Share

Gairah Cinta Tak Memandang Usia
Gairah Cinta Tak Memandang Usia
Author: Sanskerta

Pertemuan Pertama

Tahun ajaran baru telah tiba. Seperti biasa, setelah melewati liburan panjang selama kurang lebih dua bulanan, pria dengan pekerjaan sebagai seorang dosen itu harus kembali menapaki kampus dengan tujuan tentu untuk mengajar. Memberi ilmu pada mahasiswanya agar pandangan mereka lebih luas.

Namanya Pram. Gemilang Bintang Pram Santoso. Seorang dosen dari jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu universitas swasta di Jakarta. Jangan tanya umurnya berapa karena pria dengan setelan kemeja putih dan celana gelap itu sangat sensitif jika seseorang menanyakan umurnya. Menurut pria itu, umur hanyalah angka. Tak berarti apa pun selama kualitas diri lebih oke dan jiwa terasa masih muda.

Langkah lebarnya membelah lautan mahasiswa yang memenuhi lantai lobi kampus.

"Selamat pagi, Pak Pram," sapa salah satu mahasiswa bimbingannya yang dia kenal sebagai mantan wakil ketua HMJ.

Pram tak menghentikan langkahnya, tetapi dia tersenyum pada mahasiswa itu. Iya, meskipun wajahnya terlihat kurang bisa berekspresi, tetapi Pram bukanlah tipe orang yang dingin. Dia bisa tersenyum kepada orang-orang dengan ramah. Membalas sapaan mahasiswanya atau sekedar mengobrol sebentar dengan mereka.

Hari ini jadwal mengajarnya tak padat. Hanya dua SKS untuk mahasiswa baru dan empat SKS untuk mahasiswa basi alias mahasiswa lama. Setelahnya di free. Tak ada kegiatan lain selain pergi ke kantor untuk melihat kondisinya setelah setahun yang lalu dia mulai menggunakan jasa Manajer Profesional.

Ya, menjadi seorang anak dari pemilik perusahaan tak senyaman yang dikira orang-orang. Setidaknya Pram harus ikut andil menjalankan perusahaan yang mana bukan passion-nya. Dia tak suka dunia bisnis yang selalu tentang persaingan. Belum lagi orang-orang licik di dalamnya. Dengan persetujuan kedua orang tuanya, Pram menyerahkan tanggung jawabnya dengan menggunakan jasa manajer profesional. Meski begitu, Pram tetap harus memeriksa semuanya. Memberi perintah dan mengonfirmasi. Langkah apa yang akan diambil sang manajer harus lewat pemeriksaannya dulu. Barulah boleh dilaksanakan jika telah dia setujui.

Pram sendiri lebih suka menjadi seorang dosen. Mendidik para mahasiswa agar membuka pandangan lebih luas tentang dunia yang pelik ini. Membaca dan mengajar adalah hobinya. Tak ada alasan spesial, itu hanya kesukaannya. Berbanding terbalik dengan kakak pertamanya yang lebih suka berkecimpung di dunia persaingan seperti ayahnya, meskipun dia seorang wanita.

"Selamat pagi, Mas Pram."

Pram yang sedang meletakkan barang-barang di mejanya segera menoleh mendengar sapaan seseorang. Dia menemukan seorang wanita paruh baya di sana dengan senyum tipis di bibirnya.

"Pagi juga Bu Devi," sapanya balik pada ketua program studi yang baru saja masuk.

Bu Devi berjalan ke arah mejanya berada.

"Ngajar di mana nanti Mas?" tanyanya.

"Dua kelas aja, Bu. Anak baru sama mahasiswa semester 7."

"Wah, Seninnya senggang, ya, Mas."

Pram tersenyum tipis mendengar itu. Senin senggang memang sangat jarang. Bahkan dua tahun mengajar, baru semester ini menemukan jadwal bahwa Seninnya lumayan sepi. Paling cepat biasanya dia sampai sore. Kali ini, pukul satu siang dia sudah lepas dari jadwal kampus. Untuk sekarang masih belum ada jadwal seminar atau pun rapat.

Jam mulai menunjukkan pukul delapan pas. Para dosen mulai berdatangan. Ada yang sudah datang sedari tadi, kini keluar untuk mengajar. Rata-rata yang begitu dosen yang biasanya para mahasiswa sebut killer. Dan Pram salah satunya. Sebenarnya sebutan killer itu karena dosen itu berada di jalan yang benar. Makanya para mahasiswa yang hidupnya kebanyakan klemar-klemer selalu merasa tak nyaman dengan dosen yang sat set seperti Pram.

"Pagi, Bu Devi, pagi Mas Pram."

Sapa seorang wanita dengan setelan kasual dan terlihat anggun dipakainya, masuk dengan senyum tipis.

