'Aneh, bukankah wanita biasanya paling sibuk kalau ingin menikah? Untuk pemilihan baju, gedung dan lain-lain saja bisa memakan waktu berbulan-bulan ... bagaimana mungkin Dina bisa bersikap ceroboh dan masa bodoh seperti itu?' Rengga merasa tidak habis pikir.
"Bagaimana? Kapan Kamu akan menyebarkan undangan?" tanya Dean meminta kepastian dari seberang telepon.
"Baiklah, secepatnya Aku akan mengurus semuanya."
"Bagus, Aku tutup dulu teleponnya, Aku terlalu sibuk untuk bermain game seperti Kamu!" kata Dean sambil menutup teleponnya.
Rengga terhenyak kaget mendengar perkataan Dean. "Sial! Dari mana Dia tahu kalau Aku tadi sedang bermain game?" gumam Rengga sambil mengamati sekeliling ruang kantornya.
pemuda itu mengerutkan kening. 'Apakah selama ini Dean selalu memata-matai Aku?' pikirnya sambil terus mengawasi seluruh ruangan.
Tiba-tiba saja Rengga jadi merasa tidak aman ketika berada di kantornya sendiri. Dia terus mencari keberadaan cctv atau alat serupa yang dipasang oleh Dean di kantornya namun tidak juga ketemu.
"Dimana mereka menyimpan alat itu?" gumam Rengga bingung.
Rengga terus mencari keberadaan alat yang dia curigai selama ini telah dipasang oleh Dean di kantornya untuk memata-matainya. Dia sampai melibatkan orang-orang kepercayaannya untuk ikut mencari.
"Tidak ada, Bos!" lapor tangan kanannya sambil mengusap keringat yang mengalir di dahinya sendiri dengan punggung tangan.
"Sial! Di mana mereka menyimpan barang itu!" kata Rengga marah sambil menggebrak meja kantornya.
" ... " kedua orang kepercayaannya hanya tertunduk takut, mereka juga bingung karena sudah semua bagian kantor termasuk kolong meja telah mereka geledah namun barang yang dicurigai oleh bosnya itu tidak juga bisa ditemukan.
"Sudah ... sekarang kalian bagi tugas, siapkan gaun pengantin, tempat dan segala hal yang terkait dengan pernikahan!" perintah rengga.
" ... " Kedua orang kepercayaan itu bengong menatap Rengga heran, dalam pikiran mereka bertanya-tanya, baru kemarin pertunangan bosnya dibatalkan, sekarang malah mau menikah, apakah bosnya menyesal karena telah membatalkan pesta pertunangannya kemaren dan untuk menebusnya bosnya ingin langsung menikahi Nona Mirela.
"Kok malah bengong?!"
"Siap, Bos!"
"Arrgghh! Sialan Dean!" kata Rengga sambil mengacak acak rambutnya merasa jengkel setelah dia hanya tinggal sendirian di dalam kantor.
Rengga mengepalkan kedua tinjunya dan menaruhnya di atas meja menahan berat tubuhnya sementara matanya terus berkeliaran mencari alat yang dia duga telah disimpan oleh Dean di dalam kantornya tersebut.
Rahangnya mengeras dengan wajah yang memerah menahan marah, Dean yang menyaksikan semua itu dari balik layar monitor alat penyadap yang dipasangnya menyeringai puas karena sudah berhasil membuat Rengga bingung dan kalang kabut.
"Oke, itu akibatnya kalau Kamu berani memotong jalanku untuk mendekati Mirela, gadis yang diam-diam sudah lama Aku taksir," gumam Dean sambil tersenyum sinis.
Rengga memutuskan untuk membawa secara pribadi surat undangan pernikahannya dengan Dina yang ditujukan untuk Mirela ke kantor Pras. Dia benar-benar tidak berani untuk memberikan undangan itu secara langsung kepada Mirela karena takut akan goyah jika melihat gadis yang dicintainya itu bersedih.
"Jadi ... pada akhirnya Kamu akan menikah juga dengan adik Dean?" tanya Pras sinis.
"Aku terpaksa," kata Rengga merasa tidak berdaya.
"Sial Rengga! Kamu seperti bukan laki-laki! Apakah seumur hidup Kamu akan terus disetir oleh Dia?!"
"Apa lagi yang harus Aku lakukan? Dia terus mengamati gerak gerikku, bahkan di dalam kantor sendiri pun Aku mulai merasa tidak aman karena Dia meletakan alat penyadap yang tidak Aku ketahui di mana letaknya!" kata Rengga sambil meremas rambutnya merasa putus asa.
