Share

4. Permata Katastrof

“Kamu bercanda?” cibir Kaliya. “Kita baru menikah beberapa menit yang lalu dan kamu ingin membawaku ke istana jelekmu? Hahaha. Bermimpi saja, Lucifer! Aku tidak akan pernah meninggalkan kerajaan ini!”

“Utututu. Mengapa kamu begitu rumit, Kaliya?” Lucifer berjalan mengelilingi tubuh istrinya perlahan. “Biar kuberi saran. Berpikirlah sederhana, maka kamu akan mengerti apa tujuanku meminang dirimu.”

Kaliya berdecak. “Sudah sangat jelas, bukan? Kamu hanya ingin menguasai semua keturunan Azazel? Aku tahu rencana busukmu, Lucifer!”

“Tidak, tidak. Apa pun yang ada di dalam kepalamu tentang diriku, semuanya salah. Aku hanya ingin menyatukan dua kerajaan untuk menambah kekuatan.”

“Selain itu...,” Lucifer kembali mendekat. Dia meletakkan telapak tangannya di bahu Kaliya dan berbisik, “aku sangat tertarik padamu, Kaliya. Aku tidak sabar untuk membuat keturunan-keturunan iblis bersamamu. Aku yakin, anak-anak kita akan sangat hebat.”

Meski dia seorang iblis, tapi Kaliya bisa merasakan kepanikan yang nyata. Dia merinding usai mendengar suara rendah Lucifer.

“Sudah kuduga. Lucifer pasti memikat setiap wanita iblis dengan cara ini,” batin Kaliya. “Aku tidak boleh lengah. Tapi... tapi kenapa sentuhannya berhasil membuat tubuhku berbalik menginginkannya?”

“Aku akan memberikan apa pun yang kamu mau, Kaliya,” bisik Lucifer lagi. “Kekuasaan, harta, kekuatan. Kamu bisa mendapatkan semuanya.”

Dalam buaian Lucifer, Kaliya merasa mabuk. Ditatapnya iris Lucifer yang kini memancarkan cahaya semerah api. Pertanda bahwa gairah iblis itu sedang meningkat.

Seolah terhipnotis akan betapa tampannya dia, Kaliya tiba-tiba pingsan ke dalam dekapan Lucifer. Rantai api yang menyelimuti tubuhnya langsung hilang.

Alih-alih panik, iblis dengan usia berabad-abad itu malah menyeringai. Dia mengamati wajah Kaliya sembari mengusapkan telunjuknya.

“Bagus, Kaliya. Tidak ada yang lebih indah dari seorang iblis yang pasrah. Kamu akan menjadi milikku selamanya.” Dia menghirup aroma neraka dari leher Kaliya, kemudian tertawa pelan.

Tak bisa sabar lebih lama, Lucifer menggendong Kaliya dan membawanya ke hadapan Elliot.

“Aku akan mengambil putrimu sekarang, Elliot.”

“T-tapi, pestanya belum selesai!” Elliot tampak bingung dan mabuk. Dia sudah menghabiskan sekitar lima liter darah sendirian.

Lucifer mencebik sambil memandang sekitar. “Pesta ini masih akan berlanjut tanpa kehadiranku, dan istriku,” ujarnya penuh penekanan. “Dan sedikit informasi, Kaliya tidak akan pernah kembali ke tempat kumuh ini, Elliot. Dia akan hidup bahagia bersamaku.”

Lucifer mengirimkan sinyal kepada prajurit iblis yang ia bawa dari kerajaannya sendiri. Sedetik kemudian, tentara iblis itu langsung melesat dan menghancurkan pesta. Potongan daging segar berterbangan. Cahaya api Elliot yang melayang di udara langsung lenyap. Semua peralatan makan hancur berkeping-keping.

Melihat itu, tubuh Elliot gemetar.

“Lucifer? Bukan ini yang kamu janjikan padaku!” bentaknya pelan.

