Share

Bab 5. Mengerikan

'Aneh, bukankah wanita biasanya paling sibuk kalau ingin menikah? Untuk pemilihan baju, gedung dan lain-lain saja bisa memakan waktu berbulan-bulan ... bagaimana mungkin Dina bisa bersikap ceroboh dan masa bodoh seperti itu?' Rengga merasa tidak habis pikir.

"Bagaimana? Kapan Kamu akan menyebarkan undangan?" tanya Dean meminta kepastian dari seberang telepon.

"Baiklah, secepatnya Aku akan mengurus semuanya."

"Bagus, Aku tutup dulu teleponnya, Aku terlalu sibuk untuk bermain game seperti Kamu!" kata Dean sambil menutup teleponnya.

Rengga terhenyak kaget mendengar perkataan Dean. "Sial! Dari mana Dia tahu kalau Aku tadi sedang bermain game?" gumam Rengga sambil mengamati sekeliling ruang kantornya.

pemuda itu mengerutkan kening. 'Apakah selama ini Dean selalu memata-matai Aku?' pikirnya sambil terus mengawasi seluruh ruangan.

Tiba-tiba saja Rengga jadi merasa tidak aman ketika berada di kantornya sendiri. Dia terus mencari keberadaan cctv atau alat serupa yang dipasang oleh Dean di kantornya namun tidak juga ketemu.

"Dimana mereka menyimpan alat itu?" gumam Rengga bingung.

Rengga terus mencari keberadaan alat yang dia curigai selama ini telah dipasang oleh Dean di kantornya untuk memata-matainya. Dia sampai melibatkan orang-orang kepercayaannya untuk ikut mencari.

"Tidak ada, Bos!" lapor tangan kanannya sambil mengusap keringat yang mengalir di dahinya sendiri dengan punggung tangan.

"Sial! Di mana mereka menyimpan barang itu!" kata Rengga marah sambil menggebrak meja kantornya.

" ... " kedua orang kepercayaannya hanya tertunduk takut, mereka juga bingung karena sudah semua bagian kantor termasuk kolong meja telah mereka geledah namun barang yang dicurigai oleh bosnya itu tidak juga bisa ditemukan.

"Sudah ... sekarang kalian bagi tugas, siapkan gaun pengantin, tempat dan segala hal yang terkait dengan pernikahan!" perintah rengga.

" ... " Kedua orang kepercayaan itu bengong menatap Rengga heran, dalam pikiran mereka bertanya-tanya, baru kemarin pertunangan bosnya dibatalkan, sekarang malah mau menikah, apakah bosnya menyesal karena telah membatalkan pesta pertunangannya kemaren dan untuk menebusnya bosnya ingin langsung menikahi Nona Mirela.

"Kok malah bengong?!"

"Siap, Bos!" 

"Arrgghh! Sialan Dean!" kata Rengga sambil mengacak acak rambutnya merasa jengkel setelah dia hanya tinggal sendirian di dalam kantor.

Rengga mengepalkan kedua tinjunya dan menaruhnya di atas meja menahan berat tubuhnya sementara matanya terus berkeliaran mencari alat yang dia duga telah disimpan oleh Dean di dalam kantornya tersebut.

Rahangnya mengeras dengan wajah yang memerah menahan marah, Dean yang menyaksikan semua itu dari balik layar monitor alat penyadap yang dipasangnya menyeringai puas karena sudah berhasil membuat Rengga bingung dan kalang kabut.

"Oke, itu akibatnya kalau Kamu berani memotong jalanku untuk mendekati Mirela, gadis yang diam-diam sudah lama Aku taksir," gumam Dean sambil tersenyum sinis.

Rengga memutuskan untuk membawa secara pribadi surat undangan pernikahannya dengan Dina yang ditujukan untuk Mirela ke kantor Pras. Dia benar-benar tidak berani untuk memberikan undangan itu secara langsung kepada Mirela karena takut akan goyah jika melihat gadis yang dicintainya itu bersedih.

"Jadi ... pada akhirnya Kamu akan menikah juga dengan adik Dean?" tanya Pras sinis.

"Aku terpaksa," kata Rengga merasa tidak berdaya.

"Sial Rengga! Kamu seperti bukan laki-laki! Apakah seumur hidup Kamu akan terus disetir oleh Dia?!"

"Apa lagi yang harus Aku lakukan? Dia terus mengamati gerak gerikku, bahkan di dalam kantor sendiri pun Aku mulai merasa tidak aman karena Dia meletakan alat penyadap yang tidak Aku ketahui di mana letaknya!" kata Rengga sambil meremas rambutnya merasa putus asa.

