Share

Bab 6

Kami kembali ke rumah saat hari sudah mulai gelap, jujur aku sudah sangat lelah karena lebih dari dua jam aku berjalan terus. Aku baru tahu ternyata om Aska itu bisa memasak, makannya dia lebih memilih masakan sendiri untuk tetangga yang bakalan datang nanti malam.

Aku sudah siap-siap sekarang, dengan pakaian rumahan yang terlihat sopan. Aku melihatnya yang sedari tadi sibuk memasak, sedikit kasian sih kalau melihat wajahnya yang tampak kelelahan itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku kan tidak pintar memasak. Maaf sekali ya om.

Aku berjalan menuju kulkas, mengambil beberapa buah-buahan dan cake yang kami beli tadi saat perjalanan pulang. 

Dia bernafas lega saat masakan buatannya sudah terhidang rapih di atas meja. Lalu terduduk lelah di kursi, sesekali menyeka keringat yang terus-teruss mengalir di bagian kening dan leher.

"Sebaiknya kau mandi dulu om." Aku mendekatinya sambil menaruh buah dan cake yang ku ambil tadi di atas meja. "Keringatmu bau sekali." Aku menutup hidung, membuatnya mau tak mau melihatku. Sebenarnya aku berbohong, dia tidak bau sama sekali, malah wangi parfumenya masih tercium sangat jelas di hidungku.

Dia tidak mengatakan apapun, kemudian pergi naik ke lantai dua. Sepertinya dia akan mandi.

Beberapa menit berlalu, aku hanya duduk sambil memakan buah jeruk. Lalu-

Aku mulai mengalihkan mataku dari jeruk yang ku makan, dan langsung melihat  makanan-makanan yang sudah terhidang di atas meja. Kenapa aromanya sangat harum sekali? Sepertinya enak. Dari sekian banyaknya makanan yang terhidang, hidungku sepertinya lebih tertarik mencium ke arah ayam yang di lumuri sambal cabe ijo, sepertinya enak. 

Boleh gak ya aku coba, lagiankan dia gak bakalan tahu kalau aku mengambilnya satu potong saja. Hehehehe, aku arahkan tanganku mengambil bagian sayap yang terletak paling atas.

Plakkk.

"Aduh!" pekikku kuat. Lalu menoleh kesal ke arahnya yang tiba-tiba datang dan langsung main pukul tanganku. 

"Singkirkan tangan jorokmu itu!" bentaknya.

"Kau!" Aku melihatnya penuh perasaan tidak suka. "Tidak bisakah kau sedikit lembut pada perempuan? lihat ini tanganku sampai merah kau buat!" Aku bangkit dan balas berteriak kuat di depannya.

"Aku tidak perduli." Om Aska mengangkat kedua tangannya. 

"Kau ini." Aku menginjak kuat kakinya.

"Kau!" dia balas menjitak kuat kepalaku. Kan benar, dia memang tidak punya hati, bagaimana bisa di bersikap begitu kasar pada perempuan se imut diriku.

Aku ingin membalasnya lagi, tapi ku urungkan saat bel rumah berbunyi. Aku yakin itu pasti para ibu tetangga sebelah yang heboh tadi pagi. 

"Ada yang datang," kataku padanya yang tampak diam saja. 

"Kau yang sambut mereka!" titahnya. 

"Eh om, mereka itu kan tamu yang om undang, kok aku sih yang di suruh?" cibirku.

Dia menatapku tanpa ekspresi. "Sudah sana!" lalu mendorongku begitu kuat, hampir saja aku tersungkur tadi. 

"Kau jahat sekali!" celutukku lalu dengan cepat menuju pintu utama dan langsung membukanya. Dan benar saja, wajah-wajah orang yang sedang berdiri di hadapanku ini sama dengan wajah ibu-ibu heboh tadi pagi. Ibu-ibu ini juga membawa suaminya datang, berarti kalau di hitung ada enam orang yang datang. Kenapa ramai sekali.

"Selamat malam!" sapa mereka berbarengan sambil tersenyum manis ala-ala orang bertamu. 

"Malam," jawabku singkat. 

Mereka terus menyengir menampakkan gigi karena belum ku persilahkan masuk.

Aku menarik kedua ujung bibirku, membuat senyum selebar mungkin. "Silahkan masuk pak, bu!" Aku sedikit membungkukkan badan. Walaupun aku tidak suka, bukan berarti aku harus berperilaku tidak sopan bukan?

Mereka langsung masuk begitu aku menyingkirkam badan dari pintu. Terdengar bisikan-bisikan heboh dari mulut mereka saat om Aska datang dari arah pintu ruang makan.

"Wah salam kenal ya pak." Om Aska bersalaman dengan bapak-bapak tu. Aku mendekatinya dan berdiri di sampingnya sambil terus memberikan senyum lebarku.

