Share

Bab 2. Dituduh Berhalusinasi

Rengga pusing tujuh keliling, memikirkan ancaman Dean, pengusaha multi nasional yang sangat berpengaruh di Indonesia. 

Dia mengancam akan menjegal usaha Rengga kalau Rengga tidak mau membatalkan pertunangannya dengan Mirela dan menikahi adik Dean yang bernama Dina.

Ancaman itu datang tepat di pagi hari saat Rengga bersiap akan ke tempat acara pertunangannya. 

Tepat di hari pertunangannya, pada hari yang sama, hati dan pikiran Rengga dipaksa untuk  memilih perkara yang sangat sulit.

Rengga sangat mencintai Mirela, kekasihnya. Namun, dia juga mencintai usahanya dan tidak ingin usahanya itu jatuh bangkrut karena ancaman Dean yang tidak main-main.

"Bagaimana keputusanmu? Silakan putuskan sekarang, Pak Dean saat ini sedang menunggu di mobil," kata tangan kanan Dean itu datar tanpa tersenyum.

"Apa lagi yang harus Aku putuskan? Bukankah bos Kamu itu sudah memutuskannya untukku?" tanya Rengga sinis.

"Jaga cara bicaramu, Bosku bukan lawan yang bisa Kamu hadapi!" ingat tangan kanan Dean penuh kebanggaan.

" ... " Rengga terdiam tidak berkutik.

Akhirnya Rengga memilih untuk menghindar dari Mirela dan memutuskan pertunangan mereka secara sepihak.

Tangan kanan Dean keluar dari rumah Rengga dan masuk ke dalam mobil tempat bosnya menunggu.

"Bagaimana?" tanya Dean sambil bersandar malas di kursi belakang.

"Sukses bos, Dia tidak akan datang ke acara pertunangan itu," jawab tangan kanannya bangga, karena berhasil melaksanakan tugas yang diberikan oleh bosnya.

"Bagus!" puji Dean sambil tersenyum malas.

" ... " tangan kanannya hanya tersipu merasa bahagia mendengar pujian dari bosnya.

"Jalan!" perintah Dean kepada sopir pribadinya.

Mobil mewah keluaran terbaru itu pun meluncur pergi meninggalkan kekaguman dari orang-orang yang melihat dan lalu lalang di sekitarnya.

Mirela terus bersabar menunggu walaupun dia sendiri tidak tahu kapan Rengga akan datang, para tamu satu persatu mulai pamit dan hanya tinggal beberapa orang saja yang masih bertahan, di antaranya adalah teman sekantor Mirela.

Mereka ingin melihat sendiri bagaimana akhir dari acara pertunangan yang tadinya akan digelar secara besar-besaran itu.

'Ting'

Mirela mendengar suara pesan masuk di ponselnya, dengan cepat dia membukanya dan berharap itu dari Rengga namun, dia harus kembali menelan kekecewaan karena yang mengirim pesan tersebut ternyata bukan tunangannya melainkan sahabatnya, Veny.

Veny:

"Bagaimana acara pertunanganmu? Aku masih dalam perjalanan ke sana!"

Mirela:

"Belum mulai."

Veny:

"What? Gila, udah jam berapa ini?"

Mirela:

"Rengga belum datang (emot sedih)"

Veny:

"Kemana Dia?"

Mirela:

"Entah."

Veny:

"Sialan tuh orang! Keluarga Kamu gimana?"

Mirela:

"Malu (emot nangis)"

Veny: 

"Jangan sedih, Kamu haris kuat, air matamu terlalu berharga untuk menangisi laki-laki berengsek seperti si Rengga."

Mirela tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa membaca chat dari sahabatnya yang penuh dengan kemarahan dan kata-kata makian kepada tunangannya.

Mirela:

"Oke. Apa yang harus Aku lakukan?"

Veny:

"Apalagi? Usir semua tamu, mau sampai kapan Kamu akan membiarkan mereka menunggu dan bergosip ria?"

" ... " Mirela terperangah membaca kata usir tamu di pesan chat dari sahabatnya itu.

Veny:

"Aku sebentar lagi sampai, Kamu keluar saja, jangan diam terus di dalam kamar itu tidak akan menyelesaikan masalah malah bikin tamu bertanya-tanya dan berspekulasi."

Mirela:

"Oke."

Gadis itu pun menguatkan dirinya untuk keluar dan menemui tamu undangan yang masih tersisa.

Mirela naik ke atas panggung dan mendengar

para tamu yang hadir mulai berbisik-bisik.

