Share

6. Dasar Pembohong!

Brie berdiri mematung di pinggir jalan. Begitu selesai mengutarakan petuahnya, Edwin langsung kembali ke kafe tanpa menunggu jawaban dari Brie. Sedangkan Brie memang tidak mampu membuat jawaban dari serangan Edwin yang tiba-tiba. Mental Brie ambruk begitu saja.

           “Permisi, Neng Brie?”

            “Ah-iya, Pak.” Jawab Brie parau, sambil mengusap mata.

            “Maaf, Neng. Tadi Bapak antri bensinnya lama banget, jadi Neng lama nunggunya.” Tukas Bapak Ojek.

            “Oh iya, nggak apa-apa, Pak. Saya nggak buru-buru, kok.”

            Si Bapak Ojek mengendarai motornya dengan hati-hati, namun tetap gesit. Sepanjang jalan Brie melamun, sambil memandangi jalanan dengan hiruk pikuk manusia dengan kehidupannya. Pikirannya melayang-layang, dilihatnya tukang gorengan, ibu-ibu warung tenda, serta pedagang-pedagang keliling lainnya.

“Pak, sudah lama ikut ojek online?” tanya Brie membuka pembicaraan saat lampu merah panjang menghadang. Ia memilih membuka obrolan dengan si Bapak Ojek agar sedikit menepis kesedihannya.

            “Ya, lumayan, Neng. Sekitar lima tahun.”

            “Pernah kejadian nggak enak sama customer nggak, Pak? Misalnya diomelin, gitu.” Brie bertanya tanpa basa basi, seolah-olah ia sedang mencari sekutu atas rasa sakit hatinya.

            “Aduh, Neng. Udah makanan sehari-hari itu, Neng. Apalagi yang nggak sabaran. Padahal kondisi jalanan suka macet.”

            “Bapak sakit hati nggak?”

            “Awalnya sakit hati, Neng. Tapi karena sudah lima tahun kerja di jalanan, akhirnya ya biasa aja. Yang penting kita tetap minta maaf walau mereka tidak ada toleransi”

            “Berarti Bapak sudah banyak ketemu customer yang menyakitkan, ya Pak?”

            “Betul, Neng. Manusia itu sebenarnya unik. Ada banyak karakter dan sifat. Ada yang ramah dan yang judes banget.” Mendengar jawaban bapak ojek tersebut, Brie terdiam namun membenarkannya dalam hati.

            “Pak, nanti mampir ke toko Brownies di depan ya.” Kata Brie sambil menunjuk plang bergambar brownies cokelat.

            “Oke, Neng!” Sahut laki-laki paruh baya itu, kemudian mulai mengambil jalan sisi kiri.

            Brie memasuki toko Brownies kesukaannya. Aroma brownies panggang langsung memenuhi seisi rongga hidung Brie. Sejak kecil Brie menyukai cake dan brownies, namun ibunya sangat jarang membelikannya makanan seperti itu karena keterbatasan ekonomi. Biasanya kalau ada keluarga atau tetangga hajatan yang menyajikan jajanan cake, pasti Brie mengambil diam-diam beberapa potong untuk dimakannya sendiri. Jika ketahuan ibunya, sudah pasti ia akan diomeli. Rakus, kata ibunya. Padahal menurut Brie, ia tak rakus. Ia hanya mengambil beberapa potong cake, bukan mengambil semua makanan yang ada.

            Sejak merantau dan memiliki penghasilan sendiri, Brie memang lebih leluasa untuk memenuhi keinginannya sendiri, seperti makan sekotak brownies tanpa harus sembunyi dan takut diprotes. Setiap Brie ingin menikmati waktu santainya, maka kudapan yang akan selalu ada adalah sekotak brownies.

            Brie berjalan keluar toko dan langsung menuju ke bapak ojek yang sedang menunggunya. Menurut perkiraan Brie, bapak itu berusia setengah abad lebih. Hampir seumuran dengan ibunya. Pasti sudah sangat banyak sekali asam garam yang dirasakan. Kalau sekedar celaan dari pelanggan atau orang lain, mungkin bukan masalah lagi, karena hidup harus tetap berlanjut.

            “Pak, ini buat Bapak," ujar Brie sembari menyodorkan sebungkus brownies original.

            “Wah, makasih, Neng. Alhamdulillah.”

            “Sama-sama, Pak.”

            Baru berjalan beberapa meter, motor harus berhenti kembali karena lampu sudah merah. Kendaraan mengular panjang karena durasi lampu merah yang lama, sedangkan lampu hijau hanya sekedipan mata. Jadi tak jarang terdengar umpatan para pengendara yang sedang terburu-buru, namun harus setia menunggu lampu merah kembali.

            “Pak, kalau boleh saya tahu, waktu bapak dapet omelan customer, biar nggak sakit hati gimana, Pak?” Kembali Brie memulai sesi tanya jawab.

            “Wah, Neng kayanya lagi ada masalah ya?” Si Bapak Ojek sungguh peka.

            “Hehe. Iya, Pak. Saya habis diomelin klien.”

            “Nggak usah risau, Neng. Diomelin klien itu sebagai penguat mental, pengalaman kan guru paling baik. Betul kan?”

            “Iya, Pak.”

            “Kalau, Neng, sekali diomelin langsung ciut, nanti Neng bakal susah bertahan. Dunia ini kejam sekali, Neng.” Bapak Ojek menambahkan, “Jangan kalah sama omongan negatif orang lain. Dulu saya juga gitu, Neng pas masih muda.” kali ini sedikit lebih berapi-api. Brie hanya mengangguk, tanpa bersuara.

            “Terus gimana, Pak?”

             “Lama-lama saya bingung terus menerus menciut, kapan saya bisa berkembang. Awal ngojek dulu saya sering kaget ketemu customer yang ngomelnya nggak berhenti-henti, sampai ngatain nggak becus." Laki-laki itu bercerita dengan menyenangkan, khas bapak-bapak periang. "Saya kecewanya tuh sampai berhari-hari. Tapi saya nggak berhenti ngojek, biar dapur tetep ngebul, Neng," imbuhnya dengan semangat.

             Brie manggut-manggut. Iya membenarkan kalimat Bapak Ojek, kalau dia terus terendam dalam keterpurukan, tentu ia tidak akan berkembang. Tapi, rasa sakit hati yang baru saja membekas memang tidak mudah untuk dihapus.

           “Lalu, rasa sakit hatinya gimana, Pak?”

           “Rasa sakit hati akan hilang begitu saja, kalau kita sibuk memperbaiki diri.”

           “Kalau Bapak sendiri, gimana caranya?”

           "Ikut komunitas pecinta taneman, Neng. Nambah ilmu, nambah relasi," ujar tukang ojek itu dengan riang.

            “Wah, keren ya si Bapak ini.”

            “Nah, jadi jangan langsung percaya omongan negatif klien yang merendahkan, Neng.” Brie tidak menyahut, hanya manggut-manggut.

            "Semangat, Neng!" kata Bapak Ojek ketika sudah sampai di depan kos, kemudian berputar arah kembali beredar untuk mencari orderan.

            Brie berdiri di depan pintu gerbang kos dengan tangan kanan memegang pintu gerbang, namun tak langsung membukanya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan.

            “Dasar Pembohong, aku nggak percaya omonganmu! “ gumam Brie sambil meremas tas plastik bergambar brownies kesukaannya.

            Dari kejauhan nampak sepasang mata sedang memperhatikan Brie. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas melihat tingkah Brie.

                                                                       ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status