"Ini istri kamu masih muda banget ya," kata ibu yang kuperkirakan umurnya empat puluhan.

"Iya cantik lagi," Ibu yang paling muda mencolek pipiku. 

"Makasih," jawabku senang, aku akan selalu senang kalau ada yang memujiku. Hehehe.

"Yaudah mari duduk dulu!" Om Aska menuntun mereka duduk di sofa. Wah dia sangat ramah sekali, ternyata dia juga hebat ya dalam berakting. 

"Iya iya terimakasih," ujar mereka berbarengan.

Aku ikut duduk di samping om Aska, tapi tetap berjaga jarak tidak terlalu dekat.

"Maaf ya kalau kami ini mengganggu kalian malam-malam," kata bapak-bapak berkumis tebal. Sedikit bersyukur sih karena kumisnya om Aska tidak setebal itu. 

"Tidak apa-apa tidak masalah, kami ini kan orang baru, seharusnya kami yang datang kerumah bapak-bapak dan ibu," jawab om Aska.

Om Aska tiba-tiba menyenggol kakiku dengan kaki miliknya. Aku langsung melihatnya sambil menaikkan alisku.

Dia mendekat kearahku dan berisik pelan. "Minum," katanya.

Ooo, jadi dia mneyuruhku mengambil minum untuk para tamunya ini? Oke lah tidak masalah. Aku segera bangkit dari sofa sambil terus tersenyum pada  mereka, lalu berjalan cepat ke arah dapur. 

Karena ini malam jadi aku akan buat teh hangat saja. Sambil menunggu air mendidih aku mengambil beberapa koleksi kue keringku yang ku masukkan ke dalam toples kaca.

Tidak butuh waktu yang lama, setelah air mendidih aku langsung membuat teh dan membawanya ke ruang tengah tepat mereka berkumpul.

Sambil terus tersenyum aku menyodorkan gelas-gelas itu di hadapan mereka. "Silahkan!" 

"Tidak perlu repot-repot," kata ibu-ibu yang kelihatan lebih muda di antara lainnya, umurnya mungkin masih sekitar pertengahan tiga puluhan.

Aku kemudian duduk di samping om Aska lagi. 

Beberapa menit berlalu, aku terlarut dalam pikiranku sendiri sampai tak tahu sudah sampai mana arah pembicaraan mereka. 

"Yar!" Om Aska menyenggol pahaku, dan aku langsung melihatnya. 

"Sepertinya dek Yara ini pemalu ya orangnya," ujar ibu yang paling muda tadi. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataannya.

"Kita belum kenalan lo dek Yara," mereka dengan mudahnya memanggilku dengan sebutan dek, tapi aku juga tidak merasa keberatan. Yasudahlah.

"Oh iya." Aku mengangguk sopan. "Yara." Aku menyalami mereka satu persatu, sedikit terlambat sih seharusnya kan acara perkenalan begini di lakukan tadi seperti yang di lakukan om Aska begitu mereka masuk ke rumah.

"Ayu," kata ibu-ibu yang paling tua.

"Indri," kata ibu-ibu yag duduk di tengah.

"Kalau saya Uci," kata ibu yang paling muda.

"Salam kenal." Aku tersenyum sopan lagi, tidak bisakah aku bersikap selayaknya diriku yang biasa? Kenapa harus seformal ini.

"Yaudah bagaimana kalau kita makan malam dulu, saya sudah siapkan." Om Aska terlihat begitu semangat. 

"Gak usah lah gak usah," tolak salah satu dari bapak itu.

"Ini memang sudah saya siapkan untuk bapak dan ibu," dia tersenyum. 

"Oh iya ini saya ada bawa sesuatu untuk kalian, tolong di terima ya!" Bu Uci memberikan paper bag berukuran kecil padaku. "Jangan sungkan tolong terima!" dia menarik tanganku.

"Terima kasih!" Aku mengambilnya. Kemudian bu Indri dan bu Ayu juga memberikan hal yang sama padaku, tapi dalam bentuk yang berbeda. Aku jadi ingin melihat apa isi di dalmnya ini. Mana tau ada makanan enak yang aku suka. Hehehe.

***

"Wah ini semua sangat enak!" Seru suaminya Bu Indri sambil mengunyah makanan yang tadi di masak Om Aska. Tanpa ragu dia mengambil lagi lauk yang ada di depannya dan langsung memakannya. Tampak sedikit memalukan kulihat. 

"Iya ini enak sekali,"  suaminya Bu Uci juga ikut-ikutan, kemudian memakannya kembali dengan lahap.

