Maafkan baru update lagi. hhu. mengatur waktu itu benar-benar sulit.
Jumat malam, beberapa pesan dan telepon masuk ke ponsel Brie. Bukan Edwin, melainkan beberapa tawaran pekerjaan. Beberapa klien mendesak untuk pengerjaan dalam waktu dekat, bahkan untuk hari Minggu ini. Brie mengurut kepala, ia memang butuh dana, tapi klien banyak maunya. Ketika tawarannya untuk hari lain, ditolak oleh klien, Brie tidak memaksa. Ia akan rela melepas klien itu, karena ia masih ingin bersama keluarga.Untung saja masih ada beberapa klien yang masih bersabar untuk pengerjaan minggu depan, ketika Brie sudah kembali ke rantau. Brie selalu bersyukur dengan adanya klien yang masih memilihnya. Ia percaya, klien baik hati seperti itu datang padanya tak lepas dari doa ibunya, walau sebenarnya ibunya tak mengetahui status pekerjaannya sekarang.“Mbak, fotoin aku, dong!” Pinta Anita yang tiba-tiba muncul hanya melongokkan kepala dari balik pintu kamar Brie.Brie bangkit dari tempat tidur, membuka pintu dan melihat sang Adik sudah mengenakan topi toga, baju kebaya lengkap dengan h
Seringkali terjadi di kehidupan, sesuatu yang tidak diinginkan datang disaat tidak ada kesiapan untuk menghadapinya. Sepanjang di perjalanan kembali ke kota rantau, Brie tidak tenang dan gelisah. Anita duduk di sampingnya, sedang memandang keluar jendela gerbong kereta dengan antusias, sesekali ia mengambil video dan berkali-kali mengambil foto wajahnya sendiri.Brie menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Sekitar dua jam lagi sampai di kota tujuan, dan Brie masih berusaha menata hati dan kalimat yang akan diucapkannya pada Anita bahwa dirinya sudah tidak bekerja di kantor lamanya. Memang ada perasaan mengganjal, yaitu takut mengecewakan. Awalnya Brie hanya takut ibunya yang kecewa, namun kini ia juga takut jika Anita akan kecewa karena telah menaruh harapan pada Brie untuk membantu mencarikan pekerjaan di perusahaan tempat Brie bekerja dulu.“Mbak, ayo foto berdua!” Anita menarik lengan Brie, dengan tangan kiri masih memegang ponsel.“Males, ngantuk.” Tolak Brie samb
Segelas susu dingin sudah di meja bersama roti panggang yang tidak terpanggang sempurna. Semula Brie menyiapkan sarapannya terburu-buru, namun sepersekian detik situasi buru-buru itu berubah menjadi lambat dan melelahkan setelah Brie menerima pesan dari atasannya.[Pagi Brie, sesuai dengan keputusan rapat melihat dari penilaian terakhir. Perusahaan memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrakmu. Untuk pengembalian ID dan pengambilan surat keterangan kerja bisa langsung ke HRD, ya.]Brie terduduk lesu dengan masih memakai pakaian kerja yang seharusnya ia kenakan untuk berangkat kerja hari ini, tetapi atasannya memutuskan jika kontrak kerja Brie tidak dilanjutkan sehingga Brie tidak perlu berangkat kerja hari ini atau dengan kata lain Brie diberhentikan atau lebih tepatnya saat ini Brie sudah menjadi pengangguran. Kepalanya pusing luar biasa, banyak hal yang tiba-tiba menghujani pikirannya. Tiba-tiba saja bayangan wajah ibunya, cicilan laptop barunya dan wajah ibu kos munc
Selembar kain putih ditata rapi dengan tas cantik di atasnya. Brie membidikkan kameranya fokus pada tas tersebut agar mendapatkan kesan bagus dan menarik. Ia berniat menjual tas dan barang-barang layak guna miliknya untuk menambah pemasukan. Setelah mendapatkan foto yang bagus, ia akan mengunggahnya di media sosial untuk promosi. Sebelumnya ia telah berhasil mendapatkan uang setengah juta dari menjual baju-baju bekasnya.“Pandai juga aku jualan, apa aku buka small business aja, ya.” Brie berceloteh sambil menulis rekapan penjualan pada buku yang sama dengan yang ia gunakan untuk menulis sumpah serapah pada atasannya.Ponsel pintar Brie berbunyi, ia segera meraih benda berwarna pink itu. Ternyata sebuah pesan dari Erna, teman kantor Brie dulu.[Hai Brie, aku boleh minta tolong sesuatu gak?] Brie membaca pesan itu dengan pikiran bermacam-macam, apa yang ia bisa bantu untuk temannya itu karena jika bantuan berbentuk materi tentu saja ia tak bis