Pram tersenyum melihat kedatangan wanita itu.

"Pagi juga, Bu Salisa," sapa balik oleh Bu Devi.

"Duh, tambah ayu saja Bu Salisa ini. Cocok sekali dengan Mas Pram."

Pram terkekeh, sedangkan Salisa tersenyum malu.

"Sudah, cepat disegerakan Mas Pram. Nanti Bu Salisa diembat orang gimana coba?" kelakar Devi ketika terus melihat kucing-kucingan antara dua bawahannya.

"Pak Pram ini sahabat saya kok, Bu," jawab Salisa dengan cengiran. Dia pun berjalan mendekat ke arah mejanya yang sejajar dengan meja Pram.

Pram hanya diam. Perkataan itu bukan apa-apa ketimbang kenangan dua kali penolakan dari wanita itu. Hatinya sudah kebal.

"Ngajar sampe pukul berapa?"

Salisa mengingat sebentar. "Sore kayaknya. Lo?"

"Siang doang. Dinner mau sama gue?"

Salisa langsung mengangguk dengan dua jempol terangkat.

Makanan doang yang di-yes-in. Perasaan Pram tidak.

Sudah biasa. Pram tak kaget akan itu.

Lalu Salisa dan Pram berpisah untuk beranjak ke kelas masing-masing yang akan dia ajar.

"Jangan galak-galak ke anak baru, Pram," ujar Salisa di akhiri dengan lambaiannya.

Pram hanya menaikkan kedua alisnya sebelum kembali melangkah ke arah tujuannya. Lantai empat lah yang dimaksud. Biasanya Pram lebih suka sampai dengan menaiki tangga. Namun hari ini badannya terasa tak nyaman, seperti masuk angin. Jadi dia memutuskan untuk menaiki lift.

Seperti biasa, lift terlihat penuh. Tak ada pembeda antara lift dosen dan mahasiswa di sana. Semuanya bercampur. Hanya saja untuk menuju lantai tiga dan dua harus memiliki kartu akses yang hanya dimiliki oleh dosen karena lantai itu terdapat ruangan rapat yang hanya dikhususkan oleh para jajaran.

Belum sampai pada jajaran mahasiswa yang mengantri, semuanya segera memberikan jalan pada Pram agar lebih dulu memasuki lift yang mereka tunggu sedari tadi.

Pram tak menolak. Mereka masih muda, jadi jika terlambat bisa berlari ke arah tangga. Sedangkan dirinya sudah berumur—ah, bukan begitu juga, tapi memang begitu—yang jika sakit begini menaiki tangga rasanya tubuhnya rontok semua.

Di lift itu tak begitu sesak. Ada tiga perempuan dan dua lelaki. Namun ketika dia sudah masuk ke sana, para mahasiswa di belakang berebutan untuk ikut masuk.

Ada dua alasan yang cocok untuk orang-orang itu. Pertama, mereka ingin satu lift dengan Pram. Kedua, mereka tak ingin telat karena dosen mereka tepat waktu seperti Pram. Namun melihat dari mereka tak ada satu pun yang menyapanya, Pram merasa alasan kedua yang cocok untuk mereka.

Pram terdorong sampai berdekatan dengan seorang wanita yang sedari dia masuk terus menatap ponselnya. Sudah sebegitu sesaknya lift itu, tetapi para mahasiswa masih berusaha mencari space kosong untuk mereka sampai benar-benar sesesak itu. Bahkan tubuh Pram dan mahasiswa itu saling menempel. Ada gesekan sedikit saat wanita itu terus di dorong ke belakang.

"Woy! Penuh ini!" ujar wanita itu setelah alarm tanda lift keberatan muatan terdengar.

Lalu beberapa orang mengalah dan keluar sampai alarm itu tak lagi berbunyi.

Pram ingin menempatkan tas laptopnya di depan asetnya, tetapi jika dia bergerak, ada kemungkiman orang di depannya salah paham. Dia pun mengangkat tangannya agar jika wanita itu merasa dilecehkan, CCTV bisa melihat tangannya tak melakukan apa pun. Bukan salahnya jika phallus-nya mengembang akibat senggolan oleh gundukan belakang wanita itu. Entah disengaja atau tidak, Pram tak tahu itu. Namun dari sesaknya besi kotak itu, Pram menyimpulkan bahwa semuanya karena orang-orang yang berdesakan.

Wanita itu terkekeh sinis. "Boys will boys," katanya dengan tetap memandang ponselnya seolah dia mengatakan itu untuk sesuatu di layar itu. Padahal Pram tahu betul perkataan itu untuknya.

Pram mengikuti alur buatan wanita itu. Dia ikut mengeluarkan ponselnya, meletakkan di telinganya seolah dia sedang menelepon. "Hey, Excuse me, itu salah saya?"

