Share

Hari Pertama Yang Menyebalkan 2

Setelah dari mesin cuci tadi, Rachel memilih untuk mengambil ponselnya untuk menghubungi teman-temannya.

"Mau kemana kita hari ini, yaaaa?"

Rachel bermonolog sembari menunggu panggilan videonya tersambung dengan para sahabatnya.

Adit, Sopo dan Jarwo namanya. Tiga lelaki dengan tingkah laku bikin tepok jidat yang sayangnya merupakan sahabat Rachel.

"Widih, apartemen baru, nih? Pesta kagak?"

Satu suara yang sangat dikenal menyambut ketika video tersambung. Lelaki gendut dengan rambut keriting dan kaca mata minus di batang hidung merupakan pelakunya. Namanya Sopo.

Rachel yang sedang memposisikan agar ponselnya berada di tempat sempurna segera mendecak. "Pesta pala lu. Gue diem ama Om gue ini."

Setelah merasa pas, Rachel memperlihatkan wajahnya pada tiga lelaki dari balik layarnya.

Adit, lelaki paling tampan di sana menatap Rachel dengan penuh godaan. "Om beneran, apa Om Sugar, nih?"

Rachel mnyeruput minuman serealnya. "Om beneranlah."

"Yah, pendengar kecewa. Gue berharap om sugar. Biar gue kecipratan duid lo gitu," ujar lelaki dengan rambut cepak dan dagu berjanggut.

Rachel memutar bola matanya. "Heh, Jarwo. Uang dari emak bapak lu kurang emang?"

Sependek ingatan Rachel, ayah dari Sopo masih bekerja sebagai manajer di perusahaan mobil terkenal. Tak mungkin sekali jika Jarwo sampai kekurangan uang saku.

"Wkwkwk, dia lagi dihukum, Chel. Uang sakunya dipotong gara-gara ketahuan begituan sama ceweknya," celetuk Sopo yang membuat Jarwo terlihat keberatan dengan ucapannya.

"Heh, Sopo! Nyebar hoax dosa tahu!" sahut Jarwo dengan sok suci padahal mereka semua tahu bahwa tak ada orang baik di antara mereka.

"Hoax dosa. Nyundul gundukan cewek kaga ya, Wok," sindir Adit yang membuat Sopo tertawa puas.

"Terus napa uang jajan lo dipotong, Wo?" tanya Rachel.

"Gue nggak sengaja bentak nyokap. Doski tersinggung, Papa juga. Jadinya bagian gue dipotong. Katanya untuk merenungkan diri wkwkkw."

"Syukurin!" ujar Rachel, Sopo dan Adit bebarengan.

"Rachel, sini!"

Panggilan Pram dari luar membuat Rachel gelagapan.

"Om lo?" tanya Adit yang membuat Rachel tersenyum canggung.

"Gue off ya. Om gue, manggil."

Tanpa persetujuan mereka, Rachel langsung memutuskan sambungab itu.

Dia segera keluar dengan kaki dihentak-hentak untuk mengetahui hal apalagi yang akan membuat awal harinya menyebalkan. Sesampainya di depan kamarnya, Rachel menemukan Pram berdiri dengan memegang sapu dan pel-pelan.

Apalagi ini?

"Enggak mau."

Belum sepatah Pram berkata, tetapi Rachel langsung mengatakan itu.

"Surat kesepakatan nomor satu menyebutkan bahwa kamu harus menuruti ucapan saya."

Rachel memutar bola matanya. Dia pun dengan langkah ogah-ogahan mendekat ke arah Pram. "Apa? Kalo disuruh nyapu atau ngepel saya nggak mau."

Pram mendecak. "Terus gunanya kamu di apartemen saya apa?"

Rachel melipat tangannya sembari mengedikkan bahunya. "Ya mana saya tahu. Tanya aja ke mama saya sana."

Pram segera menyahut, "Oke," ujarnya sembari mengambil ponsel yang ada disaku celananya.

Rachel segera mendekat dan merampas ponsel pria itu. "Bercanda, Pak. Ish, Bapak ini nggak bisa diajak bercanda dikit aja."

Pram tersenyum miring. Dia pun sebenarnya tak berniat menelepon ibu dari mahasiswanya itu. Hanya gertakkan saja agar Rachel segera menuruti ucapannya.

"Pilih. Sapu atau pel?" tanya Pram sembari mengulurkan dua barang kedua tangannya.

"Atau."

Pram menghela napas mendengar itu.

Lelah sesungguhnya dia berbicara dengan Rachel. Namun jika tak begitu bagaimana lagi, karena ini sudah tugas yang dipasrahkan ibu wanita itu sendiri.

"Oke, kamu pel," putus Pram.

"Sapu," sahut Rachel sembari menarik kasar benda berambut itu dari tangan Pram.

