Di ruang kerja Bram, Marchel terlihat dalam perbincangan yang serius dengan Bram. Sebagai sosok yang gentlemen, Marchel tetap bersikap tenang, dia tahu kalau dalam posisi yang salah, dan siap mengakui kesalahan. Bram pun tidak dengan emosi menghadapi Marchel, karena dia sudah cukup mengenal attitude Marchel, yang merupakan orang kepercayaannya.
"Jadi kamu sudah mengerti ya kenapa kamu saya suruh menghadap saya hari ini?" tanya Bram. "Saya sangat menghargai kejujuran kamu selama ini, dan saya sangat yakin kamu masih memegang teguh kepercayaan saya.." lanjut Bram dengan sikap kebapakan
"Sangat mengerti pak, dan saya siap menerima resiko apa pun dari kesalahan saya." Marchel benar-benar bersikap apa adanya, dan pasrah menerima apa pun dari Bram.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu marchel?"
"Tahu pak, saya sudah melanggar komitmen saya sama bapak, saya tidak bisa menjaga amanah bapak pada saya... saya tergoda dengan Asha pak, dia cantik dan masih muda ... dia begitu tegar menghadapi hidup.." ucap Marchel dengan sikap apa adanya
"Kamu jatuh hati sama Asha ya? Akui saja dengan jujur Marchel." selidik Bram
Marchel tidak bisa menjawab langsung pertanyaan Bram, dia hanya diam dan takut untuk mengatakan apa yang ada di hatinya.
"Sangat wajar Marchel kalau anak muda yang masih lajang jatuh hati sama Asha ... saya yang sudah tua begini saja bisa jatuh hati pada dia.." ujar Bram sambil menatap Marchel, kemudian Bram melanjutkan ucapannya,
"Kamu tidak salah, saya sangat maklum ... saya hargai kamu masih bisa menjaga batas sama Asha." lanjut Bram"Memang pada awalnya saya kasihan sama Asha pak, dia masih terlalu muda untuk punya anak.." ucap Marchel, dengan tanpa memandang Bram
Bram lama terdiam, begitu juga Marchel. Dia sangat takut kalau apa yang dikatakannya menyinggung perasaan Bram. Tapi dia merasa sudah berusaha untuk mengatakan apa yang ada di hatinya.
"Itu kesalahan saya Marchel ... saya yang membuat dia seperti itu, tadinya saya pikir dia seperti ABG pada umumnya, yang sudah siap dengan kontrasepsi..." jelas Bram
Bram lalu bercerita panjang lebar tentang awal perkenalannya dengan Asha pada Marchel. Bagaimana dia tidak bisa melepaskan Asha begitu saja, karena Asha memiliki daya tarik yang berbeda dengan remaja seusia dia pada umumnya. Baginya Asha tidak pernah menuntut macam-macam padanya.
Tidak pernah menuntut minta dibelikan barang-barang branded, meskipun dia tahu kalau Bram sangat royal. Asha sangat bisa menjaga hubungan agar tidak diketahui keluarga Bram, dia bisa bersikap biasa saja saat dicurigai isteri Bram sebagai selingkuhan, sehingga dia tidak dicurigai oleh keluarga Bram.
Lebih dari itu, Bram sangat merasa nyaman dengan Asha, karena Asha bisa menempatkan diri dan mampu menjaga privasi Bram. Asha selalu patuh dan menurut apa yang diinginkan Bram, bahkan tahu waktu saat bersama Bram.
Bram sebetulnya ingin tahu kesungguhan Marchel terhadap Asha, bukanlah kecewa pada Marchel, makanya Bram interogasi Marchel lebih jauh.
"Kamu sayang sama Asha? Kamu sayang gak sama Brama?" Bram mencoba mengetahui sikap dan isi hati Marchel
"Mereka orang yang bapak sayangi, sudah sewajarnya saya pun menyayangi mereka." jawab Marchel dengan lugas
"Apa cuma karena itu kamu sayang sama mereka?" tanya Bram semakin menyelidik.
Marchel jadi serba salah menghadapi Bram, dia seperti menghadapi sebuah proses interogasi yang diluar dugaannya.
"Bapak percaya kalau saya jatuh cinta sama Asha?" Marchel balik bertanya
"Saya sangat percaya, dan itu adalah sesuatu yang wajar ... kamu sangat tahu kalau saya selalu mempercayai kamu.." ujar Bram. "Tapi, ada satu hal yang tidak saya inginkan.." Bram menghentikan sejenak ucapannya
"Apa itu pak? Apakah saya sudah melanggarnya?" selidik Marchel dengan penuh penasaran
"Saya tidak ingin kamu mencintai Asha setengah hati, karena dengan mencintai Asha, itu berarti kamu juga menyayangi Brama.." pungkas Bram
Marchel kembali terdiam, dia belum berani melanjutkan pembicaraan sebelum dia memastikan hatinya bisa tulus, untuk memenuhi semua keinginan Bram. Dia juga harus berpikir bagaimana menjelaskan kepada kedua orang tuanya, kalau seandainya dia benar-benar menginginkan Asha.
