Share

Hari Pertama Yang Menyebalkan

Pukul lima pas, Pram keluar dari kamarnya sembari melakukan streaching agar peredaran darahnya lancar. Kakinya dengan langkah ringan berjalan ke arah sakelar lampu  berada. Mematikan satu persatu lampu yang semalam tak sempat dia matikan karena dia terlelap tanpa direncanakan. Setelah itu dia berbalik ke arah dapur untuk menyeduh kopi instan. Pagi yang hambar jika tanpa sebuah minuman pekat menyegarkan mata.

Selesai melarutkan bubuk itu, Pram berjalan lagi ke arah ruang santai. Berdiri di depan ruangan dengan pemandangan yang langsung disajikan hamparan gedung-gedung di sekitar gedung apartemen Pram berhalangkan smart glass. Sembari meminum sedikit demi sedikit kafeinnya, Pram menata hal-hal yang akan dia lakukan seharian itu dalam pikirannya.

Seketika Pram ingat bahwa dia tak tinggal sendirian. Ada Rachel juga yang harus Pram ajak untuk melakukan aktivitas harian bersamanya.

Pria itu meletakkan cangkir kopinya di meja ruang santai, lalu kakinya melangkah ke arah kamar yang berada tepat di samping kamarnya.

Awalnya Pram berlaku sopan dalam membangunkan wanita itu. Dia mengetuk beberapa kali sebelum memanggil namanya.

"Rachel, wake up."

Pram menunggu tiga detik untuk mendengar sahutan dari dalam. Namun tak kunjung dia dengar.

"Rachel!" panggil Pram lagi. Kali ini dengan gedoran dan intonasi yang semakin keras.

Masih tak ada sahutan. Pram menggedornya lebih keras. Pria itu membatinkan bagaimana bisa panggilan disertai gedoran keras di pintu itu tak mengusik tidur wanita itu. Padahal dirinya jika mendengar barang jatuh meski di luar kamarnya, Pram terkejut dan membuka mata. Telinganya memang sensitif dengan suara.

"Rachel!" teriak Pram yang masih tak digubris wanita itu.

Mau tak mau Pram mencoba membuka pintu itu, dan berhasil. Kamarnya tak dikunci.

Pram mendecak dan menggeleng kecil. Bisa-bisanya wanita itu tak mengunci kamarnya di saat dia tinggal dengan pria dewasa apalagi dengan orang yang tak dia kenal. Untung yang tinggal dengan wanita itu, Pram. Jika pria lain entahlah bagaimana nasib wanita itu semalam.

Pertama masuk, kamar itu terang benderang. Lampu kamar tak dimatikan dan lampu tidur dihidupkan. Ternyata wanita itu golongan manusia yang tak bisa tidur tanpa lampu. Berbeda dengan dirinya yang sangat suka gelap.

Setelah sampai di sisi ranjang wanita itu, Pram menarik selimut yang membungkus tubuh kecil itu.

"Rachel, wake up," ujarnya yang masih tak mendapat jawaban meski dia sudah sedekat itu membangunkan Rachel.

Pram berkacak pinggang, dia tak mungkin menyentuh wanita itu karena kesepakatan dari wanita itu sendiri tak memperbolehkannya untuk menyentuh Rachel.

Dengan senyum miring yang terlihat jahat, Pram keluar untuk mengambil gelas kosong di dapur. Setelah mengisinya dengan air, Pram kembali ke kamar wanita itu.

"Maafkan saya Rachel, itu salah kamu karena kamu tidur seperti orang mati. "

Setelah mengatakan itu, Pram menyipratkan air dari gelas itu ke wajah Rachel.

"Wake up, girl."

Rachel terusik, tetapi dia hanya bergerak sedikit. Membuat Pram meneruskan aksinya sampai wanita itu benar-benar terganggu dan membuka matanya.

"Good morning," sapa Pram dengan senyum yang dibuat-buat, padahal hatinya dongkol setengah mati karena wanita itu sangat susah dibangunkan.