" ... " Pras terdiam, dalam hati dia merasa ngeri mendengar bagaimana cara kerja Dean dalam upayanya menekan Rengga. 

Pemuda itu merasa tidak habis pikir tentang apa dan bagaimana asal mula awal kesalahan Rengga hingga Dean bertindak seperti itu? 

Pras tidak percaya kalau semua itu hanya karena Dean ingin menikahkan adiknya dengan Rengga, pasti ada alasan lain yang lebih dari itu hingga pengusaha multi nasional yang sukses seperti Dean bertindak sejauh itu.

Pras mulai mempertimbangkan untuk memasukan Dean ke dalam daftar orang yang harus dijauhi dan dihindari. 

Sepulang dari kantor, Pras memberikan undangan yang dititipkan Rengga kepada Mirela.

Mirela menerima surat undangan pernikahan Rengga dan Dina dengan tangan gemetar, hatinya merasa sakit seperti tersayat sayat.

"Jadi pada akhirnya Dia akan menikahi gadis itu?" tanya Mirela pelan dengan air mata yang mulai bergulir membasahi pipinya.

"Begitulah," sahut Pras sambil membuang muka tidak tega melihat kesedihan Mirela.

"Oke, mungkin kita memang tidak berjodoh, Aku akan tetap datang ke acara pesta pernikahannya," tekad Mirela.

"Apakah Kamu bodoh?Kalau menurut Aku, Kamu seharusnya tidak usah datang ke acara itu, Aku takut Kamu nanti akan dipermalukan di sana."

"Tidak, ini adalah kali terakhir Aku menemuinya untuk meyakinkan hatiku bahwa Dia memang tidak layak untuk Aku cintai."

"Baiklah terserah Kamu saja ... apakah Kamu yakin tidak akan apa-apa jika datang ke pesta itu?" tanya Pras merasa khawatir dan tidak yakin.

"Aku akan berusaha untuk terlihat baik-baik saja menghadapinya, Aku juga tidak akan sekonyol itu untuk menampakan kesedihan di hadapan pria yang sudah mencampakkan Aku."

"Baik, terserah Kamu saja, Aku akan menemanimu ke sana."

" ... " Mirela mengangguk setuju.

***

Mirela menatap getir acara pesta pernikahan yang terpampang di hadapannya. Begitu megah dan meriah. 

Mulai dari pintu masuk, bunga-bunga segar telah menyambut tamu undangan yang datang, Mirela menghela napas untuk menenangkan gejolak hatinya.

Pras mengencangkan genggamannya di telapak tangan adiknya untuk mengingatkan dan memberikan kekuatan agar adiknya tidak sampai mempermalukan diri sendiri dengan menangis di pesta pernikahan mantan tunangannya ini.

Rengga terpana melihat kehadiran Mirela di pesta pernikahannya dengan Dina, tadinya dia berpikir Mirela tidak akan datang ke pesta pernikahannya tersebut.

Dean mengamati Rengga dan Mirela dari kejauhan sambil mengusap dagunya dan tersenyum merasa tertarik.

'Bagus, inilah gadis yang Aku sukai, mampu menahan amarah serta kesedihannya dan bisa bersikap seolah tidak ada apa-apa walaupun sebenarnya hatinya pasti telah hancur berkeping-keping,' kata Dean di dalam hati.

"Jangan khawatir Mirela, Aku pasti akan membantu Kamu mengobati luka hati yang telah ditinggalkan oleh laki-laki pengecut itu ... hehehe," gumam Dean sambil terkekeh senang.

Sementara itu Dina menjabat tangan Mirela dengan wajah penuh kemenangan dan sikap acuh tak acuh. Kalau saja Mirela bukan gadis yang ditaksir oleh kakaknya, mungkin pada saat ini dia sudah mempermalukannya.

Dina diam-diam merasa sangat menyesal karena tidak dapat membuat Mirela malu, padahal ini adalah kesempatan terbaik bagi dirinya untuk menghina Mirela. 

Dina tidak berani melakukannya, apalagi saat ini Dean sedang mengawasi mereka, gadis itu tahu kalau dia sampai berani melakukan hal tersebut, kakaknya tentu tidak akan tinggal diam dan pasti akan mengamuk padanya. 

'Itu pasti akan sangat mengerikan, oke?' katanya di dalam hati sambil menggidikkan bahu merasa merinding.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status