Mirela adalah seorang gadis berusia 24 tahun yang memiliki tinggi badan 160 cm, berat badan 49 kg. Berkulit putih dengan rambut hitam panjang yang saat ini digelung membentuk kipas.
Mata besarnya yang dihiasi bulu mata lentik yang sangat cantik membuat wajah ovalnya yang kecil menjadi lebih menarik. Walaupun hanya mendapatkan riasan tipis dan natural dari seorang penata rias yang saat ini sedang mendandaninya di kamar.
Dari bibirnya selalu tersungging senyuman manis membuat wajahnya yang sudah cantik menjadi semakin bersinar.
Mirela merasa bahagia dan gembira sekali karena hari pertunangan yang dinantikannya akan digelar beberapa jam lagi, setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan kekasih sekaligus bosnya yang bernama Rengga.
'Selangkah lagi setelah pertunangan ini Aku dan Rengga akan menikah,' batin Mirela sambil tersenyum bahagia mematut dirinya di cermin.
"Wah ... wah, adikku sudah dewasa dan sebentar lagi ada yang punya," kata Pras yang saat ini berdiri di belakang Mirela.
"Yang jomblo gak boleh iri," sahut Mirela kalem.
"Gak iri, asal jangan lupa pelangkahnya saja," balas Pras sambil tersenyum dan memgedipkan matanya.
"Pelangkah apaan?"
"Kata orang tua zaman dulu, kalau adik nikah mendahului kakaknya harus kasih pelangkah," jawab Pras sumringah.
"Dih ... memang kakak minta pelangkah apaan?" tanya Mirela ingin tahu.
"Comblangin saja Aku sama teman Kamu yang namanya Veny!"
"......" Mirela terdiam, dia bukannya tidak setuju sahabatnya menjadi kakak iparnya namun, Mirela khawatir kalau dia menyampaikan maksud hati Pras kepada Veny sementara sahabatnya itu tidak ada perasaan apa-apa kepada kakaknya, pasti hubungan antara dia dan Veny akan menjadi serba canggung.
"Kok diam?"
"Emm ... gimana ya? Masalahnya Dia mau gak sama kakak? takutnya nanti hubungan Aku sama Dia malah jadi gak enak," jawab Mirela ragu sambil menatap kakaknya.
"Aku akan berusaha."
"Kalau Veny gak mau?"
"Aku akan menyerah, tidak akan memaksa," jawab Pras meyakinkan.
"Oke."
"Mirela, itu seksi acara sudah bolak balik bertanya kapan acara akan dimulai? Ini sudah lewat dari jadwal acara," kata mamanya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar rias Mirela dengan wajah cemas.
"Baru juga satu jam, Ma," sahut Pras sambil melihat jam yang melingkar di tangan kanannya.
"Iya, ma, tunggu sebentar lagi, mungkin Rengga terjebak macet," kata Mirela sambil memegang tangan mamahnya untuk menenangkan.
"Ya sudah kalau begitu, mama keluar dulu menemani papa kalian menjamu tamu," kata mamanya sambil menghela napas, entah kenapa perasaannya hari ini terasa sangat tidak enak.
Pesta pertunangan Mirela dan Rengga digelar di rumah milik orangtua Mirela di Bandung, rumah itu selama ini memang hanya dihuni oleh Mirela dan kakaknya Pras, sementara orangtuanya tetap berada di Jakarta karena papa Mirela adalah seorang pejabat kota.
Meja panjang berisi berbagai macam makanan daerah telah tersaji, di sebelahnya terdapat meja serupa yang menawarkan makanan ala barat, memudahkan para tamu untuk memilih makanan yang mereka inginkan.
Tamu-tamu yang hadir saat ini memakai gaun merk ternama yang berharga fantastis dan tidak realistis, walau tidak ada yang menjamin kalau gaun merk ternama yang mereka kenakan itu adalah produk asli.
Mirela duduk di ruang rias dengan hati sedih dan galau, pasalnya sudah dua jam Rengga masih juga belum datang, padahal sebelumnya dia janji akan datang lebih awal sebelum acara dimulai.
Gadis itu terus bolak balik mengitari ruangan sambil berusaha menelepon Rengga namun, tidak juga mendapatkan jawaban, hanya nada sambung yang berakhir dengan voice mail.
"Aduh ... gimana sih, ayo angkat Kak Rengga, ayo angkat," gumam Mirela pelan dengan hati cemas.
"Gimana, Dek? Sudah ada jawaban dari Rangga belum?" tanya Pras tidak kalah cemasnya.