Pram memaksakan tersenyum tipis sembari menghela napas. Dia harus lebih sabar menghadapi Rachel. Ini baru hari pertama. Masih ada 29 hari lagi— jika tak meleset dari dugaan— yang harus dia jalani bersama mahasiswanya itu.

"Kita ke ruang santai dulu," ujar Pram sembari memberi syarat agar Rachel mengikutinya.

Wanita itu menurut.

"Tahu cara gunainnya kan?"

Rachel menggeleng.

Sudah Pram duga.

Dia pun mendekat ke arah wanita itu.

"Ini udah alat paling gampang untuk kamu gunain, ya. Kalo masih juga enggak paham, saya rasa otak kamu ada yang salah."

"Dih, dosen kok julidan. Salah itu manusiawi kali," timpal Rachel dengan wajah tersinggung.

"Kamu manusia? Oh, saya kira setan. Soalnya sifatnya sama, sih, jadi ketuker kan saya."

Rachel terkejut mendengar ucapan dosennya itu. Ini baru hari pertama bersama pria itu, tetapi Pram sudah berani menghinanya. Bagaimana hari selanjutnya?

"Pak, ini bidadari, loh. Bisa-bisanya dipanggil setan."

Pram menepuk bahu Rachel dengan wajah mengerti yang dibuat-buat. "Oke, oke. Coba perhatiin ini, ya."

Rachel ingin sekali meneruskan perdebatan itu, tetapi jika dia mengulur waktu, maka semakin lama dia akan berurusan dengan dosen kampretnya itu.

"Kamu pel aja kayak biasanya. Biar lantainya harum dan bersih, kamu pencet ini nanti keluar air di sana," ujar Pram menjelaskan cara pemakaian pel semprot itu.

"Kayak biasanya gimana? Ini pertama kali dalam hidup saya," ujar Rachel sewot.

Pram berkacak pinggang. Manja sekali.

"Ini tinggal di dorong maju mundur doang. Kalo udah bersih, ya ... kamu pindah ke lain tempat." Pram mulai hilang kesabaran.

Rachel mengelus pundak Pram. "Sabar, sabar. Enggak usah marah-marah. Namanya orang enggak tahu."

Pram segera menyingkirkan tangan itu. Dia pun langsung mengerjakan bagiannya. Jika terus meladeni Rachel, bisa-bisa dia gila.

"Dih, ngambekkan."

Tak digubris. Akhirnya Rachel memilih untuk ikut membersihkan ruangan itu.

Tepat jam setengah delapan, keduanya selesai melakukan tugas bersih-bersih. Pram dan Rachel memilih duduk dan menyandarkan tubuhnya pada sofa. Keringat membasahi tubuh masing-masing. Padahal keduanya sudah membersihkan diri tadi setelah olahraga, tetapi terlihat seperti belum mandi.

"Ini dilakuin tiap hari?" tanya Rachel dengan terengah.

Pram mengangguk lemas.

Wanita itu mengangkat tangannya untuk melihat jam yang melingkar di sana.

"Mana cukup buat siap-siap ke kampus."

"Kalo kamu nggak ngerengek ini-itu, enggak ngotorin tempat yang udah saya bersihin, enggak menggerutu seolah orang paling ngenes di dunia ... jam tujuh udah selesai."

Rachel menegakkan tubuhnya dan menatap tak setuju pada Pram yang duduk di sebelahnya. "Kalo Bapak enggak main kejar-kejaran buat miting leher saya dan enggak ceramahin saya, mungkin sekarang saya udah kenyang makan sarapan saya."

Pram ikut menegakkan tubuhnya. "Alasan saya ngejar kamu itu kan kamu sendiri yang jahil. Pake naburin debu yang udah saya serok."

Rachel tak mau kalah. "Bapak duluan mancing-mancing saya dengan kalimat pedes Bapak."

"Itu fakta. Kalo enggak mau dikatain gitu, ya jadi orang normal dong. Ngapain kamu tersinggung sama hal yang jelas-jelas kamu lakuin sendiri."

Rachel melipat bibirnya ke dalam. "Oke, fine saya salah. Ayo sarapan. Saya laper, enggak mau kenyang sama cacian Bapak."

Pram tersadarkan bahwa dia belum sarapan dan perutnya sudah berbunyi sedari lari pagi tadi. Dia pun bangkit menuju dapur dengan dibuntuti oleh Rachel di belakangnya.

"Karena hari ini saya ada kerjaan, saya saja yang masak. Kalau masih mengajari kamu, mungkin sore nanti saya baru bisa sarapan."

Rachel mengedikkan bahunya. Tak menjawab dosennya itu, dia memilih untuk duduk di satu kursi bar mini.

Besok dan seterusnya, Rachel akan melakukan itu lagi agar setiap hari dosennya itu yang memasak. Haha.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status