Share

Big No!

"Esthel, sini bentar."

Panggilan dari mamanya membuat wanita dengan setelan santai itu mendekat ke arah mamanya berada.

"Mama pulang nanti malam," ujar Ajeng pada anak tunggalnya.

Wanita muda itu terlihat menahan senyum bahagianya.

"Mama kok cepet banget di sininya? Engga mau satu bulan gitu?" tanyanya dengan nada yang dibuat sedih.

Ajeng menghela napas mendengar itu.  "Yaudah, Mama sebulan di sini."

Sekarang wajah wanita muda itu gelagapan. "Eh, kata Papa, kalian lagi sibuk launching produk baru. Kalo ditinggal kan nggak baik, Ma," ujarnya beralasan dan Ajeng tahu akan maksud ucapan itu. Dia hanya menggertak anaknya.

Gunawan datang dari arah dapur. "Papa sendirian nge-handle bisa, tuh. Kayaknya kamu aja yang nggak mau kami di sini," ujarnya sembari membawa sepiring buah naga.

Wanita muda itu melipat bibirnya ke dalam. "Rachel enggak mau nyusahin Papa Mama aja, sih."

Ajeng menggerutu. "Enggak mau nyusahin, tapi kerjaannya nyusahin mulu. Sadar nggak sadar kayaknya ini anak."

Wanita muda bernama Rachel itu terkekeh mendengar sungutan mamanya. Dia pun mendekat dan memeluk bundaharanya. "Maafin aku mommy," ujarnya dengan nada manja, membuat Ajeng luluh seketika.

Rachel melepas pelukannya untuk mencomot satu potongan buah milik Gunawan. "Selama apartemen aku di perbaiki, aku tinggal di mana, Ma?"

"Dia aparteme—"

"Yes!"

Belum selesai perkataan Ajeng, tetapi Rachel sudah berselebrasi.

"—men anaknya temen Mama," lanjut ajeng dengan raut terkesiap.

Rachel menoleh ke arah Ajeng dengan raut bertanya. "Heh?"

"Kamu akan tinggal di apartemen anaknya temen Mama."

Rachel melotot. Dia pun menjatuhkan potongan buahnya ke lantai kamar hotel.

"Mama Papa bangkrut?!" tanyanya dengan histeris membuat Gunawan terkejut mendengarnya. Dia sampai langsung menelan utuh satu potongan besar buah naga.

"Astaga!" katanya setelah buah naga itu berhasil meluncur dengan susah payah di tenggorokan sempitnya.

Ajeng menggeleng dengan tenang.

"Terus??"

"Supaya kamu bisa contoh hidup baik dia."

Rachel menggeleng. "No! Aku enggak mau!"

Ajeng juga menggeleng. "Kamu harus mau."

Rachel menghela napas beratnya. "Kalo aku nggak mau Mama mau gimana?"

"Potong sangu kamu lebih ekstrim dari sekarang."

Big no! Rachel merupakan orang yang gila sosialita. Hidup dengan potongan sangu kemarin saja membuat hidupnya engap. Apa lagi pemotong yang lebih ekstrem dari itu.

"Aku nginep di apartemen temen aku aja."

"Siapa? Cewek atau cowok? Hidupnya baik engga? Bisa menjadi contoh kamu selama sebulan itu? Atau malah mengajak kamu yang enggak-enggak."

Rachel hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Temannya memang tak ada yang benar. Bahkan dengan sekali lihat, mata mamanya yang tajam itu bisa mengetahui sifat busuk hati teman-temannya yang sebelas dua belas dengannya. Memang teman, tuh, cerminan diri banget.

"Oke, aku mau. Sebulan doang 'kan?" tanya Rachel memastikan.

Ajeng mengedikkan bahunya. "Seselesainya renovasi apartemen kamu."

Rachel menepuk dahinya. Banyak yang dia minta pada renovasi itu. Minimal 45 hari baru selesai semua dalam perhitungan kotor. Bisa lebih dari itu, tetapi tak mungkin kurang.

Baru kali ini Rachel mengutuk keinginannya yang terlalu banyak itu.

