Share

Lagi-Lagi Tempat Penitipan

Makan malam Pram dengan Salisa harus dia tunda akibat orang tuanya ingin makan malam dengannya. Dia tak bisa menolak karena momen makan malam bersama di tahun ini bisa diingat hanya berapa kali. Tak sesering dulu karena orang tuanya sangat sibuk ke luar negeri.

"Papa ngundang Pak Gunawan dan istrinya juga," ujar Hilda, mamanya.

Pram yang baru datang mengangguk. Dia tak keberatan siapa pun yang diundang orang tuanya.

"Apa kabar, Ma?" tanya Pram sembari memeluk dan mengecup pipi mamanya.

Hilda tersenyum tipis. "Baik. Kamu?"

"Tentu saja seperti yang Mama lihat."

Wanita itu tersenyum bahagia mendengar itu. Pram pun beralih menyapa papanya yang masih sibuk dengan ponsel. Setelah itu dia mengambil tempat duduk di samping mamanya.

"Engga ada kandidat calon buat dikenalin ke Mama, nih?"

Jika biasanya orang-orang seumuran Pram yang belum menikah akan malas ditanya begitu karena sangat terlihat mengenaskan, Pram tidak. Dia senang mendengar itu, artinya orang tuanya peduli tentang Pram. Namun jika bukan orang tua atau keluarganya, jangan berani-berani menyenggol status pria itu jika tak mau disilet oleh lidah tajamnya.

"Belum ada, Ma. Banyak yang enggak cocok."

Hilda menghela napasnya. "Mau Mama kenalkan? Teman-teman Mama banyak yang mengincar kamu."

Pram pura-pura terkejut. Dia memeluk tubuhnya sendiri. "Ih, engga mau, ah, sama yang udah berumur."

Hilda melotot. Tangannya memukul lengan kekar anaknya. "Ya ... bukan buat dia sendiri, buat anaknya-lah."

Pram tentu paham maksud mamanya, tetapi dia hanya senang menggoda mamanya.

"Engga dulu, deh, Ma. Nanti aja kalo udah empat puluh tahun."

Hilda melipat bibirnya gemas. "Tiga tahun lagi kamu empat puluh. Kamu kira temen-temen Mama masih ada yang ngincer kamu buat jadi menantunya?"

Pram mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Hilda pun semakin gemas melihat anak bungsunya yang masih tak gairah pada pernikahan.

"Jangan bilang kamu ... aseksual? Atau ...."

"Gay?" Pram melanjutkan perkataan Hilda dengan ringan, seolah tebakannya itu bukan sesuatu yang mengejutkan.

Hilda kembali melotot mendengarnya. Jantungnya seakan mau meledak mendengar ucapan Pram. Tangannya pun segera menuju ke arah perut anaknya dan mencubit kuat-kuat di sana. "Sadar, Dek, sadar. Ayo ke dokter besok. Engga mau tahu! Kamu harus periksa ke dokter! Psikologis kamu juga!"

Pram mengaduh karena kuku mamanya terasa menggigit di perutnya. "Ampun, Ma. Pram cuma bercanda. Sumpah demi Tuhan," ujarnya sembari menjauhkan tangan mamanya dari perutnya yang menjadi sasaran kekesalan Hilda.

"Engga lucu Praaaaaam."

Pram tertawa mendengarnya, sedangkan mamanya terlihat jengkel.

Bertepatan dengan itu pasangan paruh baya datang dengan senyum merekah. Mama pun bangkit diikuti oleh Pram. Sedangkan papanya langsung mematikan teleponnya lalu berjalan dengan antusias pada pria paruh baya dengan rambut dan jenggot yang sebagian sudah memutih.

"Apa kabar Gunawan? Lama tak berjumpa?" tanya Santoso, papa Pram.

Pria bernama gunawan itu memeluk Santoso dengan erat. "Baik, Kawan. Sangat baik."

Hilda maju untuk menyambut wanita paruh baya tadi. Bercipika-cipiki sebentar sebelum akhirnya menyilahkan dua orang itu untuk duduk.

"Ini ... Pram bukan?" tanya Gunawan saat melihat satu-satunya anak muda di sana.

Pram tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Gunawan.

"Iya, Om. Saya Pram."

Ajeng, istri Gunawan, terkejut mendengar itu. "Pram yang dulu jaga Esthel bukan?"

Pram tersenyum tipis dan mengangguk. "Apa kabar Esthel, Tante?"

Ajeng yang masih dalam mode tak percaya, mengangguk kecil. "Masih belum percaya ini Pram yang dulu jaga Esthel."

"Kenapa memang, Jeng?" tanya Hilda.

"Dia beda banget. Dulu Pram kurus kering gitu, urakan keliatannya. Ini sekarang berisi, ganteng, rapi juga."

Pram hanya tersenyum dipuji begitu. Dia sudah biasa disanjung-sanjung oleh teman mamanya. Tak terbang sama sekali kecuali yang memuji ibu dari Salisa.

Hilda tertawa. "Anak kamu? Dia udah segede apa sekarang? Dulu seinget aku dia masih umur lima tahun bukan?"

Ajeng mengangguk. "Dia udah gede, Ci. Umur 21 sekarang. Duh, nakalnya angkat tangan, deh. Adaaaa aja yang bikin pusing kepala. Nakalnya udah kek anak laki aja dia. Aku enggak punya anak cowok, kayak punya tahu enggak."