“Hari ini kita buka pertama pukul sepuluh ya, jadi pastikan ketika kafe dibuka semua sudah siap. Barista siap, dapur juga siap,” kata Sherly memberi arahan ke semua pegawai kafe Bittercoffe. Satu jam menuju opening, ia cukup gugup. Gadis dua puluh tahun itu memberanikan diri untuk berwirausaha, tentu saja berdua dengan abangnya, Edwin. Keinginan Sherly membuka kafe memang sudah sejak satu tahun lalu, yang kemudian disetujui Edwin.Tidak mudah bekerja sama dengan Edwin yang perfeksionis dan sedikit otoriter. Sherly yang manja, tiba-tiba menjadi sosok yang paling semangat membangun bisnis. Edwin tentu saja tidak langsung mengabulkan permintaan adiknya untuk membuka bisnis kuliner, dia ingin melihat kesungguhan Sherly. Setahun lalu, setelah mengutarakan keinginannya pada Edwin, Sherly diberi tantangan untuk mengumpulkan uang 20 juta dengan metode Sinking Fund, dimana setiap bulannya Sherly diwajibkan menyisihkan uang sesuai dengan kesepakatan untuk mencapai
Hari ini adalah seminggu setelah pertemuan Brie dengan Erna – klien pertama Brie. Kamar kos yang sudah dibersihkan dan dirapikan minggu lalu, kini bak kapal pecah setelah Brie menyelesaikan tugas pertamanya sebagai fotografer. Dua hari yang lalu Brie mengirimkan file foto-foto produk yang sudah final kepada Erna, ia berharap tidak ada permintaan revisi.[Brie, aku suka banget hasilnya! Barusan udah aku transfer ya.] Brie membaca pesan dari Erna, ujung bibirnya tidak terhenti menyungging. Dia benar-benar bahagia dan hampir tak percaya, hobi yang ia tekuni dapat menghasilkan uang. Tak henti-hentinya ia mengucapkan rasa syukur, apalagi setelah melihat nominal uang di rekeningnya bertambah setelah sekian lama berkurang karena tidak ada pemasukan. Walau nominal yang masuk belum banyak, namun tetap saja ia merasa mendapatkan angina segar.[Oh iya Brie, kalau aku rekomendasiin jasamu di komunitas bisnis, kamu tak keberatan, kan?][ Dengan senang hati! Makasih ya,
Terdengar suara uang koin yang saling beradu sejak tadi dari kamar Brie. Ia mengumpulkan semua uang koin yang ia miliki setelah melakukan pencarian di sudut-sudut kamarnya. Brie memang gemar mengumpulkan uang koin dalam wadah plastik bekas toples sosis, selain itu terkadang ada saja uang koin yang terjatuh dari sakunya namun sengaja tidak ia ambil agar menjadi harta karun yang akan ia korek-korek. Setidaknya terkumpul uang koin sebesar tiga ratus ribu yang terkumpul selama dua bulan. Setelah dirapikan dalam bungkus plastik, kumpulan uang itu akan ia tukarkan ke toko waralaba untuk mendapatkan uang kertas.Hari ini Brie sudah berjanji bertemu Sherly di Bittercoffee untuk menyerahkan hasil pekerjaannya. Setelah menukarkan uang di toko waralaba, Brie langsung menuju Bittersweet, sepanjang jalan ia berharap hasil kerjanya dapat diterima dengan baik tanpa ada masalah. Berkali-kali ia menarik napas panjang, jantungnya berdesir kencang tak karuan. Perasaan ini mengingatkannya saat p
Brie berdiri mematung di pinggir jalan. Begitu selesai mengutarakan petuahnya, Edwin langsung kembali ke kafe tanpa menunggu jawaban dari Brie. Sedangkan Brie memang tidak mampu membuat jawaban dari serangan Edwin yang tiba-tiba. Mental Brie ambruk begitu saja. “Permisi, Neng Brie?” “Ah-iya, Pak.” Jawab Brie parau, sambil mengusap mata. “Maaf, Neng. Tadi Bapak antri bensinnya lama banget, jadi Neng lama nunggunya.” Tukas Bapak Ojek. “Oh iya, nggak apa-apa, Pak. Saya nggak buru-buru, kok.” Si Bapak Ojek mengendarai motornya dengan hati-hati, namun tetap gesit. Sepanjang jalan Brie melamun,