siapa kau berjalan di belakangku?" tanyanya.

Jadi maksudnya aku yang salah gitu? Iya? Aku kesal sekali dengannya. Aku memukul-mukul dadanya. "Dasar kau tidak berperasaan," dia hanya diam, membiarkanku memukulinya.

Detik selanjutnya aku baru menyadari kalau sekarang aku dan dia sedang jadi pusat perhatian orang-orang yang lalu lalang. Beberapa orang ada yang tersenyum-senyum sebagiannya lagi tak habis pikir dengan tingkahku. 

Refleks aku langsung menjauh darinya dan segera menutup wajahku dengan kedua tanganku, aku sangat malu sekarang. 

"Kau tidak usah malu seperti itu." Aku mengintip dari celah jariku. Dia tersenyum tipis, sangat tipis padaku. Wah ini pertama kalinya dia tersenyum hanya khusus untukku? Kenapa aku jadi senang begini.

Dia mendekat padaku dan menarik tanganku, aku membelalakkan mataku antara percaya dan tidak. Dia balik menatapku datar. "Cepatlah!" 

Tubuhku refleks berjalan mengikuti karena dia menarik tanganku. Aku baru sadar, tangannya kenapa besar sekali?

"Kenapa kau sok perhatian begini padaku?" Aku berjalan di sampingnya.

Dia tidak menjawab dan masih sibuk melihat ke kanan dan ke kiri. 

Ooo aku tahu, pasti dia tertarik ya padaku makannya bersikap manis seperti ini. Sudah kuduga, tidak akan ada cowok yang tidak tertarik padaku, apalagi pria tua semacamnya. Hihihihi.

Plakkk.

Aku tersadar saat merasakan sesuatu mengahantam pipi kananku sedikit keras. Aku langsung menatap kesal padanya, kenapa dia seenaknya menamparku?

"Kau aneh," lagi-lagi dia mengataiku aneh. "Kenapa kau senyum-senyum sendiri?" lanjutnya lagi. 

"Aku? Senyum-senyum sendiri?" Aku mengulang kalimatnya. "Seorang Yara tidak akan mungkin bertingkah gila seperti itu." Aku mengibas rambutku dengan tanganku yang bebas, lalu tersenyum centil padanya.

Dia menatapku tak percaya. "Terserahmu," lalu berlanjut jalan lagi. 

Kami sudah lima belas menit berjalan menglilingi supermarket tapi om Aska bahkan belum membeli satu barangpun. 

"Om!" Aku mulai merengek, kakiku sudah terasa pegal sekarang.

"Mmmm?" gumamnya pelan tanpa melihatku.

"Dari tadi kita hanya berkeliling tanpa mengambil apapun, sebenarnya apa yang kau cari?" Aku sedikit berteriak tepat di telinganya, walaupun aku harus berjinjit karena tubuhnya lebih tinggi dariku.

"Sebenarnya aku masih bingung harus memasak apa untuk nanti malam," ujarnya pelan. 

Ya Tuhan, kenapa dia seperti ini?

"Kalau kau bingung, lebih baik kita beli makanan siap saji saja." Aku memberi saran, bukankah saranku ini bagus. 

"Idemu buruk sekali." Om Aska berlalu meninggalkanku.

"Hey tunggu!" Aku berjalan cepat mengejarnya, kenapa langkahnya begitu besar sih? Aku jadi susah menandingi jalannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status