Tidak mudah bagi Marchel untuk menjawab pertanyaan Bram, karena untuk mencintai Asha dengan sungguh-sungguh dia harus menghadapi berbagai rintangan yang akan dihadapinya, terutama soal restu kedua orang tuanya.
"Pak bolehkah berikan saya waktu untuk memikirkan semua ini?" tanya Marchel. "Supaya ketika saya memutuskan untuk menerima Asha tidak ada lagi keraguan.." lanjut Marchel dengan mimik muka yang menghamba pada Bram.
"Yaudah, silahkan kamu temui Asha dan Brama ... lakukanlah penjajakan dengan Asha.." pinta Bram
Sebelum pamit pada Bram, Marchel mencium tangan Bram. Itu adalah hal yang belum pernah dia lakukan selama bekerja dengan Bram. Marchel merasa mendapat restu dari Bram untuk mencintai Asha. Sementara, Bram sendiri merasa sudah menemukan orang yang tepat untuk menggantikan posisinya terhadap Asha.
Marchel meninggalkan ruangan Bram, dia langsung menuju ke apartemen Asha untuk melaksanakan tugas yang diamanahkan Bram kepadanya. Satu sisi Marchel senang karena mendapat sinyal yang bagus dari Bram, tapi disisi lain dia harus mampu menjelaskan persoalan ini kepada kedua orang tuanya.
Marchel harus mempunyai alasan yang tepat kepada orang tuanya untuk menikahi Asha, mengingat Asha sudah punya anak dan tidak gadis lagi. Apakah kedua orang tuanya bisa menerima kondisi Asha? Itulah pikiran yang berkecamuk di benak Marchel dalam perjalanan menuju apartemen Asha.
Bersambung..
Begitu sampai, Asha yang membukakan pintu, Marchel langsung peluk Asha. Asha merasa ada sesuatu yang aneh dari Marchel seperti tidak biasanya."Tumben kamu mas peluk aku? ada apa nih?" tanya Asha heran"Aku senang Sha ...pak Bram gak marah sama aku.." jawab Marchel dengan sumringah"Serius kamu mas? Kemarin sih aku bilang apa adanya soal kamu..""Brama mana? Aku mau gendong dia Asha..""Ada angin apa nih? Kok kamu tiba-tiba ingin gendong Brama?""Kalau seandainya aku gendong kamu aneh gak?" Marchel mulai menggoda Asha."Emang kamu berani gendong isteri bos kamu?" Balas Asha sambil
"Mas bilang gini, saya kasihan sama Asha dan Brama.." jawab Marchel"Ooo ... jadi mas cuma kasihan ya sama aku?" selidik Asha"Ntar dulu dong, kan belum selesai ngomongnya, terus mas bilang gini,""Bapak percaya kalau saya jatuh cinta sama Asha?""Saya sangat percaya, dan itu adalah sesuatu yang wajar..itu kata om Bram, Kamu sangat tahu kalau saya selalu mempercayai kamu, tapi ... ada satu hal yang tidak saya inginkan, kata Om Bram.."Marchel tidak meneruskan pembicaraan, sehingga membuat Asha semakin penasaran. Asha sudah mulai tersanjung oleh Marchel yang mulai membangun suasana kehangatan diantara keduanya. Asha memeluk Marchel dengan mesra, dia sudah begitu yakin ka
Marchel tersadar atas apa yang baru saja hampir terjadi. Sebagai lelaki yang masih lajang, dia benar-benar menikmati apa yang dilakukan Asha tadi.Asha keluar dari kamar sambil menyusui Brama, dan duduk di samping Marchel. T-shirt Asha yang terbuka dengan tanpa mengenakan bra, dia menyusui Brama di depan Marchel. Marchel melihat betapa indahnya pemandangan yang ada dihadapannya.Asha menatap Marchel sambil tersenyum, dia tahu Marchel sangat menikmati dadanya yang indah."Mas mau ikutan? Mandangnya kok sampe gitu sih?" canda AshaMarchel tersipu malu mendengar pertanyaan Asha."Aku cukup memandangnya aja kok." jawab Marchel sedikit salah tingkah