Dia sudah bolak balik menghubungi Rengga juga tapi tidak mendapatkan jawaban. Bahkan tangan kanan Rengga pun saat dihubungi tidak mengangkat teleponnya.
"Belum kak," sahut Mirela dengan mata berkaca-kaca.
"Sial! Kemana sih tuh orang?!" kata Pras marah sambil menonjok dinding karena kesal.
" ... " Mirela rasanya ingin menangis tapi dia tahan karena takut malah makin membuat keluarganya cemas.
Waktu terus bergulir, para tamu undangan sudah mulai tidak betah dan kasak kusuk bertanya-tanya kapan sebenarnya acara pertunangan yang telah mereka hadiri ini dimulai.
Papa dan mama Mirela juga bingung dengan situasi dan kondisi ini, tidak ada yang dapat mereka lakukan selain menunggu dan terus menghibur tamu undangan dan meminta mereka untuk sabar.
Pembawa acara juga telah berkali kali datang dan menanyakan kapan acara akan dimulai namun, baik Mirela maupun keluarganya tidak dapat memberikan jawaban pasti karena Rengga belum juga datang.
Pras memerintahkan pembawa acara untuk memajukan acara lainnya dan memundurkan acara inti sambil menunggu Rengga datang.
"Dimana Rengga?" tanya sang papa kepada Pras cemas.
"Gak tau, Pah, sampai sekarang masih belum bisa dihubungi," sahut Pras sambil mengusap keringat di dahinya.
"Bagaimana sih anak itu ... coba telepon ke orangtuanya, kerabatnya, siapa saja yang dekat dengannya coba ditelepon, gak mungkin semuanya gak ada yang jawab kecuali mereka semua mati!" cetus sang papa kesal.
"Hust pah! jangan sembarangan kalau ngomong, didengar orang tidak enak kalau sampai ke telinga Rengga," ingat sang mama.
"Biar! Bocah kurang ajar! Apa maksudnya mengulur-ulur waktu seperti ini?!" sahut sang papa jengkel.
Pras hanya diam melihat kemarahan orang tuanya, dalam hati dia juga merasa marah dan kesal, entah apa yang sedang dikerjakan oleh sahabatnya itu hingga dia datang terlambat selama berjam-jam.
"Apa jangan-jangan Dia gak datang ya?" tanya sang mama tidak dapat menyembunyikan perasaan cemasnya.
"Gak mungkin!" bantah Pras.
Pras yakin sahabatnya itu pasti memiliki alasan tersendiri hingga datang terlambat, tidak mungkin Rengga tidak datang.
"Dia pasti datang!" kata Pras lagi berusaha meyakinkan kedua orangtuanya.
" ... " mamanya terdiam
"Awas saja kalau Dia tidak datang!" ancam papanya gusar.
Seumur-umur jadi pejabat pemerintahan kota baru kali ini dia disuruh menunggu orang sampai hampir lima jam sendiri, padahal biasanya dia yang ditunggu oleh banyak orang.
Mirela berdiri di depan jendela kamarnya di lantai dua dan melihat ke luar dengan cemas, memikirkan berbagai sebab dan kemungkinan Rengga datang terlambat.
Rasanya tidak ada yang salah dengan sikapnya dan hubungan mereka selama ini, jelas keterlambatan Rengga bukan karena ada masalah pribadi yang belum terselesaikan di antara mereka.
Ini memang murni karena Rengga datang terlambat.
Tiba-tiba Mirela teringat berita yang dia lihat di televisi, tentang kecelakaan beruntun yang menewaskan pengantin pria dan keluarganya saat berkonvoi menuju rumah mempelai wanita.
"Tidak ... itu tidak mungkin sama! Mereka akan menikah sementara Aku dan Rengga hanya baru bertunangan," gumam Mirela sambil menggelengkan kepalanya mengusir pikiran buruk yang memenuhi benaknya.
Gadis itu kembali menatap keluar jendela mencari-cari bayangan calon tunangannya namun, Rengga masih juga belum terlihat.
Dimana Sebenarnya dia saat ini?