Ada yang menatapnya kasihan ada juga yang mencibir sinis karena menganggap Mirela terlalu percaya diri untuk bisa menggaet bosnya sendiri.

Mirela menghela napas panjang berusaha untuk menghilangkan kegugupannya. Dia telah mencoba untuk percaya kepada Rengga namun, ternyata dirinya harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa laki-laki yang akan menjadi tunangannya itu tidak akan pernah datang ke acara pesta pertunangan mereka.

"Ehm ...," Mirela berdehem untuk meredakan kasak kusuk yang semakin terdengar kencang.

" ... " semua tamu undangan memalingkan wajah menatap Mirela yang saat ini ada di atas panggung.

"Mirela ...," sang Mama hampir naik ke atas panggung untuk menemani putrinya.

"Biarkan Dia menyelesaikan masalahnya sendiri, berikan kepercayaan padanya," bisik Papa Mirela kepada sang istri sambil terus memegang tangan wanita yang sudah berusia setengah baya namun, tetap masih cantik tersebut, mencegahnya agar tidak sampai ikut naik ke atas panggung.

" ... " Pras yang sedari tadi berdiri di dekat kedua orangtuanya, menatap adik perempuannya dengan tatapan khawatir.

Pemuda berusia 27 tahun itu terus menatap adik perempuannya cemas. 

Wajah tampannya  yang berbentuk oval, dihiasi sepasang mata besar dan bulu mata lentik seperti Mirela tampak terlihat tegang.

Kulitnya yang sudah putih menjadi semakin pucat seketika saat melihat adiknya naik ke atas panggung.

"Terimakasih atas kesedian para tamu undangan untuk menghadiri undangan ini dan menunggu hingga sekarang ... dengan berat hati pesta pertunangan ini kami batalkan karena satu dan lain hal," kata Mirela dengan suara bergetar menahan tangis.

" ... " hening, tidak ada satu pun yang berani bersuara, seolah semua bisa merasakan kesedihan yang telah dirasakan oleh Mirela.

"Terimakasih," kata Mirela lagi sambil membungkukkan badannya di hadapan semua tamu undangan.

'Plok. Plok. Plok.'

Terdengar suara tepuk tangan kencang dari arah pintu masuk. Semua orang menoleh ke arah suara itu dan mendapati seorang gadis berwajah cantik berambut sebahu tersenyum dan berjalan menghampiri panggung.

"Bravo!" katanya sambil mengacungkan kedua jempol tangannya ke arah Mirela yang saat ini ada di atas panggung.

Pras tersenyum terhibur melihat gadis yang ditaksirnya datang dengan gebrakan seperti itu. 

Ini memang gayanya.

Sementara itu Mirela di atas panggung tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa melihat tingkah sahabatnya saat ini.

Veny naik ke atas panggung dan merangkul bahu Mirela sambil mengambil alih mic dari tangannya dan menyerahkan mic tersebut kepada pembawa acara. 

Lalu Veny membawa Mirela turun dari atas panggung.

Mirela tersenyum kepada sahabat baik yang juga sudah dia anggap seperti saudaranya itu. Dia membawa sahabatnya itu ke gazebo yang tertutup tanaman pucuk merah.

"Cih! Tidak tahu malu, sudah berhalusinasi jadi istri bos dan ditolak, masih berani naik ke atas panggung,"  kata sebuah suara dari balik pohon pucuk merah yang kebetulan merupakan tempat parkir mobil untuk tamu undangan.

"Iya muka tembok banget," sahut suara yang lain mengiyakan.

"Siapa yang muka tembok?" tanya Mirela sambil keluar dari pagar tanaman pucuk merah dan menghampiri mereka.

Ternyata yang berbicara mengatainya itu tidak lain merupakan teman kerjanya di kantor, yang sudah lama naksir Rengga.

"Siapa yang berhalusinasi?" tanya Mirela lagi sementara Veny menatap kedua wanita yang tidak dikenalnya itu dengan tatapan sinis.

" ... " keduanya terdiam shock dengan keadaan yang tidak pernah disangka-sangka itu. 

Siapa yang mengira kalau Mirela akan mendengar secara langsung cibiran mereka di saat mereka merasa aman membicarakan Mirela di belakang punggungnya.

"Kenapa diam? Apakah Aku berhalusinasi? Kalian sendiri tahu bagaimana hubunganku dengan Rengga, tudingan kalian itu lebih pantas diarahkan kepada diri kalian sendiri!" cetus Mirela 

" ... "

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status