Hilda tertawa mendengar itu, sedangkan Pram tak tertarik sekali. Dia lebih memilih mendengarkan percakapan antara Santoso dan Gunawan perihal masa-masa susah mereka.

"Duh. kebalikan banget sama aku, Jeng. Aku punya anak cowok tapi sifatnya diem banget. Nurut juga. Apa-apa, ya, mau. Satu dua sama kakaknya yang cewek."

Pram melirik mamanya dengan menghela napas. "Mama mau Pram jadi anak nakal, nih?"

"Ya, enggak juga."

Pram tak menanggapi lagi. Dia pun tak tahu maksud mamanya. Memang wanita tak bisa dimengerti.

"Aku takut, Ci. Takut Esthel terjerumus ke hal-hal yang enggak-enggak. Tanpa pengawasan siapa pun juga."

"Kamu enggak bilang dia di Jakarta. Tahu gitu biar di rumah aku aja. Biar ada yang ngawasin."

Ajeng tersadarkan akan itu. "Sebenernya aku pernah mikir buat kenalin dia ke kamu, tapi anak itu ... astaga, dia ngancem bakal ngelakuin hal yang enggak-enggak kalau aku ngubungin temenku yang di Jakarta buat mantau dia. Ya, gimana. Anak satu-satunya, mau enggak mau aku turtuin, Ci."

"Dia semester berapa sekarang?"

"Tujuh kalo enggak salah. Mau lulus kok bentar lagi."

"Masih ngelakuin hal aneh enggak?  Selama tiga tahun di sini."

"Ya, tujuan aku terbang dari Surabaya ke sini karena itu. Dia ngelakuin hal-hal aneh."

Hilda menaikkan kedua alisnya. "Kenapa memang?"

"Apartemennya dicorat-coret pake pilox. Engga tahu sama siapa. Esthel juga engga ngasih tahu. Bilangnya cuma mau apartemennya direnovasi, kemarin aku lihat semua coretannya kek ujaran kebencian gitu."

"Terus gimana sekarang?"

"Entahlah pusing banget ngadepin itu anak. Baru bulan kemarin hukuman uang sakunya dipotong karena ketangkep polisi di area balap liar, eh, sekarang berulah lagi."

Ajeng memijat pelipisnya. "Pengen nyewa pelatih untuk ngelatih dia, Ci. Biar jadi pribadi yang baik gitu. Aku enggak bisa tinggal bareng dia di sini. Kerjaan banyak. Keknya dia gitu karena merasa pengawasan orang tuanya enggak ketat. Jadi lakuin segala yang dia mau. Enggak ada bagus-bagusnya kehidupan dia."

Hilda meringis mendengar itu. Dia memikirkan pelatih mana yang bisa melatih seorang anak dewasa. Kenalannya hanya etika. Dan mereka tak mungkin mengajarkan bagaimana kehidupan sehari-hari dari bangun pagi sampai tidur kembali.

Bertepatan dengan itu, Pram mendekat ke arah mamanya untuk mengambil ponselnya yang tadi dia taruh di meja yang semula tempatnya.

Hilda memiliki ide cemerlang. Dia pun menepuk bahu anaknya, membuat Pram terkejut.

"Mama punya permintaan tolong. Adek mau bantu Mama enggak?"

Pram yang memang penurut, langsung mengangguki ucapan mamanya.

"Janji?"

Pram mengangkat alisnya sebelah. Ada kecurigaan di sana. "Apalagi, Ma?"

Terakhir meminta tolong dua bulan lalu, mamanya memintanya untuk ikut arisan dengannya yang ternyata hanya untuk memamerkannya.

"Janji dulu mau nepatin permintaan Mama," ujar Hilda sembari mengulurkan kelingkingnya.

Pram menggeleng. "Enggak, apa dulu. Baru Pram pertimbangan iya atau enggaknya."

"Jagain anak temen Mama."

Pram mengerutkan keningnya.

"Enggak mau. Pram udah lama enggak megang anak kecil."

"Sebulan doang."

Pram kini menaikkan kedua alisnya. "Sebulan itu doang, Ma? Dulu seminggu aja Pram kewalahan."

"Mama bakal bantuin kamu kok."

Pram terdiam. Jika mamanya mau membantunya, itu berarti Hilda akan banyak meluangkan waktu bersamanya.

"Sebulan doang kan?"

Hilda mengangguk pasti.

Pram pun mengeluarkan tangannya dari sakunya untuk bersalaman dengan mamanya. Namun ketika hampir menyatu, Pram kembali menarik tangannya.

"Apa lagi, sayang? Ribet amat," ujar Hilda dengan memutar bola matanya.

"Pake baby sitter kayak dulu 'kan?"

Hilda menggeleng. "Dia bisa apa-apa sendiri kok. Cebok juga."

Pram pun mengangguk. Lalu menyatukan tangannya pada Hilda sebagai sebuah kesepakatan.

"Kamu udah janji sama Mama ya."

Pram mengangguk. "Emang anak temen mama yang mana lagi ini?"

"Tante Ajeng."

Pram yang akan memasukkan potongan kentang ke mulutnya langsung menoleh ke arah mamanya.

"Maksudnya Ma?"

"Iya, anaknya Tante Ajeng yang ini."

Pram mengangguk kecil.

"Oh, Tante Ajeng punya anak lagi? Umur berapa sekarang Tante?"

Ajeng menggeleng. "Saya cuma punya Esthel."

Pram melotot ke arah mamanya.

"MAM??"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status