“Surprise!” ujar Lucifer riang. “Kamu harus belajar dari masa lalu, Elliot. Iblis tidak percaya kepada sesama iblis.”

Lucifer langsung melesat dengan kobaran api bersama Kaliya yang tak sadarkan ini. Sementara itu, pasukannya kembali menghancurkan kerajaan Elliot. Mereka merusak dinding, menawan para tamu pesta, dan bersenang-senang seolah ini adalah singgasana mereka.

Elliot tak percaya ini. Ia dan Lucifer sudah melakukan kontrak terikat. Sebuah perjanjian darah yang tak bisa dirusak. Tapi... kenapa Lucifer mengkhianatinya?

“KALIYAAA!” teriak Elliot tiba-tiba. “Bawa kembali Kaliya padaku!”

Katarina yang melihat kekacauan ini berusaha menghentikan prajurit Lucifer dengan kekuatannya. Para pelayan serta prajurit Elliot juga turun tangan. Ayahnya ikut murka. Elliot mulai membakar siapa pun dengan api mematikan.

“Lucifer sialan! Aku menyerahkan Kaliya padanya, dan dia mengkhianati Ayah? Lihat saja nanti. Akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri!” batin Katarina. Dia memusatkan kekuatan di telapak tangan, lalu menembakkan bola api terbesar yang pernah dia ciptakan.

****

Kaliya tersentak. Ia bangun dengan perasaan gelisah yang tak pernah ia alami sebelumnya.

“Persetan,” umpat perempuan itu. Dengan melihat sekilas, ia sudah tahu di mana kini ia berbaring.

“Morning,” sapa Lucifer dari ujung ruangan.

Kaliya mendengus. “Apa yang kamu lakukan padaku?”

“Pertanyaan konyol, Kaliya. Kamu tahu sendiri apa yang sudah terjadi.”

“Tidak. Aku tidak tahu, kecuali seorang iblis terhebat bernama Lucifer telah melakukan pemerkosaan kepada putri terakhir dari keturunan Azazel!”

“Bukan pemerkosaan jika kamu dan aku sudah sah, Kaliya. Selamat! Kamu akan segera mengandung keturunanku!”

“Menjijikkan!” Secepat kilat dia meluncur ke arah Lucifer dan mencekiknya. “Dengarkan aku, Lucifer. Sampai hari kiamat tiba pun aku tidak akan pernah sudi melahirkan anakmu! Cuih!”

Dengan santai Lucifer menyeka ludah dari wajahnya. Dia bahkan tidak kesakitan sama sekali saat dicekik oleh Kaliya.

“Bersikap baiklah, Kaliya. Atau kerajaanmu yang akan menanggungnya.”

“Apa maksudmu?”

Lucifer tersenyum kecil. “Jika kamu terus kurang ajar seperti ini, Elliot benar-benar akan tamat.”

Usai mengatakan itu, Lucifer langsung menghempaskan tubuh Kaliya. Wanita itu terpental ke ranjang. Sulur-sulur api dari setiap sisi kini mengikat pergelangan tangan dan kakinya. Kaliya berteriak. Namun Lucifer malah menatapnya dengan rendah.

“Ini satu-satunya jalan untuk membuatmu tunduk, Kaliya. Kamu... harus melahirkan anak-anakku!”

Kaliya menjerit kesakitan saat Lucifer menerjangnya. Iblis licik itu melahap Kaliya dengan ganas. Harus Kaliya akui, dia masih lemah. Kekuatannya masih belum cukup untuk melawan Lucifer. Dan yang bisa dia lakukan saat ini hanya pasrah.

Kepalanya bahkan sudah tak bisa memikirkan rencanan lain.

Kaliya tahu, kejayaannya sudah berakhir.

****

“Ayah, Ayah?” seru Katarina pilu. Dia mengguncang tubuh Elliot, namun raja iblis itu tetap tak sadarkan diri.

