Share

Kelas Kating

Selesai mengajar di kelas anak-anak baru, Pram melangkahkan kakinya untuk menuju ke kelas selanjutnya. Yakni kelas para mahasiswa basi. Mata kuliah yang dia ajarkan untuk mereka adalah riset. Untuk kelas ini, Pram akan membuat kesepakatan untuk pertemuan mereka karena tak mungkin setiap minggu mereka harus berada di kelas. Mahasiswa seperti ini sudah punya kesibukan masing-masing. Ada yang magang, ada yang sudah bekerja، ada yang job sana sini, ada pula yang menunggu nasib baik di kediaman.

Pram membuka pintu, tak seperti mahasiswa baru yang antusias, para mahasiswa yang berjumlah 72 orang ini menatap biasa pada Pram. Hanya tersenyum tipis jika saling berserobok mata.

Pram mendudukkan diri lalu menatap pada sebagian anggota kelas yang Pram hafal namanya karena mereka sering bolak-balik bertemu kaprodi. Apalagi di kelas itu lebih banyak pengurus himpunan yang sering mengundangnya untuk seminar.

Pram memang bukan orang yang sangat hafal dengan satu persatu anak didiknya, dia mengajar lebih dari sepuluh kelas setiap semesternya, tetapi dia masih bisa mengenali orang-orang yang aktif di kelasnya dan orang-orang yang bermasalah di kelasnya.

Pram membuka kelas, sekedar untuk sapaan semata.

"Mata kuliah riset 'kan?" tanya Pram basa-basi.

Mereka mengangguk serentak.

"Sistem kelulusan sekarang berbeda. Sudah dengar?"

Daffa, wakil HMJ mengacungkan tangan. "Enggak ada skripsi 'kan Pak?"

Anak organisasi memang selalu lebih dulu tahu perihal rahasia kampus.

Pram tersenyum tipis lalu mengangguk. Lainnya pun saling berbisik bahagia dengan teman sebelahnya.

"Kabar bahagia bukan itu?"

Mereka menjawab iya dengan serentak.

Seseorang dari kursi tengah mengangkat tangannya dan saat itu juga Pram langsung mengenali wajah itu dan menyadari bahwa wanita di lift tadi merupakan mahasiswinya.

Netra Pram berserobok dengan wanita itu. Jika dia menatap Pram dengan malas, maka Pram menatapnya dengan tatapan dingin. Meski begitu, bibirnya tersenyum tipis.

"Silakan," ujar Pram.

"Kalo enggak ada skripsi, diganti apa Pak? Kalo cuma lulus doang kan kaga ada nangis-nangis perjuangannya."

Pram membatin bahwa wanita itu terlalu sombong. Seingatnya wanita itu tak pernah terlihat berprestasi di kelasnya atau dia sudah mulai lupa? Pram juga tak ingat di himpunan ada pengurus berwajah chinese seperti itu. Dia juga bukan mahasiswa bermasalah di kelasnya.

Pram tersenyum tipis lalu berjalan mendekat ke arah meja mahasiswa, satu tangannya bertumpu di meja mahasiswa yang pernah bermasalah di kelasnya. Sopo namanya.

"Jurusan kita skripsi sudah dihapuskan, dan penggantinya tugas akhir kalian sebagai syarat wisuda nanti adalah membuat penelitian jurnal dan minimal terbit sinta tiga."

Merka ber-wah riah.

"Mudah bukan?" tanya Pram yang langsung diserbu oleh para mahasiswa itu.

"Pak, gimana kalo penelitian kita enggak masuk kualifikasi sinta tiga? Apakah harus mengulang?"

Pram menggeleng kecil. "Itu tidak mungkin, karena yang menjadi pembimbing proposal adalah saya sendiri, dan Prof Mesut."

Semuanya berseru heboh mendengar itu.