Hah, aku memang harus mengakuinya sih, rasanya begitu enak. Mulutku seperti memakan masakan yang di sajikan di restoran yang sering ku datangi oleh mama dan papaku. Kalau begini ceritanya, aku akan memintanya memasak makanan seperti ini setiap hari. Pasti akan sangat menyenangkan, mungkin.

"Bolehkah aku tambah lagi?" tanya Bu Uci tanpa malu-malu, apa mereka ini memang sudah tidak punya urat malu lagi. Mereka sama anehnya.

"Ambil saja kak, tidak usah sungkan-sungkan, makanan ini memang untuk kalian!" ujar Om Aska diiringi dengan tawa kecilnya. Mungkin merasa bahagia karena masakannya di puji oleh orang. 

Mereka semua makan seperti orang yang sudah tidak makan lima hari. Dalam kurun waktu yang singkat akhirnya makananpun habis tak tersisa. Mereka parah sekali, padahal aku ingin menyimpannya sedikit kalau ada sisa, kan lumyanan. Hiks.

"Haduh perutku seperti mau meledak,"  suaminya Bu Ayu duduk menyender di kursi sambil memegang perutnya yang memang sudah buncit, tambah buncit lagi karena dia makan sampai tambah tiga piring tadi.

"Kapan-kapan kami boleh main ke mari lagi kan?" tanya Bu Indri dengan begitu senang. Mengapa mereka bersikap sesantai itu kepada orang yang baru mereka kenal tadi pagi. Terus mau datang kemari lagi? Oh aku tau maksudnya, mereka ingin makan makanan enak lagi secara gratiskan, dasar tidak tahu diri. Lihat saja akan ku tutup pintu rumah rapat-rapat agar mereka tidak bisa masuk lagi.

"Tentu saja boleh kak," eh pria tua, mengapa kau mengiyakan permintaannya, kau ini pasti mau cari muka agar terlihat baik di depan para tetangga.

Setelah makan mereka tidak langsung pulang, padahal ini sudah jam sepuluh malam, aku sudah capek dan ingin tiduran di kamar. 

Kami duduk di karpet tebal dekat samping sofa di ruang tamu tadi. 

Kelompok di bagi menjadi dua, aku dan para ibu-ibu ini duduk melingkar di karpet sedangkan om Aska dan bapak-bapak itu duduk di atas sofa. 

"Dek cerita dong, kok bisa kamu nikah sama Aska?" Bu Uci menyenggol-nyenggol lenganku sambi. tersenyum-senyum.

Aku harus jawab jujur gak ya, pertanyaan seperti ini saja sungguh membuatku pusing. "Aku tidak tahu bu." Aku cengar-cengir. 

"Kau sepertinya masih malu-malu untuk menceritakan," kini gantian bu Ayu yang angkat suara.

"Oh iya Yar, panggil saja kami ini kakak jangan ibu, kami kan belum terlihat sangat tua." Bu Indri menepuk tanganku. 

Kakak? Mereka ini bahkan umurnya hampir mirip dengan tante Ulfi, adiknya mamaku. 

"Tapi kan ibu-ibu memang-" 

"Syuuut!" Bu Uci memotong perkataanku. "Iya kami ini memang sudah berumur, tapi kita ini kan sama-sama sudah menikah tidak masalah kalau kami menganggapmu adik, begitu juga denganmu. Tidak perlu malu atau sungkan pada kami, ya kan kak?" Bu Uci menoleh pada Bu Indri dan Bu Ayu.

"Iya," jawab mereka bersamaan. 

Oke lah aku harus mengalah, lagipula yang di katanya itu memang benar, status sekarang memang sudah resmi menjadi istri dari pria tua.

"Baik kak." Aku tersenyum manis.

"Haduh kau sungguh manis sekali, pantas saja Aska menikahimu." Bu Uci menekan-nekan pipiku. Tidak bisakah dia tidak menyentuh pipiku, tadi dia mencoleknya, sekarang menekan-nekanya entah apa yang akan ia lakukan lagi nanti.

"Kakak-kakak juga cantik." Aku melihat mereka satu persatu, emang benar aku tidak bohong. Mereka tergolong cantik untuk ukuran wanita-wanita yang sudah berkeluarga.

"Dek ceritakan dong!" kata bu Uci. Ceritakan apa? Yang jelas dong ngomongnya.

"Cerita apa kak?" tanyaku bingung.

"Itu!" yang lainnya ikut-ikutan, sepertinya mereka ini memang sudah dekat sejak lama sampai-sampai mengerti maksud perkataan dari salah satu temannya.

"Apa kak, aku gak ngerti?" Aku juga mulai penasaran dengan yang mereka maksudkan.

"Malam pertama kalian." Bu Indria berujar pelan, sedikit berbisik tapi masih dapat di dengar oleh semuanya.

"Hah?" Aku spontan berteriak, aku gak salah denger kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status