Beberapa orang menoleh ke arahnya. Bukan karena dia berteriak, tetapi karena suara lirihnya yang terdengar musk dan berat.

Begitu pun dengan wanita itu. Dia mendongak untuk melihat wajah Pram.

Pram memamerkan senyum palsu pada wanita itu. Setelah angka lift menunjukkan lantai tujuannya, dia pun segera pamit dengan isyarat pada wanita itu untuk keluar lebih dulu.

Wanita dengan rambut gelombang itu menatap Pram dengan tak suka, tetapi dia tetap menyingkir dari hadapan pria itu. Tujuan mereka berbeda. Wanita itu tetap stay di sana, sedangkan Pram keluar dari sana.

Pram menghela napas untuk merilekskan diri. Pria dewasa tanpa pasangan, di pagi hari terkena senggolan pantat wanita yang tak dikenal harus dimaklumi bukan jika phallus-nya terbangun? Itu sebuah kejadian yang tak terencana. Semoga tak mencoreng nama baik seorang dosen. Nama baiknya tak apa, asal jangan nama instansi atau pekerjaannya yang sangat mulia. Jika wanita itu memiliki akal, pasti dia akan memakluminya.

Setelah ini apakah dia akan dicap sebagai dosen mesum?

Pram menghela napasnya sebelum masuk di sebuah ruangan yang berada di ujung dekat tangga. Dia meninggalkan semua masalah pribadinya di luar, lalu fokus untuk menjalankan kewajibannya.

Langkahnya santai, tetapi orang-orang di dalam langsung ribut begitu melihat sosoknya.

Pram tersenyum tipis melihat itu.

"Tolong ditutup pintunya," ujar Pram pada seorang mahasiswi berhijab yang duduk lebih dekat dengan pintu.

Dia tersenyum sopan lalu mengangguk, setelahnya di berdiri untuk menutup pintu itu dan kembali duduk ke kursinya setelah melaksanakan tugas yang diberikan oleh Pram.

Setelahnya, Pram menghidupkan laptopnya. Mengambil kabel proyektor untuk menyambungkan tampilan layar laptopnya pada benda teknologi itu.

"Mas-mas yang tinggi, tolong tarik itu," tunjuk Pram pada pegangan layar yang berada di atas papan.

Sebenarnya Pram bisa melakukan sendiri semua suruhannya, tetapi itu agar membuat koneksi komunikasi dengan para mahasiswanya. Karena jika dia melakukan semuanya sendiri, kelas akan hening dan wajah dinginnya membuat kesan buruk dipertemuan pertamanya dengan para mahasiswa yang masih unyuk-unyuk.

"Oke, saya akan menjelaskan peraturan-peraturan di kelas saya."

Pram berdiri dari duduknya.

"Pertama, kalian tidak boleh menggunakan ponsel barang sedetik pun, kecuali: satu, saat absen. Dua, saat saya suruh. Selain dari dua hal tersebut, kalian sangat dilarang menggunakan benda pipih itu. Paham?"

Para mahasiswa menyahut paham dengan serentak. Namun satu orang mengunjukkan tangan.

"Hukumannya apa, Pak?"

Pram tersenyum tipis. "Tidak ada," jawabnya dengan tanpa memikirkan sedikit pun hukuman untuk mereka.

Mereka tertawa mendengar itu. Tawa yang sama dengan para kakak tingkat mereka saat masih mahasiswa baru juga.

"Toleransi keterlambatan lima menit. Lebih dari itu silakan membuat makalah tentang materi hari itu lalu mempresentasilan pada saya lewat pertemuan virtual."

Satu orang mengangkat tangan. Namun Pram menahannya sebentar untuk melanjutkan kalimatnya.

"Itu juga berlaku untuk saya. Bedanya saya tetap mengajar. Namun setiap saya telat, saya akan mengugurkan satu rencana kuis mendadak dari saya untuk kalian dan memberi nilai A pada kuis itu bagi yang hadir sebelum saya terlambat."

Semuanya bersorak gembira. Sedangkan Pram hanya tersenyum tipis merekam senyum-senyum itu diingatannya yang sepertinya mustahil untuk dia lihat ke depannya.

Itu mustahil, ya. Jangan berharap.

Setelah itu, Pram melanjutkan menjelaskan mekanisme pengajarannya lalu berlanjut pada sesi saling berkenalan diri, baik dirinya atau pun mahasiswanya.

Setiap mengajar mahasiswa baru, pertemuan pertamanya akan Pram isi dengan perkenalan dan pembagian kelompok presentasi. Namun setelah hari itu, tidak ada namanya hari santai. Semua harus bersiap berada di kapal pengajarannya sampai berhenti dipelabuhan pergantian semester.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status