Pram sendiri hanya tersenyum tipis mendengar itu. Perpaduan antara dirinya dan Prof Mesut adalah duo sempurna. Dua dosen yang sangat dihindari untuk menjadi pembimbing skripsi kini menjadi pembimbing proposal satu angkatan. Mereka bisa membayangkan bagaimana judulnya yang terus ditolak. Pengalaman saat UTS mata kuliah metodologi penelitian kuantitatif maupun kualitatif.

"Seperti yang kalian tahu, semester yang lalu saya meng-handle di kualitatif dan Prof Mesut di kuantitatif. Jadi, yang ingin mengajukan judul dengan metode yang sesuai itu, silakan langsung ke dosen yang cocok. Lebih cepat lebih baik."

Mereka mengangguk-angguk.

"Karena saya tahu banyak sebagian dari mahasiswa saya yang lebih suka menggunakan metode kualitatif, jadi saya memberi kuota sebanyak 32 mahasiswa untuk menjadi anak bimbingan saya. Lebih dari itu, tetap dibimbing Prof Mesut meskipun kalian menggunakan metode kualitatif. So, tahu maksud saya bukan?"

Wajah mereka belum selesai dengan keterkejutan.

"Saya mewakili Prof Mesut, untuk mengatakan bahwa beliau menunggu kalian mengirimkan judul, permasalahan, dan metode yang akan dipakai. Waktunya bebas. Berlaku kepada saya juga. Kalian bisa mengirim kapan pun. Hari ini langsung kirim, boleh."

Mereka mengangguk-angguk dengan wajah masih terlihat takut akan ke depannya.

"Pak, ada batas waktu pengumpulan?" Kevin bertanya.

Pram menggeleng, membuat mereka menghela napas lega.

"Tapi ...."

Wajah mereka berubah, lalu berseru dengan serentak,

"Kaaaaaan, sudah kuduga pasti engga segampang itu."

"Engga ada tenggat waktu, tapi entar seolah kita dikejar waktu."

"Engga mungkin semulus itu, percaya deh."

"Udah gue duga."

Pram tertawa renyah mendengar keluhan itu. "Padahal saya belum menjelaskan maksud dari kata tapi saya."

"Sudah ketebak Pak. Empat semester bersama Pak Pram, sudah mampu menghapalnya," celetuk Jarwo di kursi belakang dengan wajah lesu.

Beda dengan para mahasiswa, Pram malah tersenyum geli.

"Ya, dari saya maupun Prof mesut nggak ada tenggat waktu. Hanya, kaprodi ingin semester ini semuanya sudah ujian sempro. Kalo telat bagaimana? Ya, ditanggung penumpang. Jurusan sudah menyiapkan jadwal ke depannya untuk kalian, kalo kalian enggak pake ya ... terserah. Beliau tidak ikut campur, kalian sendiri yang harus mandiri. Kalo kalian telat semester ini, semester depan saya juga memegang adik tingkat kalian. Tentu atensi saya untuk kalian berkurang. Lalu jika penelitian kalian tidak masuk sinta tiga siapa yang salah?"

Mereka mengangguk-angguk.

"Dua minggu ke depan saya akan membimbing judul, satu minggu setelahnya abstrak. Lalu bulan depan metadata dan instrumen penelitian. Bulan depannya lagi metode dan pendahuluan. Bulan November-Desember kalian mulai ujian sempro ke pembimbing masing-masing."

"Pembimbingnya Pak Pram sama Pak Mesut juga?"

Pram menggeleng lalu mengangguk, membuat mereka bertanya-tanya apa maksudnya.

"Bisa iya, bisa tidak."

Mereka masih bingung dengan ucapan Pram.

"Yang menguji kalian langsung dosen pembimbing sampai akhir penelitian. Kalo dospem kalian saya, ya ... saya. Kalo Bu Devi ... ya, Bu Devi. Atau Bu Salisa dan Prof Mesut juga bisa."

Mereka terlihat mengangguk, membuat Pram tahu bahwa penjelasannya dimengerti oleh mereka.