***

Rachel berjalan mengikuti langkah mama dan papanya dengan ogah-ogahan. Dia sangat tak bersemangat untuk pindah dari hotel menuju apartemen anak dari sahabat mamanya. Padahal dilihat dari nama gedung ini, Rachel tahu bahwa isinya orang kaya semua. Namun mengingat dia akan hidup bersama orang lain, rasanya sangat menyebalkan.

"Ma, sewa hotel aja, deh. Ngerepotin orang ini namanya."

Ajeng tak menggubris omongan anaknya dari belakang. Dia tetap berjalan menuju tempat yang diberitahukan Hilda kemarin.

Masuk ke kotak besi, Rachel menghentikan langkahnya di luar lift, sedangkan orang tuanya sudah masuk.

"Masuk, Esthel," ucap Ajeng dengan santai.

Rachel menggeleng.

Ajeng yang tengah memencet tombol agar pintu tetap terbuka mengedikkan bahunya lalu melepaskan tombol itu setelah menekankan kartu akses pada sensor di sana agar langsung menuju lantai yang dia tuju.

"Terserah kamu. Berarti kamu memilih untuk menjadi orang susah,"

Ajeng memilih menegaskan diri di sana. Anak perempuannya itu selalu semena-mena karena dia memanjakannya.

Pintu pun tertutup, dan Ajeng sama sekali tak berharap pintu itu terbuka lagi. Dia sebenarnya lebih senang jika Rachel memilih untuk hidup susah. Itu artinya dia mempunyai kemauan untuk mengirit. Saat tangannya ingin menelepon Hilda untuk membatalkan perihal Rachel, pintu itu terbuka menampilkan anaknya dengan wajah ditekuk.

"Kamu sudah memilih, cepet masuk dan jangan rewel."

Rachel melangkah masuk dengan ogah-ogahan. Hatinya dongkol sekali, tetapi dia tak bisa mengeluarkan emosinya pada orang tua yang selalu memberikan yang terbaik untuknya.

Pintu lift terbuka tepat pada lantai 28. Tiga orang itu keluar dan langsung disuguhkan sebuah ruangan yang sangat terlihat mewah sekaligus klasik.

"Wah, sudah datang ternyata."

Suara itu menyambut keluarga Gunawan ketika mereka sudah keluar dari kotak besi itu.

Wanita paruh baya yang bajunya sedang dilapisi celemek itu mendekat dengan heboh.

"Apa kabar Esthel? Aduh duh, cantik sekali."

Rachel tersenyum tipis. Dia ingin menyalami wanita itu, tetapi dia menjauh.

"Bau daging. Nanti aja ya, Cantik," ujarnya ramah.

"Silakan duduk di sana, Jeng, Wan. Aku lagi siapin makan malam. Para cowok-cowok lagi beli-beli ke bawah."

Ajeng mengangguk, lalu dia mendorong Rachel dan Gunawan ke arah ruang santai berada. Sedangkan dia mendekat ke arah Hilda. "Ci, aku bantu, yah."

"Kuy."

Itu percakapan terakhir sebelum Rachel beranjak ke ruang santai. Di sana sepi. Tak ada orang satu pun. Hanya alunan musik dari sound yang beradi di pojokan.

Rachel duduk santai, tetapi matanya memindai ruangan yang luasnya tiga kali lipat ketimbang apartemennya. Dia menebak-nebak umur sang pemilik apartemen ini. Bisa jadi anak sahabat mamanya itu seumuran dengan para dosennya. Atau mungkin seumurannya? Jika iya, iri sekali Rachel pada anak itu.

Apartemen ini luas sekali. Jika hanya dihuni sendirian, rasanya sangat membahagiakan.

"Umur berapa anak temen Mama ini Pa?" tanya Rachel pada Gunawan di sampingnya yang sedang fokus dengan ponsel.

"Enggak tahu, tapi kayaknya 30-an, deh."

Rachel mengangguk-angguk mendengar itu. Dia pun kembali terdiam sembari menatap ke sekeliling. Nuansanya sangat klasik. Perpaduan warna putih dan kayu. Terlihat estetika sekali. Dilihat dari sekitar yang sangat bersih tanpa perabotan lain selain yang dibutuhkan, pasti sang pemilik tak suka kotor dan anti ribet. Berbanding terbalik dengan dirinya yang sangat suka mengacak-ngacak kediamannya. Menaruh ini-itu untuk memperamai space yang terlihat kosong dan hambar.