Lucifer telah menipu mereka. Seisi kerajaan hancur. Para prajurit keturunan Azazel ditawan. Para penghuni istana sebagian dibinasakan.

Katarina masih terbilang beruntung karena bisa kabur ke puncak pegunungan bersalju bersama ayahnya. Namun, sudah dua jam berlalu usai kejadian itu, mata Elliot masih terpejam.

“Maafkan aku,” isak Katarina. “Seharusnya aku tidak mempercayai Lucifer. Seharusnya aku mendengarkan Kaliya, hiks.”

“Bangunlah, Ayah. Tolong jangan tinggalkan aku. Aku sudah berjanji kepada ibu untuk melindungimu. Kumohon... bangunlah.”

Elliot tiba-tiba terbatuk. Dari mulutnya keluar percikan darah. Iblis tua itu membuka mata dan mendapat tatapan lega putrinya.

“Ayah!” pekik Katarina penuh syukur. “Aku takut kehilanganmu!”

“Katarina ....”

“Iya, Ayah. Aku di sini. Aku bersamamu.”

“Kaliya—uhuk, selamatkan Kaliya,” ucapnya parau.

“Lucifer sudah membawanya. Kerajaan kita sudah hancur, Ayah.”

Elliot bernafas lemah, lalu menggelengkan kepala. “Tidak, semua ini belum berakhir. Kirimkan bulu burung api kepada Kaliya, dan katakan padanya untuk mencuri sesuatu.”

Katarina mengernyitkan dahi tak mengerti.

“Tolong, Katarina. Bulu burung phoenix.”

“Kita sudah berada jauh dari kerajaan. Aku tak bisa mengambilnya, Ayah.”

“Masih ada satu. Di dalam jantungku.”

“Apa?! Apa Ayah bercanda?”

“Belah jantungku dan ambil bulu phoenix itu. Sampaikan kepada Kaliya untuk mencuri permata Katastof dari Lucifer. Kekuatan burung phoenix milik Azazel akan terus melindunginya.”

Katarina menggeleng panik. “Tidak mungkin! Aku tidak akan pernah melakukannya!”

“Katarina, tolonglah.”

“Ayah, aku tidak bisa!” isak Katarina lagi. “Membelah jantungmu, sama saja menerima kematianmu. Bagaimana kita bisa membangun kembali kerajaan jika Ayah binasa?”

“Kaliya bisa melakukannya. Percayalah padaku. Aku sudah lemah, Katarina. Aku tidak akan bisa memimpin kerajaan iblis lagi. Waktuku hanya sampai di sini.”

Katarina membeku, namun air matanya mengalir tanpa henti.

Dalam keheningan itu, Elliot terus mengulang amanat terakhirnya. Usai mengatakannya belasan kali, barulah Katarina menguatkan diri. Dia memanjangkan kuku jarinya, kemudian menusuk dada Elliot tanpa ragu.

Perempuan iblis itu bisa merasakan jantung sang ayah berdenyut di telapak tangannya.

Melihat kesedihan di mata Katarina, Elliot bergumam, “Jangan menangis, Katarina. Ini adalah yang terbaik.”

Katarina mengangguk, kemudian menarik jantung Elliot sekaligus. Seketika itu juga pupil mata Elliot tak bergerak lagi.

Katarina menangis sejadi-jadinya. Namun ia telah diberi tugas. Dirobeknya jantung sang ayah, kemudian mengeluarkan bulu phoenix peninggalan Azazel dari dalam sana.

 ****

“Ini bukan apa yang aku rencanakan,” gumam Kaliya lemah.

Di bawah ikatan api, tubuhnya digauli oleh Lucifer secara brutal. Berusaha berkali-kali pun, Kaliya tetap tak bisa melawan. Pernikahan ini membuatnya lemah.