"Oalah, jadi Pak Pram dan Prof Mesut hanya membimbing proposalnya saja. Lalu untuk seterusnya sampai akhir akan dibimbing oleh dosen pembimbing skripsi gitu, ya, Pak? Tapi ada kemungkinan dari kami juga mahasiswa bimbingan Bapak karena Bapak juga termasuk salah satu dospem skripsi?" tanya Adit dengan memperjelas ucapan Pram.

Pram mengangguk mantap. "Bingo," katanya.

"Oh, iya, biar tidak bolak-balik dan sia-sia. Siapkan sepuluh judul penelitian, ya."

Mereka berseru heboh lagi. Kali ini dengan keluhan dan tebak-tebakan siapa yang akan jadi dosen pembimbing mereka.

Pram tersenyum mendengar itu. Dia pun tak tahu siapa mahasiswa yang akan dia bimbing, karena pengelompokannya dilihat dari topik mereka sesuai yang dipegang oleh tujuh dosen yang akan menjadi dosen pembimbing.

***

Selesai kelas tepat pukul satu siang. Belum makan siang dan cacing di dalam perut Pram meminta untuk diberi asupan. Sebenarnya Pram ingin langsung meninggalkan kampus, tetapi sangat nanggung. Jadi, dia mengabarkan pada mahasiswa bimbingannya tahun kemarin yang ingin bimbingan dengannya maka ke kampus sekarang, karena dia sedang ada waktu luang.

Pram meletakkan tas laptopnya di meja kerja, lalu ketika berbalik, Salisa masuk ke dalam ruang dosen.

"Udah makan siang?"

Salisa menggeleng dengan lesu.

"Mau Go-Food atau ke kantin?"

Wanita dengan rambut panjang yang dikucir rapi itu terlihat bersemangat ketika mendengar kata terakhir dari Pram.

"Gue ngidam mie ayamnya Mang Karim. Ayo! " katanya sembari langsung berbalik ketika selesai meletakkan tasnya dengan sembarang.

Pram menggeleng. "Ngidam apaan, laki juga belum ada lu."

Dia pun mengambil tas laptop Salisa, lalu meletakkan di kursi kerja wanita itu. Setelahnya dia ikut pergi dari sana.

"Semoga aja kantin enggak rame," ujar Salisa dengan tangan yang memohon pada Tuhan.

Pram terkekeh, lalu dia menatap jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Udah lewat satu jam istirahat seharusnya agak enggak rame-rame amat, ya."

Salisa mengangguk setuju. Area kampus juga agak sepi. Ada dua kemungkinan. Bisa saja para mahasiswa pulang, atau sudah masuk kelas.

Seperti yang sudah diprediksi, kantin terlihat sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang nongkrong ria.

Salisa segera memilih tempat duduk, sedangkan Pram langsung menuju ke tempat penjualnya. Tak perlu menyebutkan apa pesanan sahabatnya itu, Pram sudah langsung tahu. Pasti mie ayam dengan pangsit yang lebih dan minumnya es teh.

Setelah mendapatkan pesanannya, Pram langsung menuju meja yang dihuni oleh Salisa.

"Sal—"

"Ssst."

Salisa menghentikan panggilan Pram, lalu segera melambai agar Pram langsung duduk tanpa mengatakan apa pun.

Pram patuh meski wajahnya bertanya-tanya apa maksudnya.

"Makan sambil dengerin mahasiswa yang ngomongin lo itu nikmat banget," bisik Salisa dengan mata menyiratkan orang di belakang Pram sedang membicarakannya.

Pram ingin menegur mahasiswanya itu, tetapi Salisa menghentikannya.

"Dengerin aja, seru, nih," katanya.

Pram hanya bisa menuruti kemauan Salisa. Dia pun melahap mie ayamnya diiringi backsound tiga mahasiswa--diantaranya satu perempuan dan dua lelaki--di belakangnya yang sedang menjulidinya. Saking serunya bahkan mereka tak melihat Pram yang jelas-jelas berjalan di belakang mereka tadi, tak terlihat.