Melihat sosok Pram di kamarnya membuat Rachel segera masuk ke dalam selimut untuk menutupi tubuhnya.

"Bapak apaan, sih?! Ngapain di sini?! Mesum banget!" hardik wanita itu dengan berteriak memekakkan telinga Pram.

Pram melipat tangannya. "Sudah dramanya? Kalo begitu cepat keluar, kita olahraga sekarang."

Rachel yang belum sadar sepenuhnya langsung menggeleng cepat. "Apaan. Saya masih ngantuk. Kalo mau olahraga, ya, sana," ujar Rachel sembari merebahkan lagi tubuhnya.

"Oke, berarti kamu memilih untuk terus diberi uang saku tiga ratus ribu. Padahal saya berniat mau menambah uang jajan kamu hari ini," ujar Pram santai sembari berjalan keluar kamar Rachel.

Mendengar itu, Rachel segera meloncat dari tempat tidur.

"Ini saya udah bangun!"

***

Rachel mengikuti langkah Pram dari belakang dengan wajah ditekuk. Dia lari dengan ogah-ogahan. Sedangkan pria di depannya berlari dengan sungguh-sungguh.

Rachel masih tak tahu mengapa dia mau-mau saja mengikuti perintah pria itu hanya dengan ancaman uang sakunya yang akan dipotong. Mereka tak saling kenal. Kenal sebatas dosen dan mahasiswi, tak lebih dari itu. Namun pria di depannya itu sok-sokan dan berlagak mempunyai andil dalam hidup Rachel.

Wanita itu menghentikan langkahnya ketika nafasnya sudah engap sekali. Setelah berbulan-bulan, baru hari ini dia berlari dan Pram menyuruhnya untuk mengimbangi langkah pria itu yang tak sedikit pun bisa dia imbangi.

Rachel menjatuhkan dirinya pada beton jalan sekaligus menselonjorkan kakinya. "Pak, saya K.O. Engap. Enggak bisa jalan lagi," ujar Rachel dengan terjeda helaan napas beberapa kali.

Pram menoleh ke arah wanita yang sudah ketinggalan jauh darinya. Pria itu pun berlari kecil menghampiri Rachel.

"Ini bahkan belum setengah perjalanan. Katanya tadi kecil cuma ngelilingin ini gedung," ujar Pran dengan nada dan wajah mengejek.

Rachel menggeleng kecil. Dia menyesal menantang pria itu sebelum memulai lari pagi itu.

"Yah, enggak jadi sangu satu juta dong." Pram menampilkan wajah kasihan yang dibuat-buat, membuat Rachel menggertakkan giginya.

Rachel pun bangun dari duduknya. "Jadi, ini saya lanjut lari lagi," ujarnya sembari berlari kecil mendahului Pram.

"Gosong udah."

Rachel menggeleng. "Delapan ratus ribu, please? Ini saya lari lagi, loh, Pak."

Pram mengedikkan bahunya, lalu tanpa berkata dia segera berlari lagi mendahului Rachel.

Wanita itu mengikuti langkah Pram dengan hati benar-benar dongkol. Dari belakang pria itu, Rachel mengabsen banyak nama hewan untuk Pram. Tak jarang dia meninju angin sebagai saluran kekesalannya pada dosennya itu.

Pram merasakan ada yang aneh di belakangnya. Dia pun memelankan langkahnya.

Melihat langkah di depannya berhenti, membuat Rachel ikut berhenti. Wanita itu menaikkan satu alisnya ketika melihat pria itu menatapnya dengan jengah.

"Apa?" tanya Rachel.

"Kamu di depan. Kalo saya di depan, kamu oga-ogahan larinya," ujar Pram yang membuat Rachel menggeleng.

"No, thanks. Anda saja duluan. Saya takutnya pantulan belakang saya membuat Anda lagi-lagi turn on."

Pram memutar bola matanya mendengar ocehan tak masuk akal dari mahasiswanya. "Bisa enggak usah dibahas lagi? Saya sudah minta maaf tentang itu."