Jika ada cara lain untuk melawan Lucifer, maka Kaliya dengan senang hati akan melakukannya. Tapi kini dia sendiri. Tak ada Katarina, tak ada ayahnya, tak ada prajurit keturunan Azazel yang akan membantu. Lalu ia harus bagaimana?

Kaliya tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk menjadi budak dari Lucifer. Dia tidak mau Lucifer menguasai seluruh neraka dan bumi.

Belum genap sehari dia di sini, rasanya Kaliya sudah tenggelam dalam lautan kekalahan. Bersamaan dengan rasa putus asa yang semakin besar, suara ketukan kecil dari jendela tiba-tiba mengejutkannya.

“Phoenix?” gumam Kaliya heran saat melihat siluet burung phoenix kehitaman di luar sana.

Lucifer sengaja mengurung Kaliya di menara paling tinggi agar dia tak terjangkau oleh siapa pun. Tapi burung ini berhasil menemukan keberadaannya.

Dengan sisa kekuatan, Kaliya bangkit. Dia berjalan tertatih mendekati jendela.

“Hei,” sapanya kepada burung itu. “Apa yang kamu lakukan di sini?”

Burung phoenix itu hanya mengeluarkan suara pekikan kecil. Dia menggunakan paruhnya sebagai isyarat kepada Kaliya untuk membuka jendela.

“Aku tidak bisa. Lucifer telah melindungi tempat ini dengan sihirnya. Aku tak akan mampu melakukan apa pun.”

Seolah mengerti, burung itu mengangguk. Dalam hitungan detik, muncul semburan api dari paruhnya.

Refleks Kaliya menjauh. Dia takjub karena semburan api itu berhasil melubangi jendela.

“Luar biasa! Bagaimana kamu bisa melakukannya?”

Burung phoenix itu menunduk pelan sebagai pertanda bahwa ia menghargai pujian Kaliya. Sayap kehitaman yang terbakar di ujungnya itu mengepak. Dia memutari ruangan lalu berhenti di tepi ranjang.

“Kaliya?” Tiba-tiba burung itu berbicara.

“Apa-apaan ini? Kamu adalah Katarina?” desisnya tajam. Sesekali ia melirik ke arah pintu karena takut Lucifer kembali.

Burung phoenix itu menggelengkan kepala. Saat paruhnya terbuka, suara Katarina kembali terdengar.

“Dengarkan aku, Kaliya. Ayah binasa dan kerajaan kita sudah hancur. Lucifer memang penipu—maafkan aku karena tidak percaya padamu. Curi permata Katastrof di kediaman Lucifer, dengan begitu kamu bisa membalaskan dendam ayah. Burung phoenix ini wujud perlindungan Azazel dan Ayah untukmu. Kaburlah ke tempat paling jauh agar Lucifer tidak bisa menemukanmu. Kemudian, bangun kembali kerajaan ini untuk ayahmu.”

Kaliya tercengang. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak menyangka jika kematian ayahnya tiba secepat ini.

“Lucifer berengsek!” umpat Kaliya. Api di tangannya bermunculan. Dia siap menghancurkan istana ini jika perlu.

Namun, emosinya langsung lenyap saat utusan burung phoenix itu mengeluarkan suara-suara penenang.

“Terima kasih,” bisik Kaliya. “Soal permata itu, apakah kamu tahu di mana Lucifer menyimpannya?”

Burung phoenix api itu mengangguk.

“Sungguh? Bukankah batu permata itu hanya bualan?”

Suara pekikan terdengar, seolah burung tersebut tidak setuju dengan pernyataan Kaliya tadi.

Di kalangan para iblis, rumor tentang permata Katastrof ini sudah menyebar. Ada yang percaya akan legenda itu, ada pula yang tidak. Kaliya sendiri masih ragu akan keabsahan berita tersebut. Namun, Elliot memercayainya.