"Kak."

Dua orang mahasiswa datang dan ikut menimbrung dengan tiga orang tadi.

"Seru banget kayaknya, lagi ngomongin apa?"

"Pak Pram," jawab seorang wanita yang duduk membelakangi Pram.

"Eh, gue juga tadi diajar Pak Pram, Kak. Baik banget sumpah, ganteng lagi, murah senyum juga. Umur berapa sih beliau?" tanyanya dengan suara yang mengagung-agungkan Pram.

"37," celetuk seseorang dengan acuh tak acuh.

"Hah?! Kok awet muda bangeet. Gue kira 28-an gitu."

Pram tersenyum bangga mendengarnya.

Salisa memanggilnya dengan kode.

"Anak baru pasti?" tanyanya di akhiri dengan satu alis yang naik lalu turun lagi seiring dengan kekehannya yang keluar.

"Emh, Dek, Dek. Jangan kepincut sama tampangnya iblis berwajah malaikat," ujar seseorang di belakang Pram yang membuatnya memasang telinga untuk mendengar rumor tentangnya.

"Kenapa, Kak?"

"Yah, lu enggak tahu aja. Jelasin Chel," ujar lelaki itu pada wanita di belakang Pram.

"Kerja rodi, kerja paksa. Itu kami, wahai reksa."

Semuanya terkekeh.

"Jangan terlena dengan perkataan manisnya, Dek. Karena sebenarnya itu jebakan Batman."

Mahasiswa yang Pram tebak sebagai anak baru itu bertanya karena tak paham.

"Kamu baru diajar sekali?"

Anak itu tak menjawab, tetapi Pram menebak bahwa dua orang itu mengangguk.

"Em, bentar biasanya kalo maba awal pertemuan itu perkenalan sama ngasih tahu peraturan, ya, kan?"

Dua maba tadi tak menjawab lagi.

"Nah, jangan sekali-kali ngelanggar peraturannya."

"Kenapa? Bukannya engga ada hukumannya."

Satu mahasiswa menggebrak meja, membuat Pram menoleh. Pelakunya adalah lelaki yang duduk di samping wanita di belakangnya.

"Itu jebakan Batman-nya. Kalo kamu melanggar, kamu akan ditandai dan setiap kuis kamu akan paling dicecar."

"Hah? Emang iya Kak?"

"Ga percaya? Cobain aja. Gue udah buktiin sendiri. Hidup gue empat semester kemarin kaga tenang, Cuy."

"Hih, gamau."

Salisa terkekeh mendengar itu. Wajahnya sampai merah menahan tawanya agar tak tumpah.

Pram pun membalik duduknya menghadap ke arah gerombolan itu. Dia pun berdehem agar mereka kompak menoleh ke arahnya.

Dan seketika dia menemukan dua lelaki yang biasa membuat masalah di kelasnya serta satu wanita yang tadi berada di lift bersamanya. Dua maba tadi tak dia kenal tapi sepertinya yang maba kelas pagi tadi.

Mereka kompak terkejut melihat dosen yang mereka omongi ternyata mendengarkan sejak tadi.

"Sopo, Jarwo. Siapkan dua puluh judul, ya. Itu perlakuan khusus dari saya untuk mahasiswa yang saya tandai," ujar Pram diiringi senyum tipis yang mengerikan menurut para mahasiswanya.

"Dan kamu ... nama lengkapnya?"

"Jangan dikasih Chel," bisik Sopo dengan takut-takut.

Jarwo mengangguk menyetujui.

Sedangkan wanita itu mengerjap beberapa kali sebelum menyuarakan nama lengkapnya.

"Esthel Rachel Gunawan," ujarnya lirih. Dia menatap Pram takut-takut, sedangkan Pram masih tersenyum tipis.

"Lima belas judul yang harus kamu ajukan."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status