Rengga pusing tujuh keliling, memikirkan ancaman Dean, pengusaha multi nasional yang sangat berpengaruh di Indonesia. Dia mengancam akan menjegal usaha Rengga kalau Rengga tidak mau membatalkan pertunangannya dengan Mirela dan menikahi adik Dean yang bernama Dina. Ancaman itu datang tepat di pagi hari saat Rengga bersiap akan ke tempat acara pertunangannya. Tepat di hari pertunangannya, pada hari yang sama, hati dan pikiran Rengga dipaksa untuk memilih perkara yang sangat sulit. Rengga sangat mencintai Mirela, kekasihnya. Namun, dia juga mencintai usahanya dan tidak ingin usahanya itu jatuh bangkrut karena ancaman Dean yang tidak main-main. "Bagaimana keputusanmu? Silakan putuskan sekarang, Pak Dean saat ini sedang menunggu di mobil," kata tangan kanan Dean itu datar tanpa tersenyum. "Apa lagi yang harus Aku putuskan? Bukankah bos Kamu itu sudah memutuskannya untukku?" tanya Rengga sinis. "Jaga cara bicaramu, Bosku bukan lawan yang bisa Kamu hadapi!" ingat tangan kanan Dean p
"Kalian naksir ke orang yang sama sekali tidak menaruh perhatian kepada kalian, itu sebabnya kalian merasa iri kepadaku karena menjalin kasih dengan orang yang kalian taksir, sekalipun Dia tidak datang hari ini, tapi posisiku masih jauh lebih baik dari kalian yang hanya bisa menatapnya dari kejauhan tanpa bisa menyentuhnya!" kata Mirela lagi. "Phff ... ternyata mereka hanyalah ayam yang merindukan burung merak," sahut Veny sinis. "Pergi! Tidak ada tempat untuk pecundang seperti kalian di rumah ini!" usir Mirela. "Siapa juga yang ingin berlama-lama di sini! Cih!" sahut salah satunya sambil masuk ke dalam mobil diikuti temannya dan berlalu. Setelah mereka pergi Mirela mulai tidak dapat lagi membendung air mata yang sejak tadi ditahannya. "Sabar," kata Veny sambil memeluk dan menepuk punggung sahabatnya itu berusaha meredakan kesedihannya. Pras yang menyaksikan semua kejadian tersebut merasa geram kepada Rengga yang membatalkan pertunangan dengan adiknya, Mirela secara sepihak te
Sesampainya di dalam rumah .... Mereka duduk berhadap-hadapan di meja kopi, Pras melonggarkan ikatan dasinya lalu menghela napas. "Kak?!" "Apa?!" "Apa maksud Kakak mengatakan kalau Rengga itu terpaksa dan dipaksa?" "Kakak akan cerita tapi janji Kamu harus tetap tenang dan jangan bermimpi untuk balikan lagi dengan Dia." " ... " "Ingat Mirela, Dia telah meninggalkan Kamu. Apapun alasannya yang pergi biarkan pergi dan jangan mengharapkannya untuk kembali!" "Baik." Pras kemudian menceritakan semua yang dia dengar dari Rengga, termasuk persoalan perjodohan antara Rengga dengan adiknya Dean. Akhirnya Mirela mengerti mengapa Rengga memutuskan pertunangan mereka, walau kecewa Mirela bisa memaklumi keputusan Rengga, bagaimana pun kalau diukur dengan timbangan di dalam hati Rengga, jelas kedudukan perusahaan dan karyawannya itu jauh lebih berat dibandingkan dengan dirinya. 'Ya iya lah, memangnya siapa Aku bisa membuat Dia melepaskan semua yang ada dalam genggamannya asalkan bisa teta
'Aneh, bukankah wanita biasanya paling sibuk kalau ingin menikah? Untuk pemilihan baju, gedung dan lain-lain saja bisa memakan waktu berbulan-bulan ... bagaimana mungkin Dina bisa bersikap ceroboh dan masa bodoh seperti itu?' Rengga merasa tidak habis pikir. "Bagaimana? Kapan Kamu akan menyebarkan undangan?" tanya Dean meminta kepastian dari seberang telepon. "Baiklah, secepatnya Aku akan mengurus semuanya." "Bagus, Aku tutup dulu teleponnya, Aku terlalu sibuk untuk bermain game seperti Kamu!" kata Dean sambil menutup teleponnya. Rengga terhenyak kaget mendengar perkataan Dean. "Sial! Dari mana Dia tahu kalau Aku tadi sedang bermain game?" gumam Rengga sambil mengamati sekeliling ruang kantornya. pemuda itu mengerutkan kening. 'Apakah selama ini Dean selalu memata-matai Aku?' pikirnya sambil terus mengawasi seluruh ruangan. Tiba-tiba saja Rengga jadi merasa tidak aman ketika berada di kantornya sendiri. Dia terus mencari keberadaan cctv atau alat serupa yang dipasang oleh Dean di