“Bantu aku untuk mengambil batu itu,” ujarnya tiba-tiba. “Aku tahu bahwa kamu akan melindungiku apa pun yang terjadi.”

Burung phoenix memekik lagi. Dia merentangkan sayap apinya dengan senang. Lalu dia pindah ke lantai, dan mengubah ukuran tubuhnya menjadi lebih besar.

Kaliya naik ke punggung sang phoenix dan berpegangan pada bulu-bulu yang terbuat dari api. Sedetik kemudian mereka terbang, menembus pintu pertahanan Lucifer hingga menimbulkan ledakan.

Para pelayan di kediaman Lucifer langsung ricuh karena kejadian ini. Sayangnya, Kaliya tidak peduli. Dia tertawa puas saat melihat lidah api yang disemburkan kepada mereka oleh sang phoenix.

Mereka terbang mengitari ruangan, menembus atap untuk pergi ke menara yang lebih tinggi, dan sampailah mereka di hadapan piramida api dengan permata Katastrof di puncaknya.

“Ternyata, permata itu benar-benar ada,” bisik Kaliya lalu mendapat sahutan dari burung phoenix.

Perempuan iblis itu turun, lalu bergerak ke arah piramida. Dia merentangkan sayap hitam yang sudah lama ia sembunyikan. Kakinya perlahan melayang di udara. Dan dengan mudahnya, permata Katastrof itu kini berada dalam genggaman Kaliya.

“Jauhkan batu itu dari tanganmu, Kaliya.”

Kaliya tersentak saat mendengar suara Lucifer. Burung phoenix memekik garang, dia berpindah ke hadapan Kaliya untuk melindunginya.

“Kenapa, Lucifer? Apa kamu takut aku akan menghancurkanmu dengan batu ini?”

“Cih. Aku tidak terbiasa mendapat ancaman.” Pupil mata Lucifer semakin merah karena kemarahan. “Selagi aku masih berbaik hati, letakkan kembali batu itu dan aku akan mengampunimu.”

“Maafkan aku. Sayangnya, tidak akan pernah! Phoenix!” seru Kaliya cepat.

Phoenix api langsung menyambar Lucifer dengan api kehitaman, api yang hanya dimiliki oleh Azazel. Sementara Kaliya mengepakkan sayapnya sekuat tenaga untuk melarikan diri dari sana.

Berkat semburan api burung phoenix, bagian utara dinding menara berlubang. Kaliya melesat ke sana seraya melemparkan bola-bola api agar bisa melumpuhkan Lucifer.

Dia terbang semakin jauh. Permata Katastrof digenggamnya erat-erat. Kaliya belum tahu dia harus pergi ke mana. Jika ia kembali ke kerajaan Elliot, sudah pasti dia hanya akan menemukan reruntuhan.

Kaliya menoleh, dan mendapati serangan petir dari belakang. Dia berusaha menghindar sekuat tenaga. Ternyata, salah satu anak buah Lucifer sedang mengejarnya!

Berkali-kali dia menghindar dan melemparkan balasan. Namun, energi Kaliya lama-lama berkurang. Dia lengah. Dia tidak tahu petir itu menyambar dengan cepat. Yang Kaliya tahu, sayap sebelah kanannya sakit dan terbakar.

Kaliya jatuh. Sekuat apa pun dia berusaha, sayapnya seolah lumpuh. Dia terus melayang dengan kecepatan tinggi menembus lapisan langit dan awan. Saat tubuhnya menghempas lapisan atmosfer menuju bumi, permata Katastfor dalam genggamannya pecah.

Kaliya menjerit. Dia melihat pecahan batu itu menyebar ke mana-mana. Sebelum akhirnya, dia benar-benar jatuh menghantam benda keras yang sangat menyakitkan.

Samar-samar, iblis itu mendengar seorang pria berteriak.

Sebelum kesadaran Kaliya benar-benar menghilang, ia bisa melihat pria itu berlari ke arahnya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status