Marchel duduk di tepi tempat tidur, pikirannya berkecamuk dan sangat dilematis. Begitu susah dia menahan hawa nafsunya dari godaan Asha, yang memang secara fisik sangat menarik dan menggairahkan. Dengan postur tubuhnya yang sangat proporsional, kulitnya yang kuning langsat dan body goals-nya yang menggoda. Semua bagian tubuhnya begitu indah di mata Marchel, juga dengan tinggi tubuhnya begitu serasi. Memang kalau pria seumuran Bram, bukanlah lawan Asha. Itulah yang membuat Marchel tidak bisa menahan diri, saat melmandang tubuh Asha, apa lagi dalam keadaan tanpa sehelai benang pun yang menutup tubuhnya. Marchel begitu gundah mau memanuhi keinginan Asha, tapi batinnya menolak, karena tidak sesuai dengan apa yang diucapkanya. Tapi di sisi lain, sebagai lelaki masih muda dan lama menjomblo, melihat Asha seperti itu timbul gairah ya
Marchel menutup teleponnya, dan dia sedikit lega, karena maminya sudah tahu kalau dia ketemu tante Michelle, dan tante Michelle percaya kalau Marchel dan Asha sudah nikah siri. "Mami kamu marah ya mas?" tanya Asha dengan sedikit kuatir "Mudah-mudahan enggak Asha, kita berdoa aja semoga papi dan mami mau menerima kehadiran kamu dan Brama." jelas Marchel. "Nanti malam, mas akan menghadap papi dan mami untuk menjelaskan ini." "Iya mas, semoga apa yang kita harapkan sesuai dengan kenyataannya ya." ujar Asha penuh harap Asha mulai menggoda Marchel, dengan menempelkan dadanya ketangan Marchel. Sementara Brama sedang di tidurkan oleh Narti di kamar. Asha berusaha memancing gairah Marchel, dan terus memberikan rangsangan pada Marchel. "Mas, apa gak sebaiknya kita nikah siri dulu mas? Biar kita sah untuk melakukannya?" bujuk Asha "Sabarlah Asha, mas ingin menikmatinya di malam pertama kita nanti." Asha mengubah posisi duduknya, dia dudu
Selesai sarapan, Asha dan Marchel duduk di ruang tamu, seperti biasanya Asha dengan manja merayu Marchel, agar segera di halalkan, karena dia sudah sangat ingin bercinta dengan Marchel. Sebagai laki-laki yang belum pernah mengumbar syahwatnya, dan belum pernah make love, Marchel tergolong hebat dalam menahan dirinya, padahal sudah berbagai usaha dilakukan Asha, untuk memancing gairah Marchel. "Mas gimana dengan usul aku kemarin? Aku sudah ingin banget bercinta sama kamu." "Sabar aja Sha, mudah-mudahan usaha Om Bram berhasil, mas ingin merasakan bagaimana nikmatnya malam pertama." "Tapi akukan udah gak tahan mas, kamu itu sangat menggoda banget." rayu Asha. "Selama ini aku cuma melakukannya sama Om Bram, belum pernah
Bayang-bayang yang menakutkan menghantui pikiran Asha, dia banyak melihat realitas hidup yang sulit menerima ketidak-setaraan dalam strata sosial, dia sangat menyadari kalau berasal dari masyarakat yang strata sosialnya jauh di bawah keluarga Marchel. Dia bisa menikmati kemewahan hidup, hanya karena kebaikan hati Bram, dan dia tidak menyangka kalau Bram mau memerlakukannya dengan sangat manusiawi. Sekarang, di depan matanya sudah akan hadir sebuah kenyataan hidup, yang sama selalu di luar dugaannya. Dia hanya hidup seperti air yang mengalir, tidak pernah tahu akan berlabuh di muara yang mana. Kadang kehendak Tuhan memang selalu berbeda dengan keinginan manusia. Sebagai wanita yang baru beranjak dewasa, rasanya Asha belum mampu berpikir seperti apa dia harus menghadapi kenyataan yang akan dihadapinya nanti.
Marchel berusaha memberikan argumentasi, untuk memperkuat posisi Asha. Dari kamar, sayup-sayup Asha juga mendengarkan apa yang menjadi perbincangan Marchel dan kedua orang tuanya. Asha merasa sangat pesimis kalau kehadirannya ditengah keluarga Marchel bisa diterima. "Yang keturunan indo itu ibunya Asha ya chel?" Tanya Mami Marchel "Ya mi, makanya Asha pun agak indo juga, kalau ayah Asha dari Sumatera, Asha jago masak lo mi, tantenya usaha catering untuk wedding, makanya Asha kuliah di perhotelan, jurusan tata boga." Jawab Marchel "Pantesan kamu gak pernah makan di rumah ya, udah gak doyan masakan mami?" "Seenak-enaknya masakan mami, tetap aja aku harus hargai masakan isteriku mi."