Bab 6 Dina memang tidak menghina Mirela namun, mantan teman teman kerja Mirela lah yang pada akhirnya mempermalukannya. "Cih! tidak tahu malu, masih berani datang setelah ditolak mentah-mentah sama pak Rengga," cetus salah satu rekan kerjanya itu. Mirela yakin walaupun dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang mengatakan hal tersebut, orang itu pasti salah satu teman sekantornya yang selama ini merasa iri dan tidak suka dengan hubungan antara dirinya dan Rengga. "Dikiranya dengan Dia datang ke pesta ini, pak Rengga akan berubah pikiran? Ha! Mimpi!" celoteh yang lain. Pras menatap berkeliling mencari sumber suara- suara yang melecehkan dan menghina adiknya. Dean mengepalkan telapak tangannya merasa marah mendengar kata-kata penghinaan diarahkan kepada gadis yang ditaksirnya. Dia menelepon keamanan dan ketika keamanan itu datang Dean menyuruh keamanan itu menciduk gadis-gadis yang telah melontarkan kata-kata pelecehan itu ke luar. "Stop! Apa-apaan ini?Apa yang Kamu lakukan?! Ka
Setelah puas mengambil foto, reporter itu beringsut menjauh, memeriksa foto-foto hasil jepretannya dan tertawa-tawa karena merasa puas. "Ini pasti akan menjadi berita heboh, sepertinya Aku akan mendapatkan keuntungan yang besar," kata reporter itu gembira sambil masuk ke dalam mobilnya dan berlalu. Keesokan paginya berita di berbagai media tentang Rengga yang menangis dan teriak-teriak di depan rumah Mirela saat malam pengantinnya mulai menjamur. Dean yang sedang membaca berita di ponselnya mengerutkan alis ketika melihatnya dan merasa kesal. "Dasar bedebah! Bisa-bisanya Dia cari sensasi di malam pernikahannya di depan rumah Mirela!" gerutu Dean sambil menggebrak mejanya. Dean mulai menelpon Dina dengan wajah merah karena marah, dia benar-benar merasa malu dengan berita yang tersiar soal adik iparnya itu. "Kak ...," sapa Dina dari seberang telepon dengan suara yang masih mengantuk. "Dimana Dia?!" tanya Dean to the point. "Dia Siapa?" tanya Dina heran. "Suami terkutuk Kamu itu!
Sementara itu di dalam sebuah kantor bergaya minimalis milik Rengga .... Pria tampan itu sedang menerima laporan dari anak buahnya tentang tugas yang telah ditugaskan kepadanya. "Sudah dibereskan, Bos!" lapor anak buah Rengga ketika diditanya soal perkembangan tugas yang telah di berikan kepadanya. "Bagus, bagaimana dengan fotografer usil itu?" tanya Rengga sambil bertopang dagu menatap bawahannya malas. "Ketika kami menutup media tempatnya pertama kali up foto dan video, Dia sudah kabur ke luar negeri," sahut bawahannya sambil mengelap keringat yang mulai timbul di dahinya. Dia tidak berani menatap Rengga yang saat ini sedang menatapnya, di dalam hati dia merutuk karena fotograper itu cepat sekali mengambil langkah seribu, sepertinya fotograper itu telah memprediksi kalau Rengga akan mengutus orang untuk menanganinya. "Ke luar negeri? Kemana tepatnya Dia kabur?" tanya Rengga sambil mengtuk pulpennya di meja. " ... " Anak buah Rengga terdiam. Dia juga tidak tahu kemana orang itu
"Awal sekali Aku melihat video itu adalah tadi pagi kemudian Aku merekamnya untuk diperlihatkan kepadamu. Namun, ketika siang tadi Aku cek video itu sudah tidak ada, dan ada kabar media pertama yang mendapatkan dan menyebarkan video dan foto Rengga itu telah menyatakan kebangkrutannya," jelas Veny sambil tersenyum merasa lucu dengan apa yang telah terjadi terhadap mantan tunangan sahabatnya tersebut. "Apakah itu benar-benar perbuatan Rengga?" tanya Mirela heran dan tidak percaya. Seingatnya Rengga adalah seorang yang selalu mempertimbangkan banyak hal dengan pikiran yang positif. Walaupun media tersebut telah memberitakan keburukannya tapi di media itu juga banyak pegawai yang tidak bersalah dan bekerja untuk menghidupi anak dan istrinya. Jadi Mirela tidak percaya kalau mantan tunangannya itu akan mengambil langkah kasar seperti itu. 'Itu seperti bukan Dia ... jangan-jangan itu hasil pekerjaan orang lain,' pikir Mirela sangsi. Veny memutar bola matanya merasa bosan melihat saha