" ... " Pras terdiam, dalam hati dia merasa ngeri mendengar bagaimana cara kerja Dean dalam upayanya menekan Rengga.
Pemuda itu merasa tidak habis pikir tentang apa dan bagaimana asal mula awal kesalahan Rengga hingga Dean bertindak seperti itu?
Pras tidak percaya kalau semua itu hanya karena Dean ingin menikahkan adiknya dengan Rengga, pasti ada alasan lain yang lebih dari itu hingga pengusaha multi nasional yang sukses seperti Dean bertindak sejauh itu.
Pras mulai mempertimbangkan untuk memasukan Dean ke dalam daftar orang yang harus dijauhi dan dihindari.
Sepulang dari kantor, Pras memberikan undangan yang dititipkan Rengga kepada Mirela.
Mirela menerima surat undangan pernikahan Rengga dan Dina dengan tangan gemetar, hatinya merasa sakit seperti tersayat sayat.
"Jadi pada akhirnya Dia akan menikahi gadis itu?" tanya Mirela pelan dengan air mata yang mulai bergulir membasahi pipinya.
"Begitulah," sahut Pras sambil membuang muka tidak tega melihat kesedihan Mirela.
"Oke, mungkin kita memang tidak berjodoh, Aku akan tetap datang ke acara pesta pernikahannya," tekad Mirela.
"Apakah Kamu bodoh?Kalau menurut Aku, Kamu seharusnya tidak usah datang ke acara itu, Aku takut Kamu nanti akan dipermalukan di sana."
"Tidak, ini adalah kali terakhir Aku menemuinya untuk meyakinkan hatiku bahwa Dia memang tidak layak untuk Aku cintai."
"Baiklah terserah Kamu saja ... apakah Kamu yakin tidak akan apa-apa jika datang ke pesta itu?" tanya Pras merasa khawatir dan tidak yakin.
"Aku akan berusaha untuk terlihat baik-baik saja menghadapinya, Aku juga tidak akan sekonyol itu untuk menampakan kesedihan di hadapan pria yang sudah mencampakkan Aku."
"Baik, terserah Kamu saja, Aku akan menemanimu ke sana."
" ... " Mirela mengangguk setuju.
***
Mirela menatap getir acara pesta pernikahan yang terpampang di hadapannya. Begitu megah dan meriah.
Mulai dari pintu masuk, bunga-bunga segar telah menyambut tamu undangan yang datang, Mirela menghela napas untuk menenangkan gejolak hatinya.
Pras mengencangkan genggamannya di telapak tangan adiknya untuk mengingatkan dan memberikan kekuatan agar adiknya tidak sampai mempermalukan diri sendiri dengan menangis di pesta pernikahan mantan tunangannya ini.
Rengga terpana melihat kehadiran Mirela di pesta pernikahannya dengan Dina, tadinya dia berpikir Mirela tidak akan datang ke pesta pernikahannya tersebut.
Dean mengamati Rengga dan Mirela dari kejauhan sambil mengusap dagunya dan tersenyum merasa tertarik.
'Bagus, inilah gadis yang Aku sukai, mampu menahan amarah serta kesedihannya dan bisa bersikap seolah tidak ada apa-apa walaupun sebenarnya hatinya pasti telah hancur berkeping-keping,' kata Dean di dalam hati.
"Jangan khawatir Mirela, Aku pasti akan membantu Kamu mengobati luka hati yang telah ditinggalkan oleh laki-laki pengecut itu ... hehehe," gumam Dean sambil terkekeh senang.
Sementara itu Dina menjabat tangan Mirela dengan wajah penuh kemenangan dan sikap acuh tak acuh. Kalau saja Mirela bukan gadis yang ditaksir oleh kakaknya, mungkin pada saat ini dia sudah mempermalukannya.
Dina diam-diam merasa sangat menyesal karena tidak dapat membuat Mirela malu, padahal ini adalah kesempatan terbaik bagi dirinya untuk menghina Mirela.
Dina tidak berani melakukannya, apalagi saat ini Dean sedang mengawasi mereka, gadis itu tahu kalau dia sampai berani melakukan hal tersebut, kakaknya tentu tidak akan tinggal diam dan pasti akan mengamuk padanya.
'Itu pasti akan sangat mengerikan, oke?' katanya di dalam hati sambil menggidikkan bahu merasa merinding.