Rachel mengedikkan bahunya. Dia pun segera berlari lebih dulu, meninggalkan Pram dengan wajah jengkelnya.

Keduanya pun berlari mengitari gedung apartemen Pram dengan Rachel di depan. Setelah selesai, mereka kembali lagi ke lantai 28 untuk membersihkan diri.

"Baju kotornya siniin," ujar Pram ketika melihat Rachel keluar dari kamarnya dengan wajah segar.

Wanita itu berseru, "Huu, baik banget, sih, ternyata Pak Pram." Setelahnya dia berbalik untuk mengambil keranjang tempat baju kotornya ditumpuk sejak kemarin.

Setelah berdiri di hadapan pria itu, Rachel mengulurkan keranjangnya. "Pak Pram baik banget, makasih, ya."

Pram mengerutkan keningnya. "Ngapain dikasih ke saya? Masukin ke mesin cuci sana. Punya saya sudah selesai. Sekarang giliran kamu."

Senyum Rachel luntur. "Sudah saya duga, Anda tak mungkin sebaik itu," gerutu wanita itu sembari berjalan ke arah mesim cuci berada. Tentunya dengan langkah yang dihentak-hentakkan.

Pram mengikuti langkah wanita itu dari belakang. "Makanya jangan ngarep, kecewa gitu saya yang disalahin."

Brakk!

Rachel menurunkan keranjang ke lantai dengan keras, membuat Pram terperanjat.

"Jadi cewek, tuh, kalem dikit, Chel. Mana ada cowok yang suka kamu kalo kelakukan kamu enggak ada anggun-anggunnya," ujar Pram sembsri bersandar di samping mesin cuci.

Rachel melirik dosennya itu dengan sinis. "Saya yang kayak gini aja banyak yang naksir, apalagi saya yang anggun. Lagian sok tahu banget, sih."

Pram hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan Rachel, membuat wanita itu lagi-lagi kesal melihat keberadaan Pram di sana. Dia pun memasukkan bajunya dengan kasar.

"Satu-satu. Jangan langsung gitu. Dipisah. Enggak bersih nanti, juga bikin mesin cuci cepet rusak."

"Bawel. Saya masukin sekaligus karena itu daleman saya. Bapak mau lihat? Mesum amat."

Pram mengalihkan pandangannya. "Saya enggak lihat lagi. Cepet keluarin dan masukin satu-satu. Besok-besok daleman jangan di cuci pake mesin, kurang bersih juga cepet rusak. Kamu cuci pake tangan aja."

Rachel mendecak. "Bawel amat, sih," gerutunya, tapi anehnya Rachel mengikuti instruksi pram. Dia mengeluarkan lagi pakaiannya yang dia masukkan dengan serentak dan memasukkannya kembali setelah dipisah satu-satu.

Setelah itu, Pram mengajarkan cara bagaimana menggunakan mesin itu.

"Gampangkan?"

Rachel mengedikkan bahunya. Sedangkan Pram menatap wanita itu dengan tak percaya. "Kamu cuma hidupin mesinnya, terus pencet start. Masih enggak ngerti juga?"

Rachel tetap mengedikkan bahunya. "Banyak tombolnya, mana saya tahu."

"Itu udah saya setting. Kamu tinggal nyalain aja, terus start. Udah, gitu aja. Masa masih enggak paham juga??"

Rachel sebenarnya paham. Namun dia lebih suka membuat pria itu memendam emosi padanya. Rasanya kejengkelan saat lari pagi tadi terbayarkan.

Rachel menatap Pram dengan polos. Membuat pria itu menghela napas berat. "Otak anak kuliahan masa selemot itu," gerutu Pram sembari berjalan meninggalkan Rachel yang terkekeh puas melihat pria itu menggerutu.

Hari pertamanya dengan Pram menjengkelkan, maka hari pertama Pram dengannya harus menjengkelkan juga.

Seimbang kalo begitu, bukan?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status