Beberapa menit dari itu, lift berdenting. Menandakan kedatangan seseorang. Gunawan terlihat memasukkan ponselnya dan dengan cepat berdiri dari duduknya untuk menemui orang itu.

Rachel ikut berdiri, tetapi dia tak beranjak dari tempatnya. Hanya sekedar menghormati sang pemilik apartemen.

"Dari mana saja Kawan?" sapa papanya.

Gunawan dan Santoso saling berpelukan sebentar. Lalu berjalan bersama dengan saling merangkul ke arah sofa berada. Tepat ketika tubuh dua pria paruh baya itu menyingkir, Rachel melihat sosok tak asing di sana.

Dia membulatkan matanya, menutup mulut karena tak percaya dengan sosok yang dilihatnya.

"Pak Pram?" lirih Rachel yang membuat pria itu menoleh ke arahnya.

Pria itu menatap Rachel sebentar sebelum tersenyum tipis pada wanita itu. Sangat tenang, tak terlihat terkejut sekali. Kontras dengan Rachel yang seakan matanya akan keluar dari tempatnya.

"Saling mengenal?" tanya Gunawan pada Rachel karena terus menatap Pram dari pria itu berjalan ke sofa hingga duduk di seberang Rachel.

"Enggak!"

"Iya."

Jawaban yang kontras. Membuat Gunawan maupun Santoso menatap heran pada dua manusia itu.

"Dia salah satu mahasiswi Pram, Pa, Om."

Rachel menggerutu, mengapa dosennya itu harus mengaku.

Rachel duduk dengan canggung.

"Wah? Kebetulan sekali, ya?"

"Apa yang kebetulan?"

Itu suara Ajeng yang baru saja datang dari arah dapur dengan Hilda.

"Ini, Ma. Ternyata Nak Pram itu dosen Esthel dia kampus."

Ajeng dan Hilda kompak terkejut. "Oh, iya? Wah, kebetulan sekali ini. Tolong diawasi ya, Nak Pram. Kalau dia nakal, coreng saja nilainya."

Apa maksudnya ini? Siapa yang mengawasi Rachel? Atau jangan-jangan ...?

Rachel tersungut mengetahui apa maksudnya. Untung saja Hilda menghentikan itu sebelum dia melontarkan keberatannya karena sudah tiba waktunya makan malam.

Selama makan malam, Rachel tak menyahuti percakapan orang-orang di depannya. Dia hanya menatap makanannya sesekali melihat Pram dengan sewot ketika pria itu berbicara tentang dirinya. Lebih tepatnya tentang kelakuannya di kampus yang terus mencetak nilai pas-pasan di matkulnya.

Tahu apa memang dia. Rachel dan dosennya itu tak saling mengenal. Don't judge me by my grades!

Setelah makan malam itu selesai, Rachel meminta waktu bicara dengan Ajeng. Hilda pun paham, akhirnya dia mengizinkan memakaibsatu kamar untuk pembicaraan mereka.

"Ma! Dia pria dewasa! Mama yakin aku enggak bakal diapa-apain?"

Ajeng bersedekap dada. "Mama malah khawatir Pram yang kamu apa-apain."

Rachel menggertakkan giginya. "Dia pria dewasa, loh, Ma."

"Justru karena dia dewasa makanya Mama percaya titipin kamu ke dia daripada ke temen kamu yang enggak jelas itu."

Rachel menghela napas beratnya. Tak lagi mendebat karena pasti dialah yang kalah.

Ajeng memegang dua bahu Rachel. "Mama tahu keluarga Pram. Mereka orang baik. Kalo-kalo seumpama Pram melakukan sesuatu yang enggak-enggak. Mama yang bakal hukum dia dengan tangan Mama sendiri."

Ajeng terdengar sungguh-sungguh.

"Lagi pula di sini kalian bukannya satu kamar. Kamar di sini ada empat. Hanya satu atap saja. Itu pun kamu bisa lihat sendiri betapa luasnya tempat ini."

Ya, Rachel benar-benar kalah debat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status