Bab 6 Dina memang tidak menghina Mirela namun, mantan teman teman kerja Mirela lah yang pada akhirnya mempermalukannya. "Cih! tidak tahu malu, masih berani datang setelah ditolak mentah-mentah sama pak Rengga," cetus salah satu rekan kerjanya itu. Mirela yakin walaupun dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang mengatakan hal tersebut, orang itu pasti salah satu teman sekantornya yang selama ini merasa iri dan tidak suka dengan hubungan antara dirinya dan Rengga. "Dikiranya dengan Dia datang ke pesta ini, pak Rengga akan berubah pikiran? Ha! Mimpi!" celoteh yang lain. Pras menatap berkeliling mencari sumber suara- suara yang melecehkan dan menghina adiknya. Dean mengepalkan telapak tangannya merasa marah mendengar kata-kata penghinaan diarahkan kepada gadis yang ditaksirnya. Dia menelepon keamanan dan ketika keamanan itu datang Dean menyuruh keamanan itu menciduk gadis-gadis yang telah melontarkan kata-kata pelecehan itu ke luar. "Stop! Apa-apaan ini?Apa yang Kamu lakukan?! Ka
Setelah puas mengambil foto, reporter itu beringsut menjauh, memeriksa foto-foto hasil jepretannya dan tertawa-tawa karena merasa puas. "Ini pasti akan menjadi berita heboh, sepertinya Aku akan mendapatkan keuntungan yang besar," kata reporter itu gembira sambil masuk ke dalam mobilnya dan berlalu. Keesokan paginya berita di berbagai media tentang Rengga yang menangis dan teriak-teriak di depan rumah Mirela saat malam pengantinnya mulai menjamur. Dean yang sedang membaca berita di ponselnya mengerutkan alis ketika melihatnya dan merasa kesal. "Dasar bedebah! Bisa-bisanya Dia cari sensasi di malam pernikahannya di depan rumah Mirela!" gerutu Dean sambil menggebrak mejanya. Dean mulai menelpon Dina dengan wajah merah karena marah, dia benar-benar merasa malu dengan berita yang tersiar soal adik iparnya itu. "Kak ...," sapa Dina dari seberang telepon dengan suara yang masih mengantuk. "Dimana Dia?!" tanya Dean to the point. "Dia Siapa?" tanya Dina heran. "Suami terkutuk Kamu itu!
Sementara itu di dalam sebuah kantor bergaya minimalis milik Rengga .... Pria tampan itu sedang menerima laporan dari anak buahnya tentang tugas yang telah ditugaskan kepadanya. "Sudah dibereskan, Bos!" lapor anak buah Rengga ketika diditanya soal perkembangan tugas yang telah di berikan kepadanya. "Bagus, bagaimana dengan fotografer usil itu?" tanya Rengga sambil bertopang dagu menatap bawahannya malas. "Ketika kami menutup media tempatnya pertama kali up foto dan video, Dia sudah kabur ke luar negeri," sahut bawahannya sambil mengelap keringat yang mulai timbul di dahinya. Dia tidak berani menatap Rengga yang saat ini sedang menatapnya, di dalam hati dia merutuk karena fotograper itu cepat sekali mengambil langkah seribu, sepertinya fotograper itu telah memprediksi kalau Rengga akan mengutus orang untuk menanganinya. "Ke luar negeri? Kemana tepatnya Dia kabur?" tanya Rengga sambil mengtuk pulpennya di meja. " ... " Anak buah Rengga terdiam. Dia juga tidak tahu kemana orang itu
"Awal sekali Aku melihat video itu adalah tadi pagi kemudian Aku merekamnya untuk diperlihatkan kepadamu. Namun, ketika siang tadi Aku cek video itu sudah tidak ada, dan ada kabar media pertama yang mendapatkan dan menyebarkan video dan foto Rengga itu telah menyatakan kebangkrutannya," jelas Veny sambil tersenyum merasa lucu dengan apa yang telah terjadi terhadap mantan tunangan sahabatnya tersebut. "Apakah itu benar-benar perbuatan Rengga?" tanya Mirela heran dan tidak percaya. Seingatnya Rengga adalah seorang yang selalu mempertimbangkan banyak hal dengan pikiran yang positif. Walaupun media tersebut telah memberitakan keburukannya tapi di media itu juga banyak pegawai yang tidak bersalah dan bekerja untuk menghidupi anak dan istrinya. Jadi Mirela tidak percaya kalau mantan tunangannya itu akan mengambil langkah kasar seperti itu. 'Itu seperti bukan Dia ... jangan-jangan itu hasil pekerjaan orang lain,' pikir Mirela sangsi. Veny memutar bola matanya merasa bosan melihat saha
Dean hanya tersenyum sinis menerima laporan dari adiknya itu, dalam pandangannya, Dina benar-benar seperti kerbau yang dicucuk hidungnya oleh Rengga. Adik perempuannya itu benar-benar dibutakan oleh rasa cintanya sendiri hingga tidak dapat membedakan antara sikap cekatan dengan ketakutan. Tanpa harus diberi tahu pun Dean dapat mengetahui mengapa Rengga terburu-buru membereskan masalah ini. Semua itu tidak lepas dari rasa takut Rengga terhadap ancaman Dean. Apalagi yang ditakutkan Rengga kalau bukan karena hal yang berkaitan dengan perusahaannya? "Dasar pecundang," gumam Dean sinis. " ... " semua staf yang sedang mengikuti rapat tampak saling pandang tidak mengerti siapa yang disebut pecundang oleh bos besar mereka. "Lanjutkan!" kata Dean memutuskan berbagai pikiran dan prasangka bawahannya terhadap sikap dan gumamnya tadi. Rapat pun berlanjut kembali hingga sore hari. Setelah semua bawahannya keluar dari ruangan, Dean tampak mengetuk mejanya seperti sedang memikirkan sesuatu.
Veny sedang menerima Rudi, ajudan ayahnya di dalam ruang kerjanya di perusahaan. Laki-laki muda berambut cepak berpakaian hitam-hitam dan berjaket hitam itu tampak duduk tegak di kursi yang ada di depan meja Veny. "Jadi ada yang telah mencoba mencari tahu di mana keberadaan Mirela saat ini?" tanya Veny memastikan apa yang baru saja dilaporkan oleh ajudan ayahnya kepadanya sambil tersenyum simpul. "Itu benar," sahut Rudi tegas. "Siapa? Apakah Rengga?" tanya Veny ingin tahu. "Bukan, ini orang suruhan Dean." "Dean ... Dean," Veny mengucapkan nama Dean berulang-ulang sambil mengingat si empunya nama. Samar terlintas bayangan seorang pria tampan dan cool yang kerap ditemuinya di acara perhimpunan pengusaha. Veny mengerutkan kening tidak suka mengingat bahwa Dean adalah kakak Dina yang merupakan istri Rengga dan orang yang telah memaksa Rengga meninggalkan acara pertunangannya dengan Mirela demi memenuhi keinginan adik perempuannya. "Mau apa lagi Dia mencari Mirela? Apakah Dia ti
Berita tentang Rengga yang mabuk di malam pernikahannya dan berlari ke depan rumahnya sambil berteriak-teriak meminta maaf itu benar-benar mengusik perasaan Mirela, kalau dia memang sudah memutuskan untuk menikahi wanita lain, mengapa dia melakukan hal yang sangat memalukan tersebut? Mirela benar-benar tidak dapat memahami apa yang ada di dalam pikiran Rengga saat itu, apakah hal tersebut terlahir dari rasa bersalah terhadap dirinya karena telah meninggalkannya di hari pertunangan mereka dan mempermalukannya? Ataukah memang karena pemuda itu sesungguhnya benar-benar mencintainya? 'Tidak! Kalau Dia sungguh mencintai Aku, Dia tidak akan mundur apa pun alasannya, toh Aku tidak menuntutnya harus menjadi orang sukses ataupun pengusaha untuk dapat menikahiku,' batin Mirela sambil menggelengkan kepalanya berusaha untuk menepis semua keraguan dan simpati yang mulai menguasai dirinya. Gadis itu melemparkan pandangannya pada jendela kantor, tiba-tiba ponselnya berdering, Mirela mengalihk
Pras tidak mengerti mengapa pengusaha besar seperti Dean mau ikut campur dalam urusan percintaan antara adiknya dan Rengga. Terakhir Pras juga mendengar kabar dari orang terpercayanya kalau Dean sedang mencari Mirela. 'Apa sebenarnya maksud Dean? Apakah semua yang Dia lakukan masih belum cukup? Apa salah Mirela hingga harus menanggung semua ini?' batin Pras bertanya-tanya tidak mengerti. Pras memutuskan untuk menghalangi pergerakan Dean dalam mencari Mirela, dia memang enggan berurusan dengan Dean, tapi dia tidak bisa tinggal diam melihat adiknya dikejar dan dicari sedemikian rupa seperti maling. Bukankah mereka yang telah mencuri kebahagiaan yang seharusnya menjadi milik Mirela? "Dean ... sepertinya persimpangan antara kita sudah tidak lagi dapat dihindari, jika Kamu bersikeras terus mengganggu adikku, Aku tidak akan tinggal diam," desis Pras sambil meremas kertas laporan dari anak buahnya tentang pergerakan Dean "Uhuk ... uhuk!" Dean yang sedang minum